Mohon tunggu...
Arifah Hidayah
Arifah Hidayah Mohon Tunggu... -

Enterpreneur

Selanjutnya

Tutup

Money

Bersaing dengan Ide Kreatif dan Inovatif

22 Oktober 2013   05:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:12 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pembicaraan di saat sarapan dimulai dengan isu keamanan nasional. Informasi utama yang diberitakan Pak Tarmi adalah mengenai adanya arah kebijakan baru terkait pengamanan daerah terluar Indonesia. Ya, daerah perbatasan Indonesia dengan Negara tetangga, kerap menjadi masalah yang membuat kita mengerutkan kening. Kasus Ambalat, sebenarnya bukan masalah rebutan kepulauan, tapi jelas-jelas ada unsur ekonomi, rebutan Blok Ambalat (minyak) di sana.

Selain itu, Pak Tarmi juga menceritakan perihal keawaman kita terkait masalah Ambalat. Banyak sekali orang Indonesia yang keliru mendefinisikan ambalat sebagai sebuah pulau atau kepulauan. Bahkan salah satu pejabat tinggi di negara ini pun dalam pidatonya disebuah forum resmi kenegaraan dengan percaya diri menyebut Ambalat sebagai sebuah kepulauan. Faktanya, ambalat hanyalah sebuah blok perairan yang sama sekali tidak memiliki daratan. Inilah yang menjadi concern Pak Tarmi. Kita mencoba menunjukkan sikap nasionalisme kita tetapi tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang cukup mengenai apa yang kita perjuangkan.

Fakta lain yang lebih miris mengenai nasionalisme adalah kondisi di daerah perbatasan. Kita tidak jarang mendengar, di daerah perbatasan, masyarakat kita begitu rendah tingkat kesejahteraannya. Sementara, hanya berjarak 100 meter di negara tetangga, terlihat kehidupan masyarakatnya begitu sejahtera dan menggiurkan. Listrik tak pernah putus, semua barang lengkap, kebutuhan cukup, tidak kekurangan makanan, pendidikan terjamin. Menurut Pak Tarmi, Faktor-faktor kesejahteraan ini dijadikanconcernbagi pemerintahan ke depan, untuk memperbaiki keadaan yang tak semestinya terjadi. Kebijakan pemerintah ke depan adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah perbatasan.

Selain itu, dengan adanya paradigma baru dalam penanganan daerah perbatasan, pemerintah akan mendorong usaha untuk mengurangi volume TNI di tengah pusat kota. Keberadaan Kodam, Kodim, Koramil sampai Babinsa merupakan pengaturan kekuatan TNI yang masih bercorak era paradigma otoritarian yang perlahan akan dikurangi. Mereka akan diperbantukan di daerah perbatasan. Prinsip awal pemikiran perpindahan anggota TNI ini dilandasi semangat bahwa rakyat kita bukanlah musuh yang harus ditakuti. Di zaman Orba, mungkin keberadaan TNI menjadi penting berada di tengah kota. Tapi, hal itu tidak relevan lagi saat ini. Daerah perbatasan lebih membutuhkan tenaga TNI, bukan saja untuk menjaga agar tidak terjadi penyelundupan, perdagangan manusia, perdagangan hewan langka, dan sejenisnya. Tapi lebih kepada perbantuan untuk membangun daerah di perbatasan.

Setelah panjang lebar berbicara mengenai keamanan, kami masuk ke topik baru. Topik mengenai ide kreatif dan optimisme masa depan. Beliau menceritakan bahwa dunia saat ini sudah berubah. Perang ide dan kreatifitas adalah kunci untuk sukses. Pak Tarmi menyebutkan saat ini kondisi kita kurang baik dari sisi iklim perekonomian. Seharusnya, rakyat didorong untuk bisa bergerak di bidangentrepreneurship. Untuk mengembangkan bidang yang satu ini, sudah seharusnya pemerintah tidak membebankan pajak ini-itu yang memberatkan para pelaku bidang usaha. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Pemda kerap kali suka “memalak” usaha-usaha ekonomi di pusat kota maupun daerah, dengan dalih untuk pemasukan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Ada cerita lucu. Pak Tarmi punya restoran di daerah Kemang. Dan, ketika ada orang dari dinas pemerintahan yang secara langsung maupun tidak langsung ingin “memalak”, ada saja cara unik untuk menyikapi “palakan” tersebut. Karena tidak ingin memberikan uang, akhirnya si oknum dari dinas pemerintahan itu disuruh saja makan sampai kenyang dan puas di restorannya. Kami pun tertawa mendengar tindakan tersebut.

Pak tarmi menekankan bahwa dunia ini cepat berubah. Dan kita sebagai anak muda, harus lebih cepat membaca dan merespon perubahan tersebut. Beberapa contoh perubahan diungkap misalnya, kalau dulu petani kita hanya bisa menghasilkan singkong per orang per hektar hanya 5-6 ton, sekarang dengan bantuan teknologi dan cara berkelompok (kelompok tani melalui koperasi), petani kita bisa menghasilkan 20 ton per hektar. Hal ini sebenarnya pun masih kalah dari Brazil. Brazil mampu menghasilkan 80 ton per hektar. Dengan bantuan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, semua hal yang dianggap tak mungkin dilakukan, menjadi sangat mungkin dan nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun