Hingga kini, kita masih berada di tengah kepungan dan ancaman virus korona. Lihat saja kabar kasus pasien positif kian hari angkanya terus melonjak. Hari sabtu 12/9/2020 total kasusnya mencapai 214.746, angka kematian 8.650 dan yang dinyatakan sembuh 152.458. (Sumber:kumparan)Â
Per tanggal tersebut di atas di semua wilayah, terdapat 3.806 kasus baru yang terkonfirmasi positif. Khusus di wilayah ibu kota misalnya, yang kini menyita perhatian publik, angka pasien positif menempati urutan paling atas yaitu tercatat tambahan kasus baru 1.205 per hari.Â
Tentu saja penambahan kasus baru yang lonjakannya tak terkira memungkinkan bagi para tenaga kesehatan kedodoran dalam menanganinya. Selain itu ruang isolasi yang tersedia di rumah sakit juga diprediksi tidak akan mampu menampung jika terdapat lonjakan kasus baru lagi. Kalau tidak segera mendapat penanganan lebih serius, kemungkinan yang tertular akan semakin meluas dan tak terkendali.Â
Atas dasar fakta tersebut di atas Gubernur Jakarta Anies Baswedan akhirnya akan menerapkan kembali kebijakan PSBB di wilayah Jakarta per 14 September 2020.
Pro dan kontra di ruang publik pun tak terhindarkan. Dari para pemangku kebijakan, pejabat, pelaku usaha hingga rakyat biasa riuh angkat bicara di banyak platform media digital. Yang pro kebijakan Anies Baswedan dominan menyandarkan alasan pada keutamaan kesehatan. Sebaliknya, ketidaksetujuan diberlakukan kembali PSBB karena pertimbangan dampak ekonomi secara regional dan nasional.Â
Terlepas dari pro dan kontra tersebut di atas, dari awal pandemi hingga kini, semua lapisan masyarakat memang terasa dipaksa memakan buah simalakama, yakni terjebak suatu pilihan dilematis. Walau begitu, untuk menyiasati kehidupan di tengah pandemi, sebelumnya kita sudah mengambil pilihan jalan tengah yakni menjalani adaptasi kebiasan baru dalam rel pencegahan dan penanganan masalah kesehatan dan perbaikan perekonomian secara bersamaan.Â
Meski secara ekonomi, sebelum Anies Baswedan mengumumkan akan diberlakukan lagi PSBB di wilayah ibu kota, terlihat tanda-tanda perekonomian makro akan membaik dengan merujuk pada indek harga saham gabungan (IHSB), namun secara kesehatan faktanya tidak sebagaimana yang diharapkan. Seperti data yang penulis langsir di awal tulisan ini, banyak klaster baru bermunculan di banyak tempat hingga korban berjatuhan tak terkendali. Tentu siapa saja tidak menghendaki semua itu terjadi. Termasuk para pemangku kebijakan publik.Â
Kendati kita sudah menjalani aktivitas keseharian dengan protokol kesehatan secara ketat, namun masih menjadi PR bagi kita semua. Dari Presiden, Menteri, DPR, penegak hukum, pejabat publik, tokoh agama, pimpinan perusahan, karyawan hingga rakyat biasa.Â
Mereka, kita semua adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam menghadapi bencana yang tidak tahu kapan berakhirnya. Semua prediksi yang dikemukakan para pakar juga meleset semua. Kalau boleh disebut peperangan, kita sedang berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat secara kasat mata, selain serangannya begitu cepat juga sangat melenakan.Â
Walau begitu untuk menghadapinya, pemerintah pusat dan daerah sudah berupaya menerapkan berbagai strategi. Semua anggaran negara nyaris difokuskan untuk penanganan pandemi. Mulai penyaluran anggaran untuk jaring pengaman sosial seperti bantuan uang tunai, sembako, kompensasi tagihan listrik, hingga terkait urusan perbankan.Â
Selain itu, alat-alat kesehatan yang diperlukan oleh tenaga medis juga disediakan selengkap mungkin. Ruang-ruang isolasi untuk pasien covid juga diperluas. Arus lalu lintas massa dibatasi ruang geraknya. Masyarakat pada umumnya juga telah berdiam di rumah dalam beberapa bulan. Kendati kesemua hal tersebut sudah diupayakan hingga dibuka kembali ruang-ruang sosial dengan tema adaptasi kebiasan baru. Namun masih banyak catatan kekurangan di sana sini.Â