Pengantar
Kerinduan untuk kembali menulis adalah sebagaimana kerinduan seorang yang sedang kehausan di padang pasir. Meskipun paham bahwa rahsa haus tidaklah sama. Bahkan mungkin orang di gunung jarang sekali memahami apakah arti 'kehausan' tersebut. Begitu halnya manakala tulisan-tulisan ini kembali dihantarkan. Nikmatnya air dingin yang masuk ke tenggorakan akankan sama? Terlepas dari pertanyaan tersebut. Beberapa tulisan ini akan kami hantarkan dalam secara bersambung. Semua akan kembali kepada sidang pembaca dalam memaknai kisah kisah dan hantaran kajian berikut ini.
Jalan kehidupan bagi manusia adalah jalan cinta kasih Tuhan.  Hanya  cinta kasih Tuhanlah yang akan mampu membuat kesempurnaan jiwa bagi manusia. Oleh karena itu, hanya Tuhanlah yang mampu menunjukkan jalan-jalan KESEMPURNAAN JIWA.Wujud cinta kasih manusia kepada Tuhan  hanyalah sebuah KEBAKTIAN. Melalui KEBAKTIAN (baca; takwa) inilah wujud dari cinta kasih manusia kepada Tuhannya. Sebuah hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan.Â
Konsepsi TAKWA (kebaktian) inilah yang  melandasi pengajaran agar manusia ber Islam (berserah), yaitu keadaan SUKARELA dalam KEBAKTIAN.Kebaktian menuntut ketulusan hati, totalitas dalam pelaksanaannya. Maka wujud cinta kasih adalah sebuah totalitas gerak manusia untuk mengikuti kehendak –Nya. Wujud kehendak Tuhan ada pada dan di dalam hukum-hukum alam semesta itu sendiri. Maka manusia harus mampu mengikuti gerak sang alam. Inilah kebaktian bagi raga manusia. Sementara jiwa manusia diam mengamati seluruh proses gerak ini. Jiwa harus DIAM dalam KESADARAN bahwa dialah hakekatnya tengah menjadi  sang PENYAKSI atas penciptaan diri mereka sendiri.
Kesaksian dalam sikap yang totalitas. Mengembalikan seluruh anggapan, angan dan juga prasangka kepada Tuhan. Jiwa tidak diperkenankan campur tangan atas urusan Tuhan. Jiwa harus tunduk dalam kepasrahan meskipun raganya akan dipergunakan oleh alam untuk suatu urusan. Jiwa harus dalam KEBAKTIAN yang total. Inilah jalan KETAKWAAN, jalan CINTA, yang terus di perdebatkan anak manusia. Semua terangkum dalam sebuah HUKUM universal.
Begitulah rangkaian pemahaman yang merupakan sebuah jalan kehidupan bagi para pencari cinta dan kasih sayang. Adalah orang-orang yang menginginkan kebermaknaan atau eksistensi dalam hidupnya, dalam membangun peradaban dunia ini. Pengakuan ini akan membawa kepuasan manusia saat menjalani rangkaian proses kehidupan itu sendiri.Â
Setiap fase dan etape perjalanan, dan atau setiap pergantian keadaan akan selalu membawa KENIKMATAN atas HIDUP. Sehingga rangkaian siklus kelahiran dan kematian, siklus siang dan malam, siklus sukses dan gagal, siklus anugrah dan musibah, siklus sedih dan senang, dan lain sebaginya,  bagi dirinya hanya sebuah ‘journey’ yang akan dinikmatinya dalam suasana SYUKUR. Merasa terberkati dalam hidupnya.
Maka menurut pemahaman ini maka manusia harus mampu melakukan transformasi sehingga dia mampu melakukan kebaktiannya kepada  Tuhan secara sukarela. Kebaktiannya inilah yang  akan menghantarkan kesempurnaan jiwa. Kenikmatan tiada putus atas/kepada orang-orang yang mampu sukarela melakukan kebaktian kepada Tuhan (baca; takwa).Â
Setiap kali manusia mampu melakukan kebaktian dengan sempurna maka akan hadirlah KEPUASAAN. Dari sinilah jalan kesempurnaan jiwa, yaitu jalannya orang-orang yang diberikan nikmat kasih sayang Tuhan. Jalan KEBAKTIAN itu adalah MEMBANGUN PERADABAN MANUSIA dengan SUKARELA. Menggunakan KECERDASAN dan KESADARAN yang TINGGI.
Rangkaian doa dan ikhtiar manusia dalam mencari jalan-jalan Tuhan senantiasa akan diakhir dengan satu lantunan, harap dan cemas, dalam manifestasi ruh alam semesta, yang terwakili oleh sebuah kata ---> Â 'AMIN' !.
Bermakna apakah simbol AMIN, apakah hanya sebatas ungkapan rahsa, untuk mewakili harap dan doa saja? Ataukah simbol tersebut memiliki makna yang lebih jauh? Siapakah yang mengajarkan lafadz kata tersebut? Siapakah yang mengajarkan manusia menulis dan membaca? kemudian merangkaikan kata?Â