Mohon tunggu...
Arif Albert
Arif Albert Mohon Tunggu... mahasiswa -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doa Anak Bisu

10 Juni 2016   21:08 Diperbarui: 10 Juni 2016   21:18 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seorang anak bisu sedang berdoa (sumber: google)

Doa seorang anak yang bisu. Pengalaman perjumpaan yang mengubah mindsetku selama ini. Mungkinkah doa tanpa suara? Bagiku sangat mungkin sekali. Orang dapat berdoa dengan hening tanpa berkata-kata. Orang dapat mencari waktu dan tempat yang tenang sehingga ia dapat berdoa dengan baik. Namun sebuah peristiwa ini seakan menohokku. 

Pengalaman yang tak bisa kulupakan adalah ketika aku berjumpa dengan seorang anak yang bisu. Dengan menutup mata, dia mulai menggerak-gerakkan tangannya. Entah apa yang dia doakan. Tetapi yang aku tahu dia sangat khusyuk mendoakan doa itu. Sebuah doa sebelum makan. Tampak sekali bahwa ia sangat bersemangat mendoakannya.

Doa bagi sebagian orang adalah bersyukur. Syukur atas segala kebaikan Tuhan. Dalam pengalamanku tadi bersama seorang anak, aku menjumpai sesuatu yang berada di batas kewajaran. Sebuah cara berdoa yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tapi ini mengetuk hatiku. Seorang anak kecil dengan penuh semangat berdoa kepada Tuhan. Lantas bagaimana selama ini aku berdoa?

Doa bagiku masih sebatas ibadah di tempat doa. Aku belum sepenuhnya menemukan arti sejati dari sebuah doa. Apakah doaku sudah terpatri dalam tindakanku?? jelas sekali, aku masih jauh dari tindakan yang baik. Bahkan di tempat doa pun terkadang, pikiranku melantur kemana-mana, membayangkan peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan doa. 

Doa kadang masih sebatas karena dituntut, diperintahkan dan harus dilaksanakan. Doa belum menjadi kehausan jiwa dari diriku sendiri. Mungkinkah peristiwa ini menjadi teguran dan kritikan bagiku?

Tuhan sendiri menginginkan agar kita tidak berdoa dengan jemu-jemu. Saat aku merenungkan Sabda-Nya, seringkali aku hanya mengiyakan. Apa yang terjadi selanjutnya? Lupa. Aku lupa bahwa doa harus menjadi kebutuhan jiwaku layaknya bernafas. 

Doa tidak bisa dimaknai sebagai saat yang ditentukan oleh komunitas untuk berjumpa dengan Tuhan. Doa tidak dibatasi oleh waktu pagi, siang, sore, dan malam. Kapanpun saat aku berada, doa tidak boleh dilupakan. Doa tidak bisa lahir dari hubungan yang tidak sejati dan tidak tulus. Sesungguhnya, inilah yang ideal.

Dalam kehidupan nyata, yang ideal belum tentu bisa dijalankan. Seiring dengan berjalannya waktu, tugas dan pekerjaan rumah begitu menumpuk seakan tidak memberi kesempatan untuk sejenak mengambil nafas. Dengan begitu banyak alasan sibuk, aku mulai mengurangi waktu untuk berdoa secara pribadi. Toh, berdoa bisa dilakukan kapanpun yang aku mau. Tetapi pertanyaannya, kapan aku mau memulainya? Kapan aku sungguh-sungguh mau untuk memulai berdoa secara pribadi? Rentetan alasan-alasan yang dibuat-buat, kemalasan, kebosanan, dan pekerjaan yang kurang penting menjadi tameng untuk sesekali meninggalkan doa. “Ah, nanti saja. Toh masih ada waktu” beginilah aku sering membela diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun