Kemarin pagi, saya lihat status WA nya Cak Min, pedagang sayuran keliling (bahasa Jawa nya mlijo) yang jadi langganan istri saya, menayangkan video kecelakaan mobil pikap yang menabrak peserta karnaval di desanya, Desa Sukamaju.
Dikabarkan satu anak perempuan usia 13 tahun meninggal dunia di tempat, dan 6 anak luka parah.
Tahun ini memang terjadi perubahan konsep karnaval dalam merayakan tujuh belasan, utamanya di wilayah Malang Raya.
Cerita Cak Min, tiap keluarga diminta donasi 500 ribu. Donasi warga tersebut digunakan untuk sewa soundsystem dan lighting. Bisik-bisik tetangga, biaya sewa terebut sekitar 25 juta.
Karnaval dimulai sore, sekitar setelah solat Asar.
Rombongan awal biasanya adalah penampilan dari anak-anak dan remaja, disusul ibu-ibu sosialita lokal, atau rombongan warga yang ingin tampil. Dengan berbagai kostum ala fashion carnival internasional.
Semakin malam, setelah solat Isak, rombongan truk yang membawa soundsystem besar-besar, mulai unjuk gigi.
Irama jedang-jedung berdentam memacu degup jantung, ditingkahi cahaya lampu sorot yang menyilaukan mata, diiringi  muda-mudi yang melakukan koreografi dance sederhana.
Dipinggir kiri kanan jalan, masyarakat menyemut menikmati hiburan malam hari, bahkan sampai pagi menjelang subuh. Tak ketinggalan para penjual jajanan mengais rejeki, sambil menahan kantuk.
Alkisah, ada seorang anak yang ingin ikut berpartisipasi merayakan karnaval tujuh belasan. Sebut saja Inung.