Adakah disana seorang manusia yang berbeda itu… diantara para mereka yang penuh keberadaan ataupun yang juga penuh keserdehanaan itu. Yang tak memandang seorang orang kekurangan ini dengan tatapan matanya yang tajam itu. Adakah disana seorang manusia yang berbeda itu… diantara para mereka yang indah, cantik, serta harum itu. Yang tak menutup indera penciumannya ketika tanpa sengaja orang kekurangan ini harus melintas dihadapan berdirinya kala itu. Adakah disana seorang manusia yang berbeda itu… diantara para mereka yang tinggi itu. Yang tak mencibir sepuasnya dengan sesamanya yang tinggi pula ketika pandangan-pandanngannya yang kaya ilmu itu tertuju di orang kekurangan ini. Adakah disana orang-orang yang berbeda itu…. Aku hanyalah korban dari kekejaman sang kemodernan jaman dewasa-dewasa ini. Aku hanyalah salah satu korbannya dari korban-korbannya yang lain. Yang telah berniat menjadi seorang pemberontak baginya. Aku hanyalah sang pemberontak yang lebih memilih tuk coba berperang melawannya ketimbang hanya berdiam diri namun hati tak senang terima segenap perlakuannya yang kejam itu. Aku hanyalah sang pemberontak yang isi pikir kepalanya penuh dengan keinginan ingin menaklukannya. Tak perduli meski yang didapatkan diri nyatanya hanyalah sebatas kata hanya bisa bertahan diatas peraturan-peraturannya yang tak berperasaan itu. Yang juga tak pandang bulu itu. Selayaknya seorang alat negara yang gagah yang tengah berada di medan sebuah peperangan. Adalah senjataku… sebuah besi berlekuk sebentuk pelatuk yang selalu berada didalam genggaman tangan ini. Adalah seragamku… pakaian kusut yang berwarna kusam yang terkadang terdapat lobang disana-sini yang melekat diraga ini. Adalah helm pelindung kepalaku… sebuah topi berwarna kelabu yang compang-camping yang dianggap oleh para mereka yang kaya tentang gaya masa kini itu adalah sudah tak layak pakai ini. Adalah sepatuku… sebuah sandal jepit yang semakin hari semakin menipis di alasnya karna dimakan sang lantai hitam itu. Dan adalah ranselku… sebuah kantong kosong mantan pembungkus beras kiloan yang tengah tenang dan selalu santai ketika berada di punggung ini. Ekonomi… satu kata itulah yang melatari pemberontakan ini bisa terjadi disini. Cinta… satu kata beribu-ribu rasa berjuta-juta makna itulah yang menjadi sekutu hati berjuang dalam pemberontakan yang tengah terjalani ini. Kebahagian keluarga kecilku… satu hal itulah yang selalu menjadi panji-panji yang tengah dikibarkan diri dalam pemberontakan ini. Satu mimpi indah serta bersama asa-asanya yang kuat tentang kehidupan yang lebih layak lagi dimasa depan… satu kalimat yang penuh arti itulah yang menjadi alasan diri mengapa kini segenap yang ada pada diri ini masih tetap kerasan coba berusaha memberontaknya. Manakala diantara para mereka yang tinggi yang beruntung mendapatiku tengah berdinas di medan peperangan disana. Pemulung… begitulah para mereka yang penuh dengan keberadaannya tersebut menyebut namaku disana. Di jalan-jalan raya. Di gang-gang. Di pemukiman warga kumuh. Di pemukiman warga berada. Hingga mungkin ketika aku tengah berada diantara tempat sampah yang menjijikan dan menyebalkan baginya tersebut. Dan janganlah bertanya apa yang tengah diburu si penggendong ransel karung ini ketika berada dalam peperangan itu. Karna tiada hal yang lain lagi yang kubidik dan kucari disana selain ia sekawanan sampah-sampah yang tak mudah hancur terurai oleh tangan-tangan sang waktu dan mulut-mulut sang jaman. Dan janganlah bayangkan hal lain yang lebih mewah lagi selain para debu-debu jalanan. Kabut-kabut penyesak napas. Tatapan mata para mereka yang tak menyenangkan hati itu. Yang perilaku-perilakunya terkadang sering menyakitkan hati ini. Yang dalam keberadaannya disana tengah sibuk berlalu-lalang di sekitar raga itulah yang selalu menjadi sebuah hiburan yang didapati diri ketika kuistirahatkan segenap yang ada padaku ini tuk sejenak waktu itu. Ransel karung yang penuh dengan apa yang selama itu diburu diri. Keselamatan diri yang utuh didapati kembali diri ini ketika raga tiba harus kembali ke pangkuan keluarga kecilku. Adalah salah satu tanda sebuah kemenangan sementara diri yang kudapati dihari itu. Dan sekulum senyuman mereka yang kucinta dihati ini selalu. Adalah sebuah sambutan kemenangan termanis yang cukup membuat kebahagian jiwa ini jadi kenyang terhadap rasa lapar yang tengah melandanya dihari itu. Dan jua menjadi sebentuk hal yang dapat mencuci ingatan didalam kepala ini tentang segenap hal yang tak menyenangkan hati yang pernah didapati diri ketika kuarungi peperangan itu diluar sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H