Guru tak sekadar profesi,
Ia adalah pondasi,
Membangun generasi yang berdiri tegak di bumi pertiwi.
Namun, ironi merajai,
Mereka yang memberi ilmu tak bisa hidup layak di negeri sendiri.
Gaji kecil di bawah layak,
Mengajar sambil berkeringat, dada terasa sesak.
Haruskah mereka terus bertahan,
Ketika dapur nyaris tak mengepulkan asap kehidupan?
Di kelas mereka berbicara soal cita-cita,
Mengajarkan anak-anak tentang masa depan berwarna.
Tapi di rumah, mereka berpikir tentang utang yang menumpuk,
Bagaimana bisa mendidik dengan hati,
Jika perut sendiri tak sanggup untuk diisi?
Sertifikasi yang dijanjikan,
Hanya formalitas penuh beban.
Belum lagi birokrasi yang berlapis,
Waktu untuk keluarga hilang, energi terkikis.
Guru honorer?
Lebih parah lagi nasibnya.
Gaji tak cukup untuk ongkos pulang pergi,
Tapi mereka tetap setia,
Menghadapi dunia yang tak adil pada mereka.
Lalu, kita bertanya,
Mengapa pendidikan kita tak beranjak jua?
Bagaimana ilmu dapat menyala terang,
Jika lilin yang membakarnya dibiarkan meredup dalam bayang-bayang?
Pemimpin negeri, dengarkan ini!
Guru bukan sekadar angka di dalam statistik ekonomi.
Mereka adalah jiwa bangsa yang kita nanti,
Mereka pahlawan tanpa tanda jasa yang sering kau ingkari.
Kita butuh revolusi, bukan hanya janji manis di podium tinggi.
Beri guru hak mereka yang sejati,
Agar ilmu yang mereka ajarkan penuh dedikasi,
Bukan sekadar tugas karena terpaksa,
Tapi panggilan jiwa yang penuh makna.
Karena jika guru terus hidup dalam nestapa,
Maka jangan harap generasi kita mampu berjaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H