Mohon tunggu...
Arif Albert
Arif Albert Mohon Tunggu... mahasiswa -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

3 Penyakit Penulis Amatir

8 Juli 2016   12:04 Diperbarui: 8 Juli 2016   13:07 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penyukakopi.wordpress.com

Mengapa saya menyebutnya penyakit? Alasannya sepele saja, karena tiga penyakit ini seringkali muncul dalam hidup saya. Tiga penyakit ini mengganggu. Saya ulangi sekali lagi, mengganggu. Saya sebetulnya bisa menulis, tapi karena diganggu ya makanya tidak bisa menulis dehdan akhirnya menyesali diri karena tidak juga mulai untuk menulis. 

Dari pengalaman, saya tahu bahwa penyakit yang menjangkiti penulis amatir seperti saya ini adalah pertama, banyak alasan. Kedua, kemalasan. Dan ketiga, ketakutan. Saya mengajak anda untuk membacanya. Mungkin di antara kita yang sedang diserang tiga penyakit ini seperti saya. Yuk, kita mencoba untuk mengupasnya satu per-satu.

Penyakit pertama, banyak alasan.

Menulis itu membutuhkan energi. Sebab kita harus membaca dan berpikir untuk merangkai kata-kata menjadi tulisan. Alasan ini bisa dimaklumi dan diterima. Makanya saya tidak nulis pas perut lagi kosong dan gak ada tenaga. Saya biasanya makan banyak dulu supaya kuat menghadapi tantangan. Mungkin saran saya, minum susu atau untuk yang alergi susu, minum apalah yang bergizi supaya otak menjadi encer dan bertenaga.

Setelah itu, muncullah alasan kedua. Wah, mas terimakasih atas sarannya. Tapi saya malas membaca nih, gimana donk?Untuk alasan ini, seperti yang sudah saya katakan bahwa menulis memerlukan sumber buku bacaan alias banyak baca. Makanya, pilihan buku mana yang harus dibaca menentukan pikiran yang hendak dituangkan dalam lembaran kertas putih. Misalnya saya hendak menulis tentang budaya. Maka, saya harus memilih budaya yang mana dan mengapa saya ingin membaca serta menuliskannya. 

Tanya pada diri sendiri, apakah saya tertarik dengan bacaan yang sedang saya baca? Apakah berkesan? Apakah menginspirasi? Sejauh mana itu berguna bagi saya? Pengalaman membuktikan bahwa saya yang masih amatir, saya menulis karena keinginan semata, bukan karena saya tertarik atau berkesan atau menginspirasi atau berguna. 

Biasanya, saya membaca novel. Seruu broo, karena itu saya terus membaca sampai tidak kenal waktu. Saya inget terus jalan ceritanya. Tapi, untuk anda terserah deh mau baca buku apa. Terserah anda. Suka-suka anda. Yang penting baca. Titik.Dari pengalaman, saya pernah membaca novel Dan Brown berjudul Da Vinci Code serta Angels and Demons.

Menjadi penulis amatir seperti saya (sekali lagi, seperti saya) bukannya tanpa gangguan. Alasan demi alasan yang mematahkan semangat selalu muncul. Inilah alasan-alasan itu: Bukannya saya tidak mau untuk mengalahkan alasan yang seringkali merintangi, tetapi saya belum ada waktu. Jika waktunya sudah ada tapi kok saya masih ada kegiatan yang lain. Bla..bla..bla.. sampai akhirnya tidak jadi deh menjadi penulis. 

Akhirnya, tetap seperti awal mula, tidak menulis apapun. Suerrr, hal seperti ini sungguh mengesalkan. Penyesalan selalu mengganggu pikiran baik sebelum tidur malam maupun ketika hari-hari pengumpulan tugas kampus. Banyak waktu yang ada, tapi tidak digunakan dengan baik.

Penyakit kedua, kemalasan.

Kalau ditanya, kenapa malas? Ujung-ujungnya ya kembali kepada yang pertama tadi, banyak alasan. Padahal saya memang lagi malas dan tidak mau nulis. Yah, karena tidak ada bahan dalam pikiran dan macet (coba jalan-jalan di luar biar refresh). Sebetulnya ada, hanya perlu dicambuk dengan semangat. Sebenarnya perlu ada deadline karena otak saya sedang beku. 

Belum juga memulai, tiba-tiba ada gangguan dalam pikiran, gimana nanti respon pembaca ya? Jadinya, semangat yang 100 % tiba-tiba menurun hingga 10 % dan akhirnya tidak jadi menulis. Ide segar yang sejatinya ingin dituangkan, menguap entah kemana. Padahal, saya ingin menulis dan impian saya menjadi penulis. Gimana coba, kalo sudah begini. Menulis hanyalah tinggal impian di awang-awang. Akhirnya, saya menyimpulkan sendiri bahwa saya memang dilahirkan tidak untuk menjadi penulis handal.

Ketiga, ketakutan untuk memulai.

Biarpun sudah banyak motivasi, sudah banyak yang menyuruh, tetap saja tidak bisa. Ayo dong, gak usah takut, mulai saja, tidak apa-apa, tetap saja takut, kata teman-teman. Kamu takut apa sih sebenarnya Takut apa, hah? Takut nanti orang bilang apa sama tulisanku, mas. Takut nanti orang baca trus responnya gak bagus. Takut nanti beginilah, begitulah. Ya udah, gak usah nulis. Tapi, saya pengen jadi penulis, gimana donk? 

Memang begitu, tulisan yang saya buat kalau sudah ditaruh di muka umum, ya pasti akan dibaca, direspon, dikomentari, diejek (kog gak ada isinya, kog gini aja, kata mereka). Jawab begini aja, Ya Mas, Mbak, Om, Tante, Bapak dan Ibu, maaf saya sedang belajar nulis, silakan komentari saja. Saya sudah bela-belain nulis ini, saya sudah ikhlas dan pasrah. Apapun komentar kalian, saya pasti akan renungkan dan saya berjanji akan perdalam lagi.

Tiga kata kunci: Mulai, Mulai, Mulai

Saya jadi ingat sebuah pepatah China, “perjalanan 1000 mil harus dimulai dengan langkah pertama.” Saya tidak mau lihat perjalanan yang sudah ditempuh 1000 mil itu, tetapi dari langkah pertamanya. Sebagai amatir seperti saya, kuncinya ya harus segera dimulai. Komentar orang akan semakin membuat saya bisa untuk memperbaiki diri dan mengevaluasi diri. Menulis demi masa depan yang cerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun