Mohon tunggu...
Arif Albert
Arif Albert Mohon Tunggu... mahasiswa -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Takjil dan Keterbukaan Hati Kepada Sang Ilahi

6 Juni 2016   22:22 Diperbarui: 6 Juni 2016   22:29 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
takjil (sumber: google)

Sore ini, saya memandang ibu-ibu yang berjualan takjil di sepanjang jalan yang saya lintasi. Dalam hati, saya kagum akan keteguhan hati mereka. Mereka begitu ramah terhadap para pengunjung dan setia untuk memenuhi kebutuhan para pembeli. Mereka mendulang rejeki dengan keyakinan bahwa semua itu berasal dari Yang Maha Kuasa. Takjil yang mereka jual dihasilkan dari jerih payah. Takjil itu manis bagi mereka yang dahaga, setelah seharian menahan nafsu dan kesombongan diri. Takjil itu nikmat bagi mereka yang tidak berdiri di atas kepongahan, kesombongan dan kelobaan manusia. Akhirnya, takjil itu bermanfaat agar semua orang ingat bahwa dunia ini hanyalah sementara dan kita hendak melangkahkan kaki di Jalan-Nya.

Ketika saya memperhatikan pembeli dan penjual takjil itu, ada satu hal yang terkesan, yakni senyum. Pembeli dan penjual sama-sama tersenyum. Mereka berbagi senyuman. Senyum itu ibadah. Begitulah pengalaman memasuki masa puasa bulan suci bagi umat Islam. Sebagai seorang non-muslim, saya tergugah akan pengalaman ini. Bagi saya, pengalaman ini membuat saya menemukan bahwa masih banyak orang yang berbaik hati. Masih ada banyak orang yang memiliki cinta dalam hidupnya. Dan juga, masih ada begitu banyak orang yang berjuang agar perdamaian dan keadilan dialami oleh seluruh makhluk.

Selamat berbuka puasa.

Selamat berbuka puasa bagi umat Muslim setelah satu hari berjuang melawan keegoisan diri, nafsu yang merongrong hati dan budi, godaan yang membuat gelap hati, dan kegelapan yang menghalangi hati untuk dekat dengan sang Ilahi. Selamat berbuka untuk menyegarkan diri dan jiwa, memenuhi tubuh dengan kekuatan dan melepas lapar serta dahaga.

Kisah persahabatan, senyuman, keramahan, dan keakraban menjadi simbol keterbukaan hati terhadap sang Khalik dan sesama. Manusia diciptakan untuk memuliakan-Nya. Dan dalam kehidupan manusia, di sana mereka berjuang untuk berbuat kebaikan. Meskipun demikian, setan tidak membiarkan manusia berjalan dengan mudah. Puasa menjadi sarana untuk mengolah hati, mengarahkan kepada kebaikan, lantas berserah kepada Dia yang menjadi pemilik segala jiwa.

Takjil menjadi buah dari karya manusia. Menyegarkan dan membahagiakan lidah dan membuat manusia menemukan kesegaran kembali...Manusia diharapkan selalu ingat akan nikmat yang diberikan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun