"Without music, life would be a mistake?"Â - Nietzsche
Saya termasuk orang yang terbilang jarang mendengarkan musik. Berbeda dengan buku-buku yang saya susun rapi di rak buku kamar saya. Saya akan malas untuk membuat daftar putar musik. Bagi sebagian orang, barangkali ini akan mendukung suasana hati dan produktivitas mereka. Namun sebaliknya, saya akan sangat malas untuk membaca buku-buku filsafat meskipun sudah saya susun rapi. Saya lebih suka mendengarkan musik untuk menikmati, merefleksi dan (barangkali berlebihan) memaknai hidup.
Oleh karenanya, saya setuju jika seorang bijak yang pernah menziarahi Olympus mengatakan bahwa musik adalah filsafat yang paling berirama.
Saya pertama kali mendapati daftar putar pada fanzine Lisa Belum Tidur-nya Herry Sutresna. Di sana, saya menemukan catatan kecil di pojok halaman yang berisi daftar putar penulis ketika menulis & menyelesaikan tulisannya. Dalam bentuk yang lebih keren, Herry Sutresna melampirkan tautan daftar putar berupa mixtape musik pada buku (yang saya sebut sebagai ensiklopedi hip-hop abad 20) Flip da Skrip.
Sangat banyak fanzine-fanzine lokal yang melakukan hal serupa. Tak jarang, penerbit fanzine (dalam banyak kasus, penulis dan penerbit fanzine adalah orang yang sama) memberikan halaman khusus untuk mixtape dan rekomendasi daftar putar dengan sedikit ulasan singkat di dalamnya.
Budaya seperti ini adalah salah satu budaya 'populer' di skena-skena punk maupun hardcore. Mereka yang merilis lagu secara mandiri karena menolak dikooptasi label rekaman & papan iklan, secara masif mempromosikan karyanya melalui fanzine fotokopian. Mereka yang tidak punya akses terhadap rilisan-rilisan fisik, membuat mixtape bootleg dan diedarkan dari satu telinga ke telinga lain. Satu pariah ke pariah lain. Do it your self. Budaya punk. Hardcore.
Saya baru saja membaca An Ode to A Scorpio yang ditulis oleh kawan saya, Krisnaldo. Di sana, ia menceritakan masa-masa depresifnya dan menganalogikan kabin mobilnya sebagai kamp tahanan Guantanamo, dan ia tengah disiksa oleh daftar putar yang ia susun sendiri.
Saya kemudian percaya, bahwa dalam beberapa hal, dafar putar bisa bersifat sangat personal.
Pikiran saya akan terlempar pada memori di mana kami pernah dikepung oleh Dalmas Polres Salatiga dan petugas keamanan kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) ketika kami menduduki gedung terlantar milik UKSW di Jl. Osamaliki Kota Salatiga 2020 lalu ketika mendengar alunan Baby, I'm An Anarchist oleh Against! Me
Atau, saya masih sering menitikkan air mata ketika mendengar Akulah Peluru-nya Rebellion Rose. Saya teringat masa-masa sulit, dan kemudian saya dibantu oleh kawan-kawan baik saya untuk kembali bangkit. Masa di mana saya mesti bolak-balik ke rumah sakit untuk menunggu Ibu yang mesti bedrest total selama kurang-lebih tiga bulan, pergi ke kantor untuk bekerja, dan pulang ke rumah untuk bergantian menengok dan melayani Bapak yang sakit stroke.
Saya kemudian curiga, apakah George Orwell tengah mendengarkan Panoptikanubis ketika menulis 1984? Apakah Candide ditulis Voltaire ketika ia tengah menangis tengah malam sambil mendengar Love in Dystopia? Lalu, apa yang mendorong Nick Drake untuk bunuh diri setelah menulis Pink Moon?