Mohon tunggu...
Arif B Santoso
Arif B Santoso Mohon Tunggu... -

mending begini deh!!! e mail ku arfbsantoso@gmail.com./0818101521. YM arfbsantoso@yahoo.com. Skype: arif.b.santoso. Facetime: arfbsantoso@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disunat Ikan (Pengalaman Masa Kecil)

8 April 2010   08:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:55 1830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi orang Sunda, mungkin amat aneh kalau tahu bahwa ada orang yang alergi dengan ikan Mas. Bagi orang Sunda, terutama yang tinggal di pedesaan mungkin akan aneh kalau melihat orang yang merinding saat lewat kolam ikan Mas. Bagiku tidak aneh, mungkin karena aku cuma berdarah separuh Sunda. Bagiku tidak aneh, karena orang itu ya aku. Sungai kecil yang mengalir deras di tepi proyek kantorku di Cipeteuy Sukabumi, puluhan kolam ikan Nila dan Mas milik penduduk serta calon kolam air deras bagi Mujair ku mengingatkanku pada pengalaman “traumatis” 39 tahun lalu saat aku sedang ikut ayahku pulang kampung ke Kampung Benteng, Ciampea Bogor. Saat itu usiaku 5 tahun. Ada Mamang ku yang akan menikah. Kebun Aki yang sangat luas dan berisi beraneka ragam tanaman serta empang ikan yang banyak adalah magnet yang sangat kuat bagiku. Persiapan pernikahan bukan prioritas bagiku dan 2 sepupuku. Kami lebih tertarik mengamati pohon nanas yang sedang berbuah atau menunggu buah kecapi matang jatuh dari pohon. Bahkan acara ritual pagipun kuanggap petualangan yang mendebarkan dan sangat memompa adrenalin. Bayangkan nangkring di atas bilah-bilah bambu, dan di bawahnya telah menunggu ratusan ikan Mas sebesar paha anak seusiaku sungguh menantang. Sampai suatu pagi, karena kemarin aku terlalu banyak main dan juga terlambat makan, ada yang tidak beres dengan perutku. Sejak semalam perutku mulas dan kembung. Mau ke WC, tak mungkin berani karena jalan gelap serta becek karena habis hujan. Akhirnya begitu terang tanah aku segera berlari ke tangkringan favoritku, WC nomer 3 dari ujung, di atas kolam ikan Mas siap panen. Perutku yang mulas tidak juga mengeluarkan apa yang seharusnya kukeluarkan. Malah makin melilit. Sementara para penunggu kolam telah tak sabar menunggu sarapan paginya. Mereka berebut untuk berada di paling “depan”. Bahkan 8 ekor yang terbesar (aku baru tahu setelah beberapa tahun  kemudian bahwa berat mereka sudah 12-16kg/ekor ketika itu) ikut berkerumun di bawahku. Mereka berjuang untuk mendapatkan tempat makan yang terbaik, dan akupun berjuang untuk mengeluarkan makanan bagi mereka dari perutku. Saking tak sabarnya, pipisku yang keluar sedikit-sedikitpun diperebutkan. Tiba-tiba berkelebat bayangan merah kekuningan dari bawahku dengan diiringi bunyi yang keras mendekat. Yang kurasakan adalah rasa perih di ujung tititku, sangat perih. Dan saking kagetnya aku terpeleset dan tanpa kumau terjun ke empang dengan suara jeburan yang lumayan keras. Kaget, sakit, jijik dan malu bercampur jadi satu. Akupun menjerit-jerit minta tolong. Dan dalam waktu tak lama semua mamangku, termasuk Mang Udin yang akan menikah keesokan harinya berlari menghampiri dan menolongku. Saat digendong aku sempat melirik yuniorku, ada darah di sana. Perihnya ampun-ampunan. Semua orang seakan berebut menolongku, dan tak lama kemudian akupun sudah dibaringkan di tempat tidur Ninik dengan badan yang sudah bersih, berpakaian kering, kepala benjol dan titit yang kata sepupuku sedikit bengkak. Perih masih belum hilang. Aku meringis menahan sakit. “Sabar, tunggu Mang Dayat ya”, terdengar suara Aki. Mang Dayat adalah mantri suntik di kampung ayahku. Saat pipis adalah siksaan tersendiri. Darah beku rupanya sedikit menutup lubang kencingku. Akupun menangis sejadi-jadinya. 2 sepupuku yang terus mendampingiku dengan niat menghibur malah memperparah situasi. “Jangan-jangan kamu kualat sama Uak karena kemarin kan kita nempelin terasi di pohon pisangnya Uak?” kata Ariodamar salah seorang sepupuku. Memang 3 hari lalu kami bertiga sempat menjahili 14 pohon pisang Uak Tatang. Berbekal pisau kecil kami menukil sedikit batang pohon pisang dan memasukkan seruas jari terasi ke dalamnya. Walhasil keesokan harinya Uak Tatang murka karena semua buah di 14 batang pohon pisang yang malang itu berubah kekuningan seperti matang sebelum waktunya. Hampir saja aku berteriak untuk protes. Kalau memang kualat kok cuma aku sendiri? Memang yang punya ide dan pelaksananya aku juga. Tapi kalaupun demikian rasanya tidak adil. Singkatnya, setelah diperiksa Mang Dayat, turunlah vonis bahwa aku harus disunat karena dikuatirkan ada pendarahan di kulit luar tititku yang akan menyumbat saluran kencingku. Tanpa persetujuanku, dipanggillah Bengkong Umar, tukang sunat tradisional yang namanya cukup kesohor di Ciampea saat itu. Aki, ayah, serta semua uak berunding dan memutuskan waktu sunat adalah subuh keesokan harinya sebelum mamangku akad nikah. Keesokan harinya seusai shalat subuh aku digendong ayah dan diiringi semua sanak keluarga berjalan beriringan ke Sungai Cidurian yang letaknya tak jauh dari rumah Aki. Aku disuruh berendam di air sungai yang sangat dingin itu. Kemudian diangkat dan digendong serta dipangku ayahku. Sreett...sreeett, tangan Pak Umar bergerak dengan gesitnya. Selesailah proses inisiasiku. Sejak itu, sampai sekarang, janganlah aku disuguhi ikan Mas. Aku tak akan mau memakannya. Aku menghormati mereka yang telah membantu sunatku. Dengan finishing touch dari Bengkong Umar, hasilnya memuaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun