Mohon tunggu...
Andi Arifayani
Andi Arifayani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

www.andiarifayani.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita dan Dunia yang Semakin Narsis

25 Mei 2015   10:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:32 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Narciccus Yang Malang

Kata narsis ternyata mempunyai sejarah yang kelam. Konon, kata ini berasal dari dewa yunani bernama Narcissus yang sangat mengagumi ketampanannya sendiri. Kekaguman itu berbuah petaka saat dia harus tenggelam di sungai styx karena begitu mencintai bayangannya.

Sejarah tersebut menjadi asal usul kata narsis untuk menggambarkan orang yang mempunyai self esteem yang berlebihan. Bahkan ada yang menggolongkan narsis sebagai salah satu penyakit mental yang disesabkan ketidakmatangan emosional. Menurut penelitian ‘penyakit’ ini meningkat pesat beberapa tahun terakhir dan umumnya menyerang anak muda.

Di era digital saat ini, Sifat narsis biasa ditunjukkan dengan berfoto dan memamerkannya di media sosial. Facebook, twitter, path, BBM, line merupakan aplikasi yang familiar dijadikan ‘korban’ ke-narsisan penggunanya. Mungkin kurang tepat jika aplikasi-aplikasi tersebut dikatakan ‘korban’ karena mereka memang diciptakan untuk menampung hasrat manusia modern untuk berbagi informasi apapun dengan cepat tanpa harus bertatap muka.

Narsis dan Selfie

Kata selfie secara resmi menjadi kosa kata dalam kamus oxford pada tahun 2013 serta dinobatkan menjadi ‘word of the year’ di tahun yang sama. Setelah ditelusuri, ternyata kata ini muncul pertama kali di dalam situs online Australia pada tahun 2002.

Berkat kehebatan teknologi dan penelitian, diketahui salah satu remaja yang pertama kali melakukan selfie adalah Anastasia Nikoloevna dari Rusia.  Ia mengambil potret dirinya sendiri di depan cermin pada tahun 1914. Hasil foto tersebut tidak  diupload ke facebook, twitter dan path, karena pada tahun itu, Mark Zuckerberg dan Jack Dorsey saja belum lahir. Kembali ke Anastasia, Diketahui ia mengirimkan hasil foto tersebut melalui surat ke salah seorang temannya.

Sumber lain mengatakan bahwa foto selfie pertama kali dilakukan oleh Robert Cornelius, seorang pelopor fotografi pada tahun 1839.

Dari sejarah, kita tahu bahwa narsis dan selfie ternyata sudah ada jauh sebelum smartphone ditemukan. Mungkin karena watak dasar manusia yang selalu ingin mendapatkan perhatian dan pengakuan dari manusia yang lain. Naluri untuk menunjukkan eksistensi tentu menjadi sifat alamiah dari makhluk hidup.

Setelah selfie, muncul lagi kata baru yaitu groufie. Perbedaan keduanya hanya tergantung objek yang difoto. Jika mengambil gambar dengan beramai-ramai dan berkelompok, maka foto tersebut bisa dikategorikan groufi. Sebaliknya, selfie mengambil objek diri sendiri atau lebih.

Lantas, apakah semua orang yang melakukan selfie atau groufie tergolong narsis? Atau orang yang narsis sudah pasti melakukan selfie? Pertanyaan itu tentu mempunyai jawaban yang berbeda-beda. Karena tingkat kenarsisan orang juga bisa berbeda. Termasuk dalam mendefenisikan arti dari kata narsis itu sendiri.

Perangkat pendukung Selfie

Salah satu perangkat yang hukumnya ‘fardu kifayah’ saat sedang foto beramai-ramai adalah tongsis atau tongkat narsis. Dalam bahasa inggris disebut Selfie Stick. Dengan jumlah penduduk yang banyak serta pemilik smartphone dan akun media sosial yang membeludak, Benda ini menjadi populer di Indonesia.

Tapi tahukah anda, bahwa ternyata tongsis pernah muncul di Jepang dan masuk dalam buku “Unuseless Japanese Invention” terbitan tahun 1995. Sementara itu, kemunculan tongsis pertama kali terdapat di foto selfie Arnold dan Helen Hogg tahun 1925.

Saya masih ingat betul cerita salah seorang teman yang berlibur ke Universal Studio Singapura tepatnya tahun 2014. Dia dan teman lainnya duduk di jajaran agak depan. Sambil menunggu pertunjukkan, ia mengeluarkan tongsis dan berfoto ria. Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri mereka. Bertanya dengan bahasa inggris yang kedengaran seperti logat filiphina. Perempuan itu terlihat takjub dan menanyakan tempat membeli benda tersebut (red: tongsis). Heran juga, ternyata diluar negeri tongsis tidak sepopuler di Indonesia.

Setelah kehadiran tongsis, mulailah bermunculan perangkat pendukung selfie lainnya. Diantaranya, eyefish, widelens serta tongsis-tongsis bermacam rupa. Semuanya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia narsis yaitu berfoto.

Selfie dan dunia politik

Foto selfie mempunyai daya tarik tersendiri. Saya masih sangat ingat tahun 2014 lalu saat kampanye pemilihan presiden. Pak  Jokowi melakukan selfie dengan pak Jusuf Kalla yang kemudian di upload di twitter. Kejadian tersebut menjadi buah bibir di media dan tentu saja di kalangan masyarakat.

Saya yang saat itu masih mahasiswi mendapati begitu banyak komentar terkait foto selfie tersebut. Banyak apresiasi, terutama dikalangan anak muda. Mereka berpikir, tindakan selfie itu menunjukkan sisi ‘merakyat’ dari Jokowi-JK yang menghadirkan optimisme akan pemerintahan yang akan mereka emban.

Cibiran adalah sahabat setia dari apresiasi. Foto selfie Jokowi-JK tidak hanya menuai pujian, tapi juga kritikan terutama dari pendukung kubu lawan. Tindakan tersebut dianggap hanyalah pencitraan untuk menarik simpati anak muda atau remaja yang jumlahnya mencapai 25 persen dari total penduduk Indonesia.

Benarkah demikian? Silahkan tanya Pak presiden dan wakilnya.

Saya, Selfie dan Narsis

Dulu sekali saya tak suka berfoto. Kalau teman-teman sibuk berfoto, saya akan menawarkan diri untuk berada dibalik layar, sebagai tukang foto. Rasanya kurang nyaman saja melihat hasil foto diri sendiri. Hal tersebut menyebabkan hasil foto memperlihatkan saya yang sangat kaku dengan senyum malu-malunya. Padahal  who cares? Setiap selesai berfoto, kita akan sibuk melihat hasil foto tersebut dan pastinya tak ada yang peduli dengan kamu. Objek foto yang akan jadi pusat perhatian adalah ‘saya sendiri’. Masing-masing kita akan sibuk memperhatikan wajah kita di gawai. Apakah senyum yang tidak natural, jilbab yang bengkok tertiup angin, atau wajah yang tertutup oleh tangan teman yang mengangkat simbol ‘peace’. Tak ada yang benar-benar peduli dengan ‘kamu’ karena yang ada adalah ‘saya’.

Sekarang semuanya berubah setelah smartphone dan tongsis ‘menyerang’. Saya yang tak suka berfoto dikeramaian, jadi suka berfoto. Saya yang tidak pernah terbayangkan mempunyai tongsis, akhirnya membeli tongsis.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya melakukan banyak selfie khususnya saat berkumpul dengan teman-teman. Berfoto seperti menjadi bumbu wajib dalam setiap pertemuan yang melibatkan banyak orang. Tanpa berfoto, rasanya seperti sayur tanpa garam, hambar dan tak ada kenangan.

Kebutuhan akan berfoto tentunya didukung oleh perangkat berfoto yang mampu mengasilkan foto selfie yang bagus. handphone dengan spesifikasi kamera depan yang mumpuni menjadi pilihan utama dalam melakukan selfie. Berikut foto-foto  saya bersama teman-teman.

Groufie saat sedang melakukan kampanye Kelas Inspirasi Gowa

1432525581487771807
1432525581487771807
Groufie saat sedang berkumpul bersama menjadi menu wajib yang tak boleh dilewatkan

14325256441076560984
14325256441076560984
Groufie saat gerak jalan santai

1432525744960257085
1432525744960257085
Saat sedang di restoran cepat saji, berfoto adalah menu utamanya.

1432525919852305319
1432525919852305319
Berfoto ramai-ramai biasanya meningkatkan rasa percaya diri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun