Setelah tersebarnya dokumen kisah cinta Kang Ibeng Mbeling Menhantjol Negeri Ngotjoleria yang memilukan itu oleh Ikaparhusip Sang “Matahari” dari Negeri Kompasiana, Kang Ibeng menghilang dari peredaran. Beberapa kali rapat petinggi di Balairung tidak dihadirinya. Bahkan acara senam pagi bersama masyarakatpun sudah tidak lagi dihadirinya. Banyak rakyat yang bertanya-tanya.
Apalagi disusul dengan terlemparnya Kang Ibeng dari kancah sayembara memperebutkan Nathalia putri Baginda. Konon Menhantjol gagal dalam test kesehatan.
Akhirnya diadakan jumpa pers atas desakan Katedra Rajawen Penasihat Kerajaan yang prihatin karena jarangnya Kang Ibeng muncul dalam acara-acara kenegaraan.
“Sebenarnya saya ini orang yang sangat layak untuk mendampingi Sang Putri”, kata Kang Ibeng dalam jumpa persnya di Kafe Doekoen. Dalam keterangan persnya yang mengharu-biru itu Kang Ibeng menduga adanya sabotase dari Ikaparhusip yang katanya sakit hati karena cintanya ditolak Kang Ibeng. “Anda sudah melihat bukti yang tertinggal di tempat saya,itu juga salah satu cara dia membalas dendamnya!”, katanya dengan geram sambil mengibar-ngibarkan BH bercorak mawar dihadapan para wartawan.
“Siapapun tahu bahwa saya adalah orang yang baik hati,berbudi luhur dan penuh kasih sayang!”,kali ini sambil sedikit terisak. Terlihat ingus menetes dari hidung Kang Ibeng. Memang itulah ciri khas Menhantjol jika sedang sedih . “Karena saya pantang meneteskan air mata”,kilahnya saat pidato mengangkatannya sebagai Menhantjol oleh Baginda ASA.
“Tidak benar bahwa saya tidak sehat,saya sangat bugar! Tapi kalau saya sedikit cacat mental, i---i--itukan sudah bawaan bayi!”, kali ini pecahlah tangis yang memilukan. Bukan lagi menetes,ingusnya bertebaran di hampir seluruh wajah ganteng Kang Ibeng. Katedra Rajawen Penasehat Kerajaan yang ikut mendampingi saat jumpa pers sampai harus meminjam payung agar dirinya tetap kering. Jumpa pers pun bubar dengan sendirinya.
Keesokan harinya berita menyebar ke seantero negeri. Beberapa cuplikan gambar saat jumpa pers selalu ditayangkan ulang. Yang menjadi favorit adalah saat Menhantjol berlari keluar sambil menutupi hidungnya dengan segulung tissue yang berkibar dan terpental-pental di belakangnya.
Baginda ASA yang bijak tentu prihatin dengan kondisi yang terjadi. Berjam-jam beliau dan permaisuri Inge mendiskusikan hal tersebut. “Kita tidak bisa memaksakannya kanda,kita hanya bisa memberinya semangat dan motivasi pada Kang Ibeng”, kata permaisuri Inge dengan suaranya yang khas.
Akhirnya,di setiap acara pernikahan,selalu ada doa penutup wajib,atas titah Baginda yang berbunyi “…semoga Kang Ibeng segera menyusul..AMIN!”.
Kalimat “Kemon Kang,kapan nyusul…” seakan juga menjadi sapaan wajib jika tiap orang bertemu Kang Ibeng di tiap acara pernikahan yang dihadirinya.
Keadaan itu bukan membuat Kang Ibeng bersemangat. Ia merasa dilecehkan oleh rekan kerjanya, bahkan oleh rakyatnya.
Makin parah lagi setelah 2 bulan kemudian Ikaparhusip diundang resmi oleh Baginda untuk menjadi guru samurai bagi keluarga kerajaan.
Sampailah di suatu sore di akhir bulan Desember sebuah kabar duka sampai ke Negeri Ngotjoleria. Bapak Bangsa dari negeri seberang yang juga sangat dihormati di Negeri Ngotjoleria wafat.
Maka diputuskanlah seluruh keluarga kerajaan berangkat untuk lelayu ke negeri seberang. Sebagai Menhantjol Kang Ibeng pun ikut dalam rombongan.
Ikaparhusip yang sangat mengidolakan Bapak Bangsa ikut serta dalam rombongan. Tidak hentinya ia meneteskan airmata. Kang Ibeng yang mengetahui kehadiran Ika langsung menggelegak darahnya. Namun karena sedang bersama dengan Baginda maka disimpannya amarah itu.
Sampai suatu saat ketika rombongan sedang berbaris mengiringi jenazah Bapak Bangsa ke peristirahatan terakhirnya, Kang Ibeng berjalan berdampingan dengan Ikaparhusip.
Teringatlah dia dengan kalimat yang selalu menyapanya beberapa bulan terakhir. “Inilah saatku untuk membalasnya!” ucapnya dalam hati.
Didekatinya Ikaparhusip, dibisikkannya kalimat tersebut ke telinga Ika, “Kapan nyusul…?” dengan nada mengejek dengan tangan menunjuk ke depan.
Tanpa disangka amarah Ika membuncah,”KURANG AJAR!!” secara refleks ia merapalkan ajian Semar Ngedhen yang membuat kentut menjadi senjata membahayakan. DUARRRRR!!!!
Tubuh Kang Ibeng terpental sedepa dengan wajah menghijau. Sejurus kemudian tidak lagi tampak tubuh malang itu karena terinjak dan terdorong oleh lautan massa yang larut dalam kesedihan dan kepedihan. Rombongan tetap berjalan tanpa kepedulian pada si muka hijau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H