Jatuhlah seluruh manisnya kehidupan warna-warni sang batin dalam jiwanya itu. Bila dalam keindahan peluk semunya dunia tak berkeabadian segenap makna yang tengah tercari sang pandangan-pandangan yang haus ini. Ataupun yang selalu senang hati ketika berada didalam buaian suara iblis-iblis yang tamak yang tengah berdesir di jalan pikir dalam kepalanya tersebut. Sedikitpun tak jua ingin menoleh satu kehidupan yang tengah berada dibawah berdirinya disana tuk dijadikannya sebuah renungan diri. Yang mungkin saja bisa membawannya masuk kedalam sebentuk gerbang pemahaman tentang bagaimana seharusnya makhluk hidup paling mulia dihadapan Sang Khalik selayaknya kita ini bisa mendekati sebentuk kata benarnya memperlakukan ia sesamanya yang keberadaannya tengah jauh berada dibawah berdirinya tersebut. Para mereka yang jaya akan segala hal tentang keberadaannya yang duniawi itu. Yang telah dikatakan oleh orang-orang bijak itu adalah keberadaan yang bersifat semu. Seakan selalu dapatkan apa yang tak pernah didapatkan para mereka yang tengah berada di bawahnya. Sedangkan para mereka yang merana yang berada di bawah para mereka yang jaya tersebut. Hanya bisa menyenandungkan irama-irama senyuman kemunafikan. Dengan kepastian kemeranaannya para mereka yang merana itu. Merananya tersebut akan selalu ditutupinya dengan sebuah senyuman yang amat tawar jika harus lebih dalam dipandangi.
Jangan pernah mata itu dinyalangkan kembali. Jangan pernah kerutkan kening itu untuk berulang-ulang kali. Dan jua jangan ikuti segenap senyuman para mereka yang selalu berseluncur dengan kereta kepedihan warna nasibnya. Karna bagi sebagian dari para mereka yang terlanjur tenang dalam kepedihannya tersebut. Ia akan selalu tersenyum memandang segala sesuatu yang tengah ada di hadapannya. Kemunafikannya akan membubung tinggi setinggi derita yang tengah menancap dalam hatinya. Ia akan selalu mengelabui seluruh pandangan dengan mimik parasnya yang akan selalu tampak ceria penuh senyum kebahagiaan. Tak ada hal lain yang ditujunya selain memperkaya hatinya hingga berharap hatinya itu bisa membesar. Jika tidak bisa dunianya dapat sejaya para mereka yang jaya. Namun terkadang hatinya banyak yang melarat itu. Maka ia pun akan lebih memilih tetap bertahan di dunianya yang penuh kesengsaraan tersebut. Namun mencoba tuk lebih memperkaya hati yang dimilikinya itu. Dan itu lebih baik daripada para mereka yang bisanya hanya selalu memandang orang-orang merana itu dengan pandangannya yang sebelah mata. Ataupun dengan pandangan kedua matanya yang tertutup atas jalan yang telah dipilih oleh para mereka yang merana tersebut. Kontroversi jalan hidup memang akan selalu menghiasi kilasan-kilasan pikir dalam kepala. Juga menghiasi segenap bayang-bayang masa lalu. Sekarang. Ataupun nanti yang ternanti tuk diarungi disana itu. Dan indahnya kata hati para mereka yang merana yang berada di bawah para mereka yang tengah jaya ataupun yang tengah indahnya duduk tumpang kaki dengan segenap kejayaannya itu. Kata hatinya itu akan tetap selalu bersembunyi tenang didalam palungnya yang dalam. Hingga saat dimana sang masa tiba waktunya coba menghilangkan segenap keberadaan berdirinya tersebut disana. Maka kata hati para mereka yang merana itupun akan dengan lancangnya sampai kepada seluruh para mereka yang jaya tersebut. Entah itu sebentuk pertanyaan kah, pernyataannya kah, hujatannya kah, ataukah hanya sebatas kata emosinya yang lebih mirip seperti secuil sambal kah? Entahlah…. Sang angin dan awan akan lebih memahami sang bumi daripada ia sang matahari, bulan, bintang, atapun ia segenap penghuni semestanya alam yang lainnya yang selalu berdiri jauh di atas dunianya. Yang tak sejenak pun ada singgah di dunianya yang kini tengah terkena dampak sang pemanasan global akibat para penghuninya itu sendiri yang telah berulah macam-macam. Namun bila mereka harus singgah kepadanya… maka hancurlah sudah segalanya. Maka biarlah tetap seperti itu adanya. Biarkan lah hidup ini mengalir di antara dua sisi yang berbeda adanya. Yang hingga akhir napas segenap para penghuni bumi ini pun jiwanya akan menetap di dua sisi ruang yang berbeda. Biarkan lah sang waktu yang menjawab dimana persamaan diantara dua sisi itu bertemu disana. Disisi lain pandangan. Bila harus kembali perbincangkan sang angin dan awan itu. Siapakah ia yang tengah atau setidaknya akan menjadi sang angin bagi sang bumi itu kelak? Apakah ia itu ada diantara orang-orang terkasih yang ada disekitar berdiri raga? Ataukah ia itu adalah dirimu? Terpuji lah dirimu yang menjadi sang angin ataupun sang awan bagi sang bumi itu. Siapapun dirimu itu disana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H