Perkembangan era digital dewasa ini ditandai dengan semakin masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan. Fenomena ini merupakan konsekuensi perubahan pola komunikasi dengan cara-cara dan media konvensional menuju digitalisasi komunikasi dengan menggunakan berbagai kanal media sosial kekinian.Â
Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari bagi kebanyakan orang di seluruh penjuru dunia. Popularitas dan perannya memang luas dalam berbagai aspek kehidupan. Media sosial bisa diakses dari hampir seluruh penjuru dunia, sehingga memungkinkan orang untuk terhubung dengan mudah tanpa batas geografis. Meski begitu, media sosial memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif media sosial berkontribusi dalam menyediakan informasi secara cepat dan akurat. Di sisi lain, dapat berdampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya dalam hal penyebaran ideologi radikal, perdagangan narkoba, dan aktivitas negatif lainnya yang dapat melunturkan ketahanan nasional dan keutuhan negara serta menimbulkan perpecahan.Â
Fenomena post-truth sendiri dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seringnya fakta aktual digantikan oleh daya tarik emosi dan prasangka pribadi dalam upaya mempengaruhi opini publik. Fakta atas suatu peristiwa biasanya disajikan dengan manipulasi informasi agar sesuai dengan intensitas atau kepentingan si penyebar berita, atau lebih buruknya yang disebarkan bukanlah fakta yang sama sekali. Sederhananya, post truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran.
Era teknologi dan keterbukaan informasi membuat masyarakat bisa beropini atau menyuarakan pendapatnya dengan bebas. Namun, kemajuan teknologi terutama internet dan media sosial, memungkinkan penyebaran informasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Pada saat yang bersamaan muncul fenomena post truth yang sangat memudahkan penyebaran informasi yang salah dan tidak terverifikasi dengan cepat, sehingga masyarakat dengan mudah terpapar pada disinformasi.Â
Sebagaimana kemunculan istilah post-truth ini, cukup mengkhawatirkan. Dampaknya, masyarakat diselubungi antitesis dari pengetahuan dan kebenaran yang hakiki. Masyarakat post-truth akan rentan terprovokasi informasi yang diproduksi dengan tujuan untuk mempermainkan dan mengaduk emosi khalayak dan menggiring sebuah kebenaran dalam menyampaikan informasi dan gagasan.
Hal ini tentu menjadi sebuah masalah, karena pada post-truth ini para pelaku memiliki tujuan lebih dari sekadar menyebarkan berita bohong, tetapi membuat seseorang mempercayai suatu data terlepas dari ada atau tidaknya bukti. Lebih dari itu, post-truth juga mencakup informasi fakta. Seperti penggunaan gambar tertentu untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Pada akhirnya, informasi yang diberikan bukan lagi merupakan informasi yang valid dan kredibel.Â
Salah satu faktor terjadinya fenomena ini adalah kondisi transisi masuknya teknologi ke dalam kehidupan bermasyarakat. Terbukanya ruang internet mendorong hadirnya siapa pun dalam ruang publik yang bukan lagi berdasarkan esensi, melainkan eksistensi. Sifat serba cepat yang ditawarkan pun turut memicu masyarakat menjadi tidak kritis dan irasional dalam mencerna sebuah informasi. Akhirnya, banyak orang menjadi tidak waspada dan mudah terjerat dalam pusaran distribusi informasi.Â
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa kebenaran dan fakta harus menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan dan pembentukan sebuah opini. Setiap orang harus memastikan bahwa informasi yang diterima berasal dari sumber yang terpercaya dan jujur. Selain itu, pengembangan keterampilan kritis dan literasi serta informasi menjadi faktor penting dalam mengatasi post-truth .
Mengatasi hal tersebut, Pancasila dapat menjadi pencegah dalam menghadapi post truth atau pascakebenaran. Sila ke-2 dalam Pancasila mampu menuntut kebenaran untuk diverifikasi. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah nilai yang mampu menjadi tameng dalam menghadapi post truth. Kemanusiaan yang adil dan beradab lahir dari rasionalitas yang menyatu dengan rasa empati, persaudaraan, dan pembebasan. Prinsip ini juga melahirkan politik emansipatoris, politik yang membuka ruang bagi mereka yang terpinggirkan. Kemanusiaan bukan wacana, tetapi suatu tata nilai yang hidup, dan dapat dipertanggung-jawabkan secara moral dan etis. Kemanusiaan akan melahirkan manusia rasional yang bermoral dan memiliki etika, manusia yang benar-benar manusia.Â
Sumber referensi:
1. Amilin. (2019). Pengaruh Hoaks Politik dalam Era Post-Truth terhadap Ketahanan Nasional dan Dampaknya pada Kelangsungan Pembangunan Nasional.Â