Mohon tunggu...
Imroatul Ngarifah
Imroatul Ngarifah Mohon Tunggu... Lainnya - Be positive thinking

Coretan kecil untuk masa depan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengetuk Hati Nurani Kaum Beragama

21 Oktober 2020   21:54 Diperbarui: 23 Oktober 2020   10:32 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kadang kita terlalu asik beragama hingga lupa berhati nurani. Lantas apakah kaum beragama tidak berhati nurani? Kita sedang berbicara dari sudut pandang yang berbeda. Yuk simak cerita dibawah.

Tulisan ini merupakan pembedahan nilai sosial religius dalam Cerpen “Mas Mantri Menjenguk Tuhan” Karya Ahmad Tohari.

Sebagaimana dipahami  umat islam, hari raya merupakan hari kemenangan atau hari perayaan bagi muslimin setelah berpuasa dan menunaikan zakat, baik hari Raya Idul Fitri maupun hari Raya Idul Adha. Di hari yang penuh berkah ini, para muslim berbondong-bondong menuju masjid dengan mengenakan pakaian terbaiknya sembari mengumandangkan takbir. Sungguh pemandangan yang sangat mendamaikan hati. Namun saya menemukan satu hal dibalik itu yang sangat menyentuh dan menusuk hati setelah membaca cerpen karya Ahmad Tohari yang berjudul  “Mas Mantri Menjenguk Tuhan.”

Hari yang disebut hari kemenangan bagi umat islam, hari yang penuh kebahagiaan, hari di mana umat islam berpesta islami dengan baju-baju indahnya ini ternyata bukan hari kemenangan sesungguhnya. Ternyata masih ada saudara muslim lain yang masih menderita dan berjuang menahan rasa laparnya. Masih ada janda-janda tua yang meringkuk menunggu kedatangan putrinya, dan lain sebagainya. Sebagaimana dikisahkan dalam cerpen “Mas Mantri Menjenguk Tuhan”.

Cerpen yang mengambil setting suasana salat id di pedesaan ini memberi saya banyak pelajaran. Cerpen ini menggambarkan segi negatif dan positif dalam kehidupan masyarakat. Seperti perbedaan pendapat dalam memahami mana yang lebih penting antara salat id atau menolong orang, respect sosial yang tinggi, keluarga yang kurang bertanggungjawab, dan gotong royong. Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas perbedaan dalam memahami “lebih utama mana antara salat id atau menolong orang”.

Semua orang muslim pasti sangat semangat bila tiba waktunya salat id, bahkan bagi beberapa orang salat id lebih utama dari pada salat fardu lima rakaat. Mereka tidak mendirikan salat fardu lima rakaat, tapi begitu salat id ia tidak pernah meninggalkannya, bahkan berada di shaf paling depan. Ada juga yang melakukan salat dalam satu tahun Cuma dua kali, yaitu salat Idul Fitri dan Idul Adha. Padahal salat id itu sunah.

Dalam cerpen ini juga menghadapi permasalahan yang sama, akan tetapi bukan antara salat id dan salat fardu, melainkan antara salat id dan menolong orang. Dikisahkan seorang tokoh bernama mas Mantri dicari-cari jamaah salat id karena tidak ke masjid untuk salat id bersama. Setelah salat id selesai, beberapa orang memutuskan untuk mencari di mana keberadaan mas Mantri. Ternyata mas Mantri di rumah seorang nenek tua.

Orang-orang tersebut bertanya kepada mas Mantri seolah mas Mantri melakukan kesalahan. Mas Mantri pun bingung apakah sebuah dosa baginya meninggalkan salat id demi menolong nenek tua sebatang kara. Salah satu di antara mereka pun ingat bahwa ia pernah mendengar “barang siapa yang menjenguk si sakit, si haus atau si lapar, maka ia telah menjenguk Tuhan”.  Salah satu di antaranya bertanya “apakah meninggalkan salat id demi menolong orang tidak lebih mengutamakan kepentingan manusia dan menomorduakan kesetiaan terhadap Tuhan?.”

Percakapan itu pun dihentikan dengan kesimpulan bahwa mas Mantri meninggalkan salat id untuk menolong nenek tua yang terbatuk-batuk dan meringkuk sendirian itu lebih baik. Salat id hukumnya sunah. Sedangkan, membiarkan nenek sebatang kara itu sendirian dalam keadaan sakit adalah dosa besar bagi mas Mantri kalau sampai nenek itu meninggal tanpa diketahui karena rumah mas Mantri lah yang dekat dengannya. sehingga dapat dikatakan mas Mantri telah meninggalkan pekerjaan sunah demi melakukan pekerjaan wajib. Akhirnya mereka semua saling bekerja sama untuk mengurus sang nenek.

Begitulah sebuah nilai besar digambarkan dalam cerpen sederhana ini. Terkadang kita melupakan hal-hal wajib demi melakukan hal sunah yang lebih menyenangkan. Dan lebih mengutamakan ibadah dengan garis vertikal dari pada ibadah dengan garis horizontal. Atau bisa dikatakan lebih memberatkan hablu min Allah dan melupakan hablu min an nas. Bersenang-senang padahal orang lain dalam keadaan menderita dan membutuhkan uluran tangan maupun dekapan kita. Padahal Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menjaga keseimbangan antara keduanya. Saling menyayangi dan mengasihi sesama manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun