Mohon tunggu...
Arif Faturrahman
Arif Faturrahman Mohon Tunggu... Lainnya - Pro justicia , viva justicia

A juristen

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

vonis 12 tahun untuk i wayan agus suartama : antara kepastian hukum dan keadilan bagi terdakwa disabilitas

27 Januari 2025   08:11 Diperbarui: 27 Januari 2025   08:11 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 24 Januari 2025 yang lalu, Pengadilan Negeri Mataram resmi menjatuhkan vonis 12 tahun penjara dan denda sebanyak 300 juta rupiah pada I Wayan Agus Suartama atau biasa dikenal Agus Buntung. Agus divonis bersalah karena melakukan pelecehan seksual kepada belasan wanita.

Namun, pertanyaan yang terbesit di benak penulis adalah apakah secara normatif vonis 12 tahun penjara ini layak merepresentasikan kepastian hukum bagi para korban Agus? Dan apakah vonis 12 tahun ini juga di satu sisi sudah berkeadilan bagi terdakwa sendiri, mengingat bahwa terdakwa ini mempunyai satu kekurangan atau disabilitas pada anggota tubuhnya, yaitu tidak mempunyai lengan dan akan menyulitkannya untuk menjalani masa hukuman selama itu tanpa bantuan orang lain yang khusus mendampinginya?

Di dalam teori, sebagaimana diucapkan oleh salah satu guru penulis, yaitu Prof. Eddy Hiariej, bahwa hukum pidana itu melindungi tiga kepentingan. Yang pertama kepentingan negara, lalu kepentingan masyarakat atau komunitas, dan yang terakhir kepentingan individu atau pribadi. Bahwa hukum itu harus netral dan tidak boleh berpihak adalah suatu kemutlakan yang harus kita sepakati. Jika ada satu individu atau kelompok yang melakukan pelanggaran atau melukai salah satu kepentingan dari tiga kepentingan di atas, maka aparat penegak hukum atas nama negara wajib bertindak dan melakukan proses hukum.

Quod ad jus naturale attinet, omnes homines aequales sunt. Bahwa kedudukan semua orang itu sama dan egaliter di hadapan hukum harus tetap diterapkan dalam perkara ini, termasuk terhadap Agus sendiri, bahwa keadaan yang bersangkutan dipandang oleh penuntut umum dan majelis hakim tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana demi kepastian hukum para korban.

Ad officium justiciariorum spectat unicuique coram eis placitanti justitiam exhibere yang berarti adalah tugas penegak hukum untuk memberikan keadilan bagi siapa pun yang memohon. Hal ini mengandung makna bahwa setiap orang sama dan sederajat di depan hukum. Oleh karena itu, penegak hukum harus memberikan keadilan kepada siapa pun tanpa diskriminasi atas haknya yang dilanggar oleh pihak lain. Eadem est ratio, eadem est lex (jika alasannya sama, maka hukumannya sama).

Pasal 44 KUHP menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dikatakan tidak dapat bertanggung jawab apabila jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau karena penyakit. Pasal ini secara limitatif membatasi kategori seseorang yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena suatu keadaan atau menjadi alasan pemaaf. Dan jika ada keadaan fisik yang dianggap dapat menghalangi terdakwa untuk menjalani hukuman penjara, tentu penilaian itu sepenuhnya diserahkan kepada hakim secara objektif.

Res judicata pro veritate habetur, bahwa setiap putusan pengadilan harus dianggap benar juga mengingatkan kita kembali bahwa majelis hakim berdasarkan kewenangannya berwenang dalam memutuskan jenis pidana dan lama masa pidana kepada Agus dengan didasari pada penilaian objektif bahwa yang bersangkutan dapat menjalani pidana seperti person lainnya.

Dalam konteks kepastian hukum bagi para korban Agus yang berjumlah belasan orang, maka penulis merasa bahwa vonis 12 tahun penjara adalah sesuatu yang layak. Jikapun ada persoalan teknis bagaimana Agus akan menjalani masa hukuman tersebut tanpa pendamping untuk beraktivitas sehari-hari adalah persoalan teknis lain yang harus dipikirkan oleh para pejabat di Lembaga Pemasyarakatan. Fiat justicia ruat caelum (hukum harus ditegakkan walaupun langit runtuh).

Dan pada akhirnya bahwa nilai kepastian, kemanfaatan, dan keadilan tidak akan dapat selalu mendapat porsi yang sama dalam suatu vonis. Kadang di satu kasus nilai kepastian hukum lebih dominan terasa, namun di satu kasus nilai kemanfaatan atau keadilan hukum yang lebih dikemukakan. Sebagaimana yang dikatakan Immanuel Kant, summum ius summa iniuria, summa lex summa crux yang berarti suatu hukum semakin pasti maka akan semakin tidak adil. Tegasnya, keadilan tertinggi adalah kepastian hukum itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun