Areta memang selalu melakukan sesuatu yang ia senangi semaksimal mungkin. Bahkan ia rela begadang hingga pagi jika tugas yang dikerjakannya belum selesai sesuai yang ia inginkan. Ketika kelas Zoom dimulai ia sangat jarang mengalihkan pandangan dari smartphonenya. Namun sesekali mematikan kamera Zoom untuk mengurangi letih pada punggungnya.
Dua tahun yang lalu, ketika ia menempuh pendidikan di jenjang strata 1, ia selalu memilih duduk di kursi pojok paling depan. Salah satu hal yang membuatnya merasa tidak nyaman kuliah ialah ketika terlambat datang ke kelas kemudian mendapat sisa tempat duduk belakang atau tengah. Bukan tanpa alasan, postur tubuhnya yang mungil membuatnya sulit melihat ke papan tulis atau ke dosen ketika pembelajaran berlangsung, sehingga ia kesulitan dalam memahami materi. Wal hasil, rasa kantuk menarik-narik kelopak matanya.
***
Areta duduk di tangga pesantren dengan wajah yang begitu sendu. Pipinya mulai berderai air mata. Jari telunjuknya menari kian kemari di atas layar smartphonenya. Kemudian berhenti pada satu foto. Terdapat dua sosok perempuan pada foto itu. Semakin ia menatap foto itu, air matanya semakin deras. Isak tangis pun bersahut-sahutan turut berunjuk rasa.
“Areta, kamu kenapa? Ayo cerita! Siapa tahu aku bisa membantu!”
Perkataan itu sudah tak asing lagi bagi Areta. Setiap derai air mata membasahinya salah satu temannya selalu mengucapkannya.
“Andai aku bisa bercerita, pasti kau tak akan punya waktu untuk sekedar menolehkan pandangan. Andai aku bisa bercerita, tak ada satu kalimat pun yang berhasil mewakili perasaanku saat ini. Andai aku bisa bercerita, kau pasti akan bosan mendengarnya. Karena apa yang aku rasakan akan terus muncul dan berulang,” keluh Areta dalam hati.
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin sedikit menuruti kemauan hatiku. Semua baik-baik saja,” ujarnya.
Usai puas menumpahkan semua pilunya, Areta berusaha menenangkan diri. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan. Setelah semua kembali normal, ia bergabung bersama teman-temannya di aula pesantren.
“Eh, makan yuk!” ujar Areta.
“Wah, anak ini baru saja murung kayak anak ayam ke cebur kolam. Sudah mengajak makan kita.” Salah satu santri menggelengkan kepala.