Dalam beberapa dekade utang luar negeri di beberapa negara khususnya negara berkembang mengalami peningkatan secara bertahap. Alasan suatu negara melakukan peminjaman luar negeri kepada suatu negara maupun perusahaan asing disebabkan oleh beberapa alasan. Beberapa diantaranya ialah; pemberi utang dari dalam negeri tidak memungkin kan untuk meminjamkan sejumlah tertentu kepada negaranya, pemberi utang luar negeri lebih memiliki penawaran yang lebih praktis dan menguntungkan, selain itu bagi negara dengan penghasilan rendah melakukan peminjaman dari instusi luar negeri merupakan keputusan yang tepat, dikarenakan periode pembayaran lebih fleksibel.
   Menurut world bank, hingga akhir 2019 tercatat total nilai utang luar negeri mencapai 8,1 triliun dollar dari 12 negara berpendapatan menengah dan rendah. Bank dunia juga melaporkan sepuluh negara dengan utang luar negeri (ULN) terbesar di pimpin oleh china, sebanyak 2,1 triliun dollar AS. Disusul oleh Brasil 569,39 miliar, India 560 miliar, Rusia 490,72 miliar, meksiko 469,72 miliar, Turki 440,78 miliar, Indonesia 402,72 miliar, Argentina 279,3 miliar, Afrika Selatan 188,1 miliar, dan Thailang 180,23 miliar.
  Melalui data Bank Indonesia (BI) EDISI Juni 2021, jumlah ULN Indonesia mengalami peningkatan hingga 418 miliar dolar AS. Sumber pinjaman ULN Indonesia sendiri berasal dari beberapa negara dan organisasi tertentu. Tercatat, pinjaman utang tertinggi berasal dari Singapura dan Amerika Serikat. Selain mengambil pinjaman dari beberapa negara, organisasi seperti Asian Development Bank (ADB) dan International Monetary Fund (IMF).
  Menurut Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah mencapai angka yang cukup besar, yaitu mendekati angka 365%. Angka ini jauh bahkan hampir tiga kali lebih besar di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR) dan IMF, yaitu kisaran 92%-176% dan 90%-150%.
  Menurut penulis, sudah seharusnya Indonesia mengurangi jumlah hutang dan lebih berfokus pada investasi. Menurut corporatefinanceinstitute.com, hutang luar negeri yang berlebihan dapat mengecilkan prosepek finansial suatu negara untuk berinvestasi, apakah itu melalui pendidikan, infrastruktur, atau layanan kesehatan. Hal ini dikarenakan pendapatan mereka yang kecil lebih fokus digunakan untuk membayar hutang dan bunganya, yang mana hal ini menjadi tantangan terbesar pada perekonomian Indonesia di jangka panjang nantinya. Selain itu, jika manajemen hutang tanpa terduga terguncang dikarenakan jatuhnya harga-harga komoditas atau faktor perlambatan ekonomi lainnya dapat memicu krisis utang. Hal ini biasa terjadi dikarenakan dalam prosesnya mata uang yang digunakan ialah milik pemberi pinjaman, sehingga jika mata uang peminjam sedang lemah maka akan semakin sulit bagi peminjam untuk mengembalikan pinjaman.
   Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr.Ir.Arief Daryanto, MEc, ketergantungan Indonesia akan ULN menjadi suatu ‘keharusan’  dan tidak dialirkan ke kegiatan produktif yang bersifat cepat mengahasilkan (quick yielding). Selain melalui skema penjadwalan ULN, perlu dilakukan berbagai upaya seperti pembelian kembali hutang (debt buybacks), pengalihan hutang ke obligasi (debt-for-equity-swaps) atau pengalihan hutang untuk kemiskinan (debt for poverty swaps). Melalui debt buybacks, debitur dapat secara langsung membeli hutang yang tidak bisa dibayar dengan harga diskon dari mukanya. Dengan debt for equity swaps, negara debitur menukarkan hutangnya ke mata uang domestic dengan harga diskin, dan digunaakan krediitur untuk melakukan investasi di suatu perusahaan negara debitur. Dengan debt fow swaps, suatu kelompok dapat membeli hutang yang tidak bisa dibayar dan bunya dapat digunakan untuk mlindungi lingkungan.
  Peranan hutang luar negeri yang tidak wajar akan mengancam kestabilan makroekonomi suatu negara. Sementara itu ULN Indonesia seakan-akan berperan sebagai sumber utama pendapatan negara, menggantikan pajak, PNBP, dan hibah. Sudah saatnya Indonesia berfokus kepada pengurangan utang luar negeri dan melakukan investasi, baik dalam pertanian, kemaritiman, pariwisata, dan ekonomi kreatif.
Nama: Arifah Khairrani
NIM: 1701618100
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H