Masih jelas terngiang di benak saya beberapa waktu lalu bahwa yang memilih Ahok sebagai wakil jokowi dalam Pilgub DKI beberapa waktu lalu sebenarnya adalah Ketua umum Partai Indonesia perjuangan (PDI-P), dan bukan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. Pada waktu itu masih kuat ikatan yang terbina antara PDIP dengan koalisinya yang kalah pada pilpres 2009, Partai Gerindra, termasuk akibat perjanjian batu tulis.
Logikanya menjadi masuk akal dengan Ahok yang merupakan anggota DPR-RI periode 2009-2014 dari partai Golkar, diinisasi tanpa ada jeda waktu, ujug-ujug menjadi kader partai Gerindra.
Dari Partai Indonesia Baru (PIB) yang menang di pemilihan Bupati Belitung Timur 2005 yang cuma dijabat setahun namun kemudian tidak sempat diselesaikan masa jabatannya, Ahok kemudian kalah di pemilihan Gubernur Bangka-belitung, dengan dukungan Gus dur dari PKB di tahun 2007.
Jeda waktu menganggur antara 2007-2009 masih dapat dimanfaatkan Ahok untuk mengenal partai Golkar untuk mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif pusat tahun 2009.
Tidak ada waktu yang cukup untuk mengenal dan memiliki posisi di Gerindra tiba-tiba Ahok dipilih menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta 2012. Hanya toleransi dan hubungan yang kuat antara Gerindra dan PDIP di waktu itulah yang menyebabkan Ahok “adalah” Gerindra.
Dapat dipertanyakan sebenarnya posisi Ahok di Gerindra.
Kabar mengenai Ahok yang terancam dipecat oleh Gerindra karena mulutnya yang kotor, salah satunya karena mengatakan Siswa-siswa SMA yang dibawah umur sebagai ‘bajingan’, adalah pepesan kosong karena Ahok tidak memiliki posisi di Gerindra, sehingga tidak ada posisi yang dapat dihilangkan.
Politik “pemwakafan” Ahok kepada DKI Jakarta pun dimunculkan oleh Gerindra.
Dan pada wacana pemilihan Presiden 2014 ini, terasa kuat aroma pemihakan Ahok kepada PDIP.
Meski hanya menjabat setahun menjadi Bupati dan 2 tahun menjadi Anggota DPR RI belakangan di skala nasional Ahok sangat kuat mengelola pencitraan dirinya sebagai ahli pemerintahan ulung. Dan demokrasi menjadi tak berbatas dalam dunia cyber sekarang ini. Ahok “menjadi” Gerindra karena ke-sofistikasian cyber tanpa dasar di dunia nyata. Dengan ambigunya identitas Ahok maka tinggal menunggu waktu kekalahan demi kekalahan mereka yang tidak menyadari bahaya potensi laten yang dibawa Ahok. Salah satunya. ya mungkin nanti sama seperti pembelotan Ahok dari Golkar dan PIB, pembelotan Ahok dari Gerindra yang sebenarnya tidak pernah terjadi karena Ahok pun tidak pernah masuk Gerindra. Karena ia dan golongannya memiliki kepentingan sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H