Kaum miskin dilarang sekolah?. Saya dengan tegas menolak kata- kata yang provokatif ini. Selain pemerintah yang sudah menyediakan anggaran sebesar 20% dari APBN yang mencapai 1700-an Triliun pertahun, banyak juga lembaga-lembaga filantropi yang menyediakan persekolahan gratis. Namun saya kira, tidak banyak yang melihat ini sebagai kesempatan baik untuk menjadikan kesempatan sekolah gratis ini sebagai jalan perubahan. Kaum miskin hanya terjebak pd problem jangka pendek yangkadang juga tidak prinsip. Jd saya pikir ada benarnya juga kata-kata para motivator. Saya kira problem utama dari pendidikan bukan lagi pada masalah biaya. Melainkan kemuan.
Menurut saya, problem kemiskinan adalah budaya miskin sendiri yang tidak dilawan dengan budaya kaya. Budaya miskin tersebut antara lain malas, tidak punya cita-cita, tidak kuat menahan godaan jangka pendek, gaya hidup tidak sehat dan kebodohan itu sendiri. Namun acapkali ada sebuah kondisi kemiskinan yang ternyata tidak dirisaukan. Dalam diskusi dengan beberapa kawan, hingga kita simpulkan ada sebuah kondisi “nyaman dalam kemiskinan”. Atau dalam beberapa istilah yang saya dengar sebagai “Kere Hore”. Kalaupun istilah kere hore sebagai semacam obat pelipur lara dalam deraan kemiskinan saya kira bolehlah. Namun kalau sudah menjadi semacam ideologi, ini menjadi candu.
Sekolah Mencipta Budaya Baru.
Prof Renald Kasali dalam opini yang ditulisnya di Kompas tgl 24/10 kemarin menuliskan, bahwa problem pendidikan dan kemiskinan dalam konteks pendidikan, problemnya pada sekolah itu sendiri. Dalam beberapa hal saya sepakat dengan itu. Memang sekolah sebagai institusi pendidikan paling populer dan menjadi tempat agung pendidikan saya kira telah kehilangan ruhnya dalam mendidik. Acapkali sekolah hanya memenuhi tuntutankurikulum sibuk dengan urusan adminitrasi untuk melayani pejabat birokrasi. Belum lagi guru yang ada di garda depan pendidikan sibuk masalah kesejahteraan yang kadang juga simalakama. Oleh sebab itu, saya salut tehadap kawan2 guru yang tetap fokus terhadap pelayanan pendidikan anak-anak ditengah kerisauan pribadi mereak tentag kesejahteraan.
Menurut saya, sekolah harus bisa menciptakan budaya baru, membuat budaya baru melawan budaya kemiskninan. Ciptakan budaya kaya. Budaya kaya tersebut antara lain rajin, kerja keras, punya tujuan, fokus pada tujuan, kuat menahan godaan sesaat dan jeli melihat peluang.Sekolah sebagai institusi pendidikan agung jangan sensi terhadap kritik.
Saya yakin , beberapa sekolah berusaha untuk melakukan itu. Mencoba untuk mensinkronkan antara budaya sekolah yang telah usang dan budaya baru yang mesti dibentuk. Yang dimaksud budaya sekolah yang telah usang adalah sekolah yang sibuk dengan kurikulum, istilah yang Prof Renald pakai adalah sekolah yang mekanistik.
Pendidikan Fungsiomal.
Oleh sebab itu, perlunya diperbanyak pendidikan fungsional untuk pendidikan kaum miskin. Memahami kondisi mental mereka. Pendidikan fungsional maksudnya daalah pendidikan yang fungsi dan tujuannya kelihatan secara kasat mata dan bersifat cepat saji, cepat terlaksana.Ini merupakan bentuk kompromi terhadap kebutuhan pendidikan yang sifatnya investasi jangka panjang, dan kompromi terhdapa budaya miskisn yang tidak bisa dihilangkan dalam waktu sesaat. Namun lebih dari itu semua, harus ada sebuah kesadaran, harus ada sebuah uapaya untuk memecah kesadaran , jauhkanlanh sikap “Kere Hore”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H