Kebijakan beberapa kampus negeri yang menaikkan biaya kuliah termasuk UKT (Uang Kuliah Tunggal) menimbulkan polemik di kalangan mahasiswa. Banyak yang kontra lantaran kenaikan biaya kuliah dianggap sangat membebani mahasiswa. Bahkan sejumlah mahasiswa UNSOED melakukan aksi kritik sarkas dengan membawa spanduk yang bertuliskan "Orang Miskin Dilarang Sarjana".
Lalu belakangan ini kita dihebohkan dengan Rektor Universitas Riau (Unri) Sri Indarti yang melaporkan salah satu mahasiswanya ke polisi akibat bikin konten kritik biaya kuliah mahal. Meskipun laporan sudah dicabut dan Rektor Unri tersebut berdalih tidak berniat untuk mengkriminalisasi mahasiswanya sendiri.
Realitas ini menimbulkan sebuah persepsi bahwa menggapai gelar sarjana seakan hanya menjadi previlage bagi segelintir orang berpunya saja, sementara mereka yang terbelenggu jerat kemiskinan terpinggirkan, menepi dan menjauh dari gerbang perguruan tinggi.
Biaya kuliah yang kian melambung bagaikan menara gading tak terjangkau, memisahkan harapan dan kenyataan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Cita-cita mulia untuk menimba ilmu dan mengabdikan diri bagi bangsa terkubur di bawah tumpukan biaya kuliah dan kebutuhan hidup lainnya.
Pemerintah, dengan segala retorikanya tentang pemerataan akses pendidikan, seolah tuli terhadap jeritan pilu mereka yang terpinggirkan. Beasiswa yang dikucurkan bagaikan setitik air di padang pasir, tak mampu membendung derasnya arus kemiskinan yang menghambat laju pendidikan dan seringkali beasiswa tersebut tidak tepat sasaran seperti yang kita lihat belakangan ini, bagaimana gaya hedonisme yang dipertontonkan oleh para penerima beasiswa, dan di saat yang sama banyak mahasiswa yang masih terlunta-lunta mencari biaya kuliah justru tidak menerima beasiswa yang seharusnya.
Institusi pendidikan pun tak luput dari sorotan. Alih-alih menjadi menara ilmu yang mencerdaskan bangsa, tak jarang mereka menjelma menjadi ladang bisnis dengan yang mengeruk keuntungan dari keringat dan mimpi anak muda. Akses pendidikan yang semakin sulit dijangkau bagi masyarakat miskin, melahirkan generasi muda yang pragmatis dan materialistis, serta hilangnya nilai-nilai luhur dalam proses belajar mengajar, hanyalah sebagian kecil dari konsekuensi yang harus ditanggung.
Di manakah suara para pemangku kebijakan? Di manakah nurani para elit politik yang gemar mengumbar janji kesejahteraan rakyat? Apakah mereka buta terhadap realitas pahit yang dihadapi anak-anak bangsa dari keluarga kurang mampu?
Negara ini, dengan segala kekayaan dan potensinya, bagaikan perahu besar yang hanya mengangkut segelintir penumpang berduit, meninggalkan mereka yang terpinggirkan di tepian dermaga. Mimpi untuk meraih gelar sarjana bagi rakyat miskin bagaikan fatamorgana, ilusi yang tak kunjung terjamah.
Sampai kapan ironi ini akan terus berlangsung? Sampai kapan jeritan pilu anak-anak tidak mampu yang terhalang menggapai mimpi harus dibiarkan menggema tanpa ada yang peduli?
Sudah saatnya bangsa ini berbenah, membuka mata terhadap realitas pahit yang ada. Pendidikan harus menjadi hak asasi bagi semua, bukan previlage bagi segelintir orang.