Mohon tunggu...
Arifdah Fauziyah
Arifdah Fauziyah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar Sekolah

SMAIT Nurul Fajri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyusur Warisan Masa Lampau, Karapan Sapi; sebagai "Pesta" Rakyat Madura

6 Agustus 2024   16:36 Diperbarui: 6 Agustus 2024   18:51 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Siapa yang tak mengenal Pulau Madura? Pulau yang identik dan sering kali di ingat karena populer nya kuliner satai ayam ini ternyata juga memiliki segudang tradisi unik yang tidak ditemukan di Pulau-Pulau lainnya lho. 

Beranjak dari ambisi untuk memperkenalkan lebih luas tradisi Karapan Sapi, kita dapat menelusuri dan menggali lebih jauh lagi tentang tradisi Karapan Sapi sebagai sebuah kearifan lokal. Akan lebih menakjubkan jika Karapan Sapi akan terus dilestarikan, mengingat tradisi Karapan Sapi yang telah berlangsung turun temurun ini selalu menarik perhatian masyarakat luas, termasuk wisatawan mancanegara, bahkan telah dinobatkan sebagai salah satu objek wisata primadona di Jawa Timur. 

Berawal dari atraksi budaya yang lahir dari tradisi petani, kini justru menjadi daya tarik wisata tersendiri. Istilah "kerapan" atau "karapan" berasal dari kata "garapan", karena pada awalnya perlombaan sapi diadakan oleh para petani seraya "menggarap" sawahnya. Munculnya tradisi Karapan Sapi diawali dari kondisi tanah Madura yang kurang subur. Dalam keadaan seperti ini, warga Madura lebih memilih menjadi peternak sapi dibandingkan petani. Di daerah pedesaan, sapi digunakan untuk membajak sawah dan ladang. 

Kisah Karapan Sapi juga konon ada kaitannya dengan seorang ulama asal Sumenep bernama Syekh Ahmad Baydawi. Ahmad Baidawi yang juga dikenal sebagai Pangeran Katandur mendemonstrasikan cara menanam tanaman dengan menggunakan bambu yang ditarik oleh dua ekor sapi. Karapan Sapi awalnya diselenggarakan untuk memelihara ternak yang kuat dan mampu membajak sawah. Namun, lambat laun Karapan Sapi berkembang menjadi ajang kompetisi dan terus berlanjut hingga saat ini.

Karapan Sapi merujuk pada perlombaan pacu sapi singkat yang identik dilaksanakan di daerah berlumpur, dan hanya digelar dalam waktu 10 detik hingga 1 menit, dengan lintasannya yang hanya 100 meter saja. Sebelum pertandingan dimulai, para pemilik sapi akan melakukan ritual arak-arakan sapi di sekeliling pacuan yang disertai dengan alat musik seronen. Seronen merupakan perpaduan alat musik khas Madura yang mampu membuat acara makin meriah. Saat laga, sepasang sapi dikendarai oleh seorang joki. Joki itu berdiri di atas sebuah pijakan yang disebut kaleles yang ditarik oleh sapi. Joki pun berdiri mengendalikan sapi dalam kecepatan tinggi di lintasan. Budaya khas suku Madura ini selalu digelar setiap tahun nya pada bulan Agustus atau September. Kemudian akan dilombakan lagi untuk final pada akhir September atau Oktober.

Bagi sebagian besar masyarakat Madura, Karapan Sapi lebih dari sekadar pesta rakyat, atau warisan turun-temurun. Sapi kerap menjadi penanda status seseorang. Dalam Karapan Sapi, harga diri para pemilik sapi dipertaruhkan. Kalau menang, mereka mendapat hadiah dan uang taruhan. Harga sapi pemenang juga dapat membumbung tinggi. Kalau kalah, harga diri pemilik jatuh dan kehilangan uang yang tidak sedikit. Sebab, perawatan sapi terbilang mahal. Berbagai cara pun sudah dilakukan demi meraih kemenangan. Termasuk menyewa dukun agar sapinya selamat dari serangan jampi-jampi musuh.

Kini, fungsi Karapan Sapi sudah bergeser dari tujuan awal sebagai hiburan, alat berkomunikasi, dan penanda awal tanam. Pelaksanaan Karapan Sapi mulai diorganisir. Sapi kerap menjadi penanda status seseorang. Status sapi berubah menjadi hewan pacuan, bukan lagi dipekerjakan untuk pertanian. 

Permainan Karapan Sapi ini jika dicermati secara mendalam juga mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu seperti kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang kuat, lincah, dan tangkas. Dengan demikian, untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena Karapan Sapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun