Di waktu saya masih SD, kira-kira di era Repelita II dan III, di Kampung Laweyan terdapat dua masjid dan satu langgar yang menjadi ikon kampung Laweyan.
Eh, sebentar...ada yang tidak dong dengan istilah Repelita gak?..
Repelita adalah singkatan dari Rencana Pembanguna Lima Tahun. Istilah tersebut sangat familiar pada jamannya seseorang yang kalau bicara seperti ini,
“Dus, kemudian dari pada yang demikian itu...masih enak jamanku toh le..h.heh..heh”
( Tolong pengucapan kalimat diatas diucapkan dengan aksentuasi nya Mas Butet... )
Kalau masih belum dong juga, silahkan googling aja.
Dus, dua masjid tersebut adalah Masjid Laweyan, Masjid Makmur. Langgar atau surau nya adalah Langgar Merdeka.
Kalau berkunjung ke Kampung Laweyan, tapi belum sholat di salah satu tempat ini ( bagi yang muslim ), berarti belum sah sebagai wisatawan Kampung Batik Laweyan.
Salah satu dari tiga tempat tersebut yang sering menjadi tempat saya nongkrong pada jaman Repelita II dan III tersebut adalah Masjid Makmur.
“Jangan rebutan mukul kenthongannya, yang bagus iramanya,” kata seseorang laki-laki berperawakan kecil yang memakai sarung sedikit lusuh dengan kopiah agak miring yang sudah bulak warna hitamnya. Usianya kira-kira setengah abad.
Laki-laki itu bernama Kahlil Jibran, dikenal sebagai Pak Kolil.
Dulu, tradisinya sebelum dikumandangkan adzan adalah dipukul kenthongan dan bedug dengan irama tertentu. Biasanya anak-anak pada berebutan untuk menjadi pemukul kenthongan tersebut.
Kenthongan di Masjid Makmur tersebut lumayan besar. Tingginya kira-kira 1,5m dengan diameter 35 an cm. Terbuat dari kayu jati yang sudah tua.
Bedugnya berdiameter 1m, pajang 1m. Terbuat dari kulit sapi.
Anak-anak jarang mukul bedug, karena hak prerogatif pemukul bedug ada ditangan Pak Kolil.
Pak Kolil adalah marbot Masjid Makmur. Dia dan keluarganya tinggal di suatu bangunan yang terletak dibagian belakang Masjid Makmur.
Pekerjaan utama Pak Kolil sehari-hari adalah mengurusi Masjid Makmur tersebut. Mulai dari pukul bedug sampai kebersihan masjid.
“Kenapa sih pak kita kok gak boleh mukul bedug?” Tunang mencoba memberanikan diri bertanya kepada Pak Kolil.
“Weh la..abot sanggan e le. Orang yang mukul bedug itu tidak boleh sembarang orang,” jawab Pak Kolil sambil menghembuskan asap rokok ke udara.
“La wong cuman dug..dug.dug.duggg...saya juga bisa pak,” desak Tunang.
“Saya dulu mewarisi mukul bedug ini harus puasa dulu. Melek bengi. Tirakat, pokoknya gak gampang!” terdengar suara Pak Kolil agak meninggi.
Keesokan harinya terdengar kegaduhan di tempat Pak Kolil.
“Bojoku ilang, bojoku ilang...,” teriak Bu Kolil sambil menangis sesunggukan.
“Loh..la tadi malam tidur di mana?” sahut Pak Ali, salah seorang takmir Masjid Makmur.
“Huu..huuu...,” masih dengan menangis Bu Kolil melanjutkan ceritanya.
“Tadi malem itu saya marahi, soalnya permintaan sunnah rosulnya yang aneh-aneh. Terus Pak Kolil keluar, saya pikir ya tidur di emperan masjid. Biasanya kalau lagi ngambul ya tidur di emperan masjid,” cerita Bu Kolil agak malu-malu.
“Oalahhh..ini masalah KDRT to?” Pak Ali berkata sambil tersenyum simpul.
Sayup-sayup terdengar suara,”Grrrhhhh.....grhhh.....grhhhh...”
“Itu ngorok e pak e, itu ngorok e pak e,” teriak kegirangan anak Pak Kolil.
“Iya itu asli ngorok e Pak Kolil,” Bu Kolil begitu familiarnya dengan suara khas itu.
Dan pagi itu Pak Kolil ditemukan meringkuk pulas di tempat yang selalu menjadi kebanggaanya yaitu di dalam bedug Masjid Makmur.
Saya Arif Wibowo, mantan penggebuk kenthongan Masjid Makmur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H