Mohon tunggu...
Arif B Santoso
Arif B Santoso Mohon Tunggu... -

mending begini deh!!! e mail ku arfbsantoso@gmail.com./0818101521. YM arfbsantoso@yahoo.com. Skype: arif.b.santoso. Facetime: arfbsantoso@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Balada Eka dan Pisangnya

29 Desember 2009   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Eka yang seorang guru sedang gundah. Bukan karena pacar,yang memang sedang ruwet karena Jimmo juga digunjingkan sedang berhubungan erat dengan Izzah,Nopey,Ika bahkan sedang berusaha mendekati Sang Permaisuri Inge. Bukan juga soal uang,sebagai pewaris kerajaan bisnis transportasi di Sungai Musi, uang bukan masalah bagi Eka.

“Aku sedang bingung dengan kondisi mata ku ini ayahanda”, kata Eka kepada ayahandanya yang baru Katedra Rajawen lewat telepon. Menurut Eka,dalam profesinya, mata memegang peran yang sangat penting. “Bagaimana aku bisa mengawasi mereka yang nyontek di bangku belakang kalau mataku rabun begini?, keluh Eka lagi.

“Bagaimana kalau ayah belikan kacamata?”. Ada nada prihatin dalam suara ayahanda Eka yang dikenal memiliki jawaban bijak atas banyak hal di NegeriNgotjoleria. “Jangan! Aku emoh kalau keindahan mataku terhalang oleh kacamata. Aku juga gak mau pake lensa kontak,alergiii!” tukas Eka. Ngeri ia membayangkan prospek hubungannya dengan Jimmo jika ia berkacamata. “Dasar orang tua, gak tau apa kalau mataku yang indah ini selalu dipuji Jimmo” menggerutu dalam hati.

“Coba ayah lihat matamu nak”,maka berpindahlah mereka ke mode video call. Tampak dengan jelas oleh Bung KR mata Eka yang berair,sembab karena banyak menangis, “Aduh,sampe bocor ke hidung” ucapnya dalam hati.

Tiba-tiba Eka berkata: “Kok ayahanda jadi mirip banget sama Bang Zul?”. “Eh,ya enggak lah nak, parah benar kalau gitu rabunmu. Tapi terima kasih sudah mengatakan ayah mirip dengan Zul”, sedikit tersipu dan bangga juga Bung KR dikatakan mirip dengan Zulfikar Akbar,orang bijak lain dari Negeri Kompasiana yang terkenal ganteng dan cerdas. “Ayah akan cari solusinya nak”,kata Bung KR lalu menutup telepon.

Otak kreatif diantara dua telinga lebar KR bekerja keras, dinyalakannya computer dan mulai searching tentang rabun mata di internet. Tidak ada jawaban yang memuaskan. Tiba-tiba teringat olehnya nama yang sempat disebut Eka. “Ah ya,mending aku tanya Zul,siapa tahu sudah ada penelitian canggih di negeri seberang”.

Akhirnya Bung KR kembali mengambil teleponnya. 4 kali dicoba menelpon 4 kali pula muncul jawaban dari mail box. “Ah kenapa pula telepon itu mati?” kata KR dengan gusar.

Setelah 16 kali mencoba,ada nada sambung. “Ah maaf Bung,aku tadi sedang rapat dengan beberapa penerbit. Novel baruku sedang ditawar oleh mereka” terdengar suara lembut Zulfikar Akbar. Maka berdiskusilah kedua orang bijak pandai ini tentang banyak hal,terutama tentang persoalan Eka. “Baik lah nanti aku coba carikan solusinya”,tukas Zul menutup pembicaraan telepon selama 4.5 jam itu.

Beberapa hari kemudian Zulfikar Akbar kembali menelpon. Dengan nada antusias ia mengabarkan temuannya kepada Bung KR,”Bung solusinya adalah PISANG!”. “Pisang?”,tanya Bung KR dengan nada bingung. “Ya! Makan pisang sebanyak-banyaknya” tukas Zul dengan nada tergesa. “Kenapa kok pisang? Bukan wortel?” balas Bung KR dengan nada bingung. “Tidak-tidak bukan itu. Pisang bung,coba saja aku sudah menemukan dan melihat sendiri buktinya. Maaf aku terburu-buru karena harus segera rapat dengan calon-calon penerbit”,kembali Zul menukas dengan nada terburu-buru. Kemudian telepon mati.

Masih sedikit bingung,tapi juga lega karena ada jalan keluar bagi derita anak angkatnya,diteleponlah Eka: ”Nak,obat untuk matamu sederhana,itu mungkin penemuan dari negerinyaZul, banyak-banyaklah makan pisang”. “Pisang? Pisang apa ayah?” jawab Eka. “Yah makan pisang apa saja yang penting buah pisang,karena Zul tidak bicara jenisnya”.

Akhirnya Eka pun membeli setandan pisang. Teman-teman gurunya yang bertanya di jawabnya dengan yakin bahwa itulah cara pengobatan mata yang termutakhir, banyak makan pisang.

Sejak itu, pisang menjadi komoditi yang sangat berharga. Harga pisang melambung tinggi secara irrasional. Pisang diburu banyak orang,diperjual-belikan seakan barang langka. Bahkan setelah beberapa bulan komoditi itu mengalahkan perdagangan Tokek yang konon sempat mencapai harga ratusan juta per ekor.

Baginda ASA bahkan sampai berencana untuk membuat lembaga macam BPPC di negeri seberang untuk mengendalikan harga pisang yang makin melambung.

Penjarahan pisang,pencurian di kebun-kebun menjadi laporan rutin yang masuk ke kepolisian Negeri Ngotjoleria. Pegawai banyak yang bolos karena lebih mengutamakan kerja sampingan sebagai Marping (Makelar Pisang).

Karena gerah dengan kondisi yang ada, akhirnya Baginda ASA memanggil Kepala BIN (Badan Intelejen Ngotjoleria), “Selidiki,darimana Banana Gate ini dimulai! Bawa kehadapanku!”

Dengan kecanggihan teknologi perdukunan di negeri itu, dalam waktu 2 jam saja Bung KR dan Eka sudah berada di hadapan Sang Baginda. Semua petinggi negeripun hadir karena ingin tahu penyebabnya. Bahkan Sang Permaisuri Inge sampai membatalkan jadwal creambath hari itu.

Baginda heran,ternyata sang pembuat keonaran adalah Bung KR yang sebenarnya digadang-gadang Baginda untuk memimpin BPK (Badan Pertimbangan Kerajaan). “Ceritakan!”,titah Baginda singkat.

Maka berceritalah Bung KR dengan runut sejarah “Pisang Gate” itu,tentunya dengan bahasa yang bersayap namun penuh makna seperti biasa. Disebutkan pula bahwa ide awalnya berasal dari Zulfikar Akbar,cendikia dari negeri seberang.

Dengan kepolosannya, Bung KR menawarkan kepada Baginda untuk mengkonfirmasikan hal tersebut kepada sang penggagas. “Silakan saja,dan pakai pengeras suara biar semua yang hadir di balairung ini”, jawab Baginda.

Setelah dering ke 7,terdengar suara lembut dari Zulfikar Akbar, “Selamat malam,maaf karena disini sedang malam Bung. Saya sedang berada di Perancis untuk launching novel saya yang sudah diterjemahkan di 32 negara, ada kabar apa gerangan?”, suaranya terdengar jernih ke seluruh ruangan. “Maaf saya juga tidak bisa berlama-lama di telepon karena harus tandatangani novel-novel saya” tambahnya lagi. Dengungan orang banyak melatari suara itu.

“Selamat siang Bung Zul, saya mau Tanya, bagaimana negeri anda menemukan pisang sebagai obat mata rabun? Kan anda belum sempat menjelaskannya kepada saya waktu itu,” balas KR dengan sedikiit nada penasaran. Lama tak terdengar jawaban. “Halo!” kata KR lagi.

Akhirnya terdengar jawaban”Ah ya soal pisang itu. Ya saudaraku, saya ingat sekarang. Alasannya adakah Monyet Bung”, HAH? “Ya,monyet. Saya mengamati bahwa monyet itu kan makan pisang,setelah saya teliti tak ada satupun dari mereka yang pakai kacamata. Maaf saya tidak bisa berlama lama,selamat malam”.

Monyet?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun