Mohon tunggu...
Arif Albert
Arif Albert Mohon Tunggu... mahasiswa -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru: Digugu lan Ditiru

3 Juli 2016   11:41 Diperbarui: 3 Juli 2016   11:45 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aktivasiotakkanan.net

Ketika memasuki masa sekolah, salah satu alasan yang membuatku mau tidak mau sangat menghormati seorang guru adalah mereka itu pendidik dan pengajar yang baik hati. Sikap mereka yang bersahabat dan mau mengajariku tentang ilmu, sungguh berkesan. Tidak banyak menghukum, karena sebenarnya aku juga tidak banyak melanggar aturan. Berhadapan dengan guru harus sopan santun karena mereka juga sebenarnya bapak dan ibu kita sendiri.

Merekalah yang memegang kunci gudang ilmu. Mereka punya akses kepada pengetahuan yang mendalam. Dan yang paling mulia dari semuanya, mereka bersedia untuk mengajarkan semua itu demi anak-anak didiknya. Jadi, kalau ingin tahu tentang banyak hal, ya jalan satu-satunya harus belajar kepada mereka.

Kedekatan relasi dengan para guru membuatku akrab dengan mereka, terutama saat aku masih SD. Kala masih lugu dan polos, mereka tidak segan untuk mengusap ingus yang keluar dari hidungku. Bahkan ketika aku membuat kehebohan di sekolah karena aku pingsan, mereka dengan sigap membawa dan merawatku dengan penuh perhatian.

Masa-masa sekolah di SD memang berbeda dengan SMP. Kenakalan-kenakalan yang mulai muncul selalu berkaitan dengan geng atau kelompok. Aku masih mengalami waktu itu, dipalak oleh temanku karena mereka tidak memiliki uang jajan. Demi menyelamatkan diri, aku terpaksa berbohong. SMP memiliki kenangan indah karena masa pengenalan, masa kenakalan dan masa belajar menyatu serta membentuk diriku bertumbuh. Para guru juga sudah memahami apabila ada anak didiknya yang mulai membolos, merokok, berkelahi dan menipu guru. Mereka memahami bahwa inilah masa pencarian seorang anak muda yang gandrung dengan kenyataan hidup yang menggiurkan. Tidak ada pikiran akan masa depan. yang penting hanyalah senang-senang dan gengsi. Belajar bukan menjadi prioritas, melainkan nomor sekian yang tidak begitu penting lagi. Yang penting bisa lulus dan berkumpul dengan teman-teman.

Guru

Guru mengajar kehidupan dan cinta. Seorang guru yang tidak mengajar kehidupan dan cinta, dia tidak sepenuhnya seorang guru. Ketika dia tahu bahwa matematika itu penting untuk masa depan walaupun anak didiknya malas memperhatikan, ia tetap mengajar sambil menegur. Sebab ia tahu bahwa ia sedang mengajarkan kehidupan dan cinta. Siapa lagi orang yang memiliki hati sedemikian dalam, selain seorang guru? Siapa lagi yang mau berbagi tentang indahnya kehidupan dan cinta?

Amanah yang diemban seorang guru sangatlah besar. Bukan main beratnya karena ia mengajari manusia, bukan mengajar binatang. Ia membentuk kepribadian, bukan kemalasan. Ia mengajari seorang manusia untuk tahu mengeja alfabet. Ia membentuk ingatan untuk belajar membaca, menulis dan bernyanyi. Semua itu dilakukan bukan satu kali, namun berkali-kali. Bukan satu-dua hari, namun berhari-hari. 7 jam dalam sehari dan 6 hari dalam seminggu, seorang anak diajari dan dibentuk memori otaknya untuk berlatih berhitung, membaca, menulis, dan menggambar. Semua itu perlu ekstra kesabaran. Guru tidak hanya memperhatikan satu atau dua, tetapi belasan, bahkan mungkin puluhan anak sekaligus. Sebagai manusia yang terbatas, guru tetap tidak bisa menguasai seluruh anak tersebut. Ia akan bersyukur bila ada seorang anak yang lulus dengan nilai yang bagus, dan merasa trenyuh serta meneteskan air mata bila melihat ada anak yang tinggal kelas.

Dapatkah sekarang dibayangkan bagaimana nasib para guru yang berada di tempat terpencil dan tidak dapat mengakses fasilitas yang memadai? Program Indonesia Mengajar yang dicanangkan Menteri Anies Baswedan membuka mata semua orang bahwa masih ada di pelosok Indonesia ini yang kekurangan tenaga pengajar. Namun yang terjadi sekarang, semakin banyak tantangan yang dihadapi oleh para guru zaman ini.

Dalam khazanah budaya Jawa, sebutan guru dalam bahasa Jawa memiliki makna filosofis yang dalam, yaitu digugu lan ditiru.Guru itu digugu artinya dipercaya. Guru layak dipercaya karena mereka telah mengenal keilmuan dalam bidangnya. Seorang siswa yang tidak percaya akan gurunya tidak akan mungkin datang untuk belajar. Ketika seorang anak didik percaya pada gurunya, ia percaya bahwa sang guru akan membuka cakrawala wawasannya.

Guru juga ditiru. Ada peribahasa yang seringkali diingat oleh para siswa, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Jika guru kencing berdiri, kenapa murid tidak ikut berdiri? Kenapa murid melakukan kebalikannya? Bahkan, dia melakukan hal yang tidak sesuai dengan gurunya? Apakah ini semacam sindiran bagi para murid yang tidak mampu belajar dari gurunya? Tentu saja bukan. Arti peribahasa ini tentu saja tidak seperti itu. Artinya, seorang guru harus memberikan contoh yang baik kepada murid-muridnya. Sebabnya, murid atau siswa akan meniru apapun yang dilakukan oleh guru-gurunya. Lebih parah lagi, meniru kejelekannya.

Pembelajaran buat kita semua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun