Tak pernah terbayangkan dalam benak saya jika suatu hari saya berkesempatan mengunjungi kapal pengangkut gas Elpiji terbesar di dunia yang dimiliki oleh Pertamina. Saat diumumkan bahwa saya merupakan salah satu kompasianer beruntung yang akan di ajak mengikuti acara Blog Visit Pertamina ke Bali, saya sempat mengira bahwa mungkin saya akan diajak mengunjungi depo pengisian gas Elpiji Pertamina yang berlokasi di daratan. Namun perkiraan saya meleset, ternyata kami semua diajak menyeberang ke tengah samudra dimana di sana bersandar 2 buah kapal yang sangat besar milik pertamina yang bentuknya mirip kapal induk militer.
Kapal besar tersebut biasa disebut dengan istilah kapal VLGC (Very Large Gas Carier). Perjalanan menuju ke kapal ini bukan merupakan perjalanan yang singkat. Dari Bali kami serombongan harus berangkat pagi-pagi karena hanya ada 1 pesawat saja yang terbang dari Bali ke Banyuwangi setiap harinya pada jam 07.10 WITA. Jika sampai terlambat terpaksa kami harus menempuh perjalanan via jalur darat yang tentunya akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia ATR 72-600 akhirnya sampai juga kami ke Bandara Blimbingsari Banyuwangi setelah menempuh perjalanan udara sekitar 40 menit. Setiba di Bandara sudah ada bus yang menunggu kami untuk segera melanjutkan perjalanan ke Situbondo menuju kantor PT Pertamina Marine Region V-STS Kalbut.
Pengalaman pertama kali menginjakkan kaki di atas kapal VLGC Pertamina telah membuat saya terkagum-kagum. Gimana nggak kagum, bisa berada di atas kapal yang memiliki pajang 225 meter, lebar 37 meter dan tinggi 51 meter merupakan pengalaman yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam hidup saya. Apalagi saya ini sebenarnya mabuk laut, namun entah kenapa kemarin saat mengikuti tour visit ke kapal gas pertamina mabuk laut saya langsung sembuh..hehehe.. Kapal VLGC Pertamina ini merupakan Kapal gas terbesar di dunia dengan kapasitas angkut 45.000 metrik ton elpiji yang digunakan untuk memasok kebutuhan elpiji bagi kawasan timur Indonesia. Kapal ini sangat jarang dikunjungi masyarakat. Rombongan kami ini mungkin bisa dicatat dalam sejarah per-bloggeran Indonesia karena kami adalah rombongan blogger pertama yang berhasil naik ke kapal LPG milik Pertamina ini.
Kekaguman saya tak berhenti sampai disitu saja. Begitu memasuki kabin dalam kapal saya semakin kagum manakala melihat keramahan dan kesederhanaan para awak yang bertugas di dalam kapal. Mereka semua menyambut kedatangan kami dengan suka cita, bahkan kami diajak makan-makan bersama sambil menikmati alunan musik yang membuat suasana jadi terasa semakin santai dan menyenangkan. Usai menikmati santap kuliner, Kapten Kosim selaku pimpinan tertinggi di atas kapal segera mengajak kami berkeliling dan menjelaskan tentang pengoperasian kapal VLGC senilai 73 Juta Dollar AS ini.
Kapal ini didatangkan dari Korea Selatan pada tanggal 21 Mei 2014. Meski merupakan kapal buatan luar negeri namun semua awak yang bekerja di dalam kapal ini adalah orang-orang asli Indonesia. Sebagai perusahaan negara, Pertamina memang sudah berkomitmen bahwa Pertamina hanya akan menggunakan SDM asli Indonesia saja dalam rangka menjaga ketahanan energi di seluruh penjuru nusantara. Kapal VLGC ini memiliki 4 tabung besar yang berfungsi untuk menampung propane dan butane dalam bentuk liquid. Kedua zat tersebut didinginkan hingga mencapai titik beku tertentu dan akan dipanaskan hingga suhu 6 derajat celcius manakala akan dilakukan pengisian ship to ship. Proses pengisian ini melibatkan kapal pengangkut gas dengan ukuran yang lebih kecil. Selanjutnya kapal pengangkut gas dengan ukuran yang lebih kecil tersebut akan membawa muatan 50% propane dan 50% butane menuju ke daratan untuk diisikan lagi ke dalam truk tangki pengangkut gas dan selanjutnya akan dimasukkan ke dalam tabung-tabung gas ukuran 3 kg, 12 kg atau 50 Kg dan kemudian didistribusikan ke masyarakat.
Menyaksikan sendiri bagaimana pengoperasian kapal VLGC milik Petamina serta mendengar langsung penjelasan dari Kapten Kosim tentang perjalanan gas Elpiji dari asal mulanya hingga berakhir di dapur rumah kita masing-masing, membuat saya jadi semakin paham bahwa memang butuh biaya operasional yang tidak sedikit dalam rangka menjaga pasokan gas elpiji di Indonesia tetap lancar. Apalagi gas Elpiji yang digunakan di Indonesia harus didatangkan dengan cara impor dari Arab Saudi, bukan dari sumber daya alam yang kita miliki sendiri. Kenapa bisa begitu ? karena pasokan Elpiji yang kita miliki hanya ada di Bontang dan jumlahnya sangat jauh dari cukup jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan elpiji secara nasional. Gas alam lain yang dikatakan jumlahnya melimpah ruah sebenarnya merupakan jenis gas LNG yang memiliki tekanan lebih besar daripada gas LPG. Sebenarnya Pertamina mampu menciptakan teknologi dimana gas LNG yang digunakan sebagai bahan bakunya, namun kenyataannya saat ini kilang gas LNG yang dimiliki Indonesia masih berada dalam penguasaan asing karena terikat kontrak yang dibuat oleh para petinggi politik kita di masa lalu. Jadi yang bisa dilakukan saat ini hanya menunggu kapan kontrak tersebut habis masanya, dan kita tidak bisa melakukan apa-apa selain impor Elpiji dari luar negeri.
Itulah sebabnya Kapten Kosim juga sempat curhat dalam diskusi kemarin, bahwa harga jual gas Elpiji di Indonesia memang masih tergolong sangat rendah. Maka sangat tidak heran jika hingga saat ini Pertamina masih dinyatakan sebagai perusahaan yang merugi sebesar 7,73 Triliun. Apabila saat ini mulai diberlakukan kenaikan harga gas Elpiji 12 KG secara bertahap oleh Pertamina, tujuannya adalah untuk menutup biaya operasional yang membengkak dan uangnya bisa juga digunakan untuk investasi membeli kapal VLGC lagi. Kapal tersebut dapat dimanfaatkan untuk semakin memperlancar pasokan gas Elpiji bagi seluruh kawasan Indonesia. Selama ini Indonesia memang masih menyewa beberapa kapal milik asing. Tentu kondisinya akan lebih baik jika Indonesia mampu investasi kapal VLGC lebih banyak lagi. Ini bisa jadi aset nasional dan kita tidak perlu tergantung lagi pada kapal-kapal milik asing. Kondisi seperti ini tidak banyak orang yang tahu. Namun sayangnya masih banyak aktivis, mahasiswa atau politikus yang suka 'sok tahu' berteriak-teriak, komentar negatif sana sini tanpa mau memahami permasalahan yang sebenarnya terkait masalah elpiji ini. Jika Kapten Kosim dan anak buahnya boleh mengeluh mungkin mereka akan bilang.."sakitnya tuh disiniiiii"