Sebenarnya wawancara ini saya lakukan satu minggu yang lalu dengan salah seorang penjual jamu yang sering lewat di depan rumah, sambil menunggu pesanan sempat cerita-cerita dengan mbak yang jual jamu, saya sering panggil dia mbak, walaupun sudah berumur lebih kurang 45 an, malah di senang di panggil mbak, mungkin dia merasa agak lebih muda. :D
Pada inti pembicaraanya, saya menanyakan tentang pendapatan dari penjualan jamu keseharian, mbak jamu sempat terdiam sejenak, lalu mbak jamu mengatakan pendapatannya mulai sajuh berkurang dalam tahun ini. Lalu dengan rasa hiba saya langsung bertanya lagi kenapa masyarakat kurang berminat meminum jamu? Mbak jamu menjawab: mungkin orang-orang lebih suka meminum jamu asil olahan pabrik yang di kemas semenarik mungkin dan di jual di apotik.
Dari tuturan mbak jamu tsb, wajar memang pendapatan harian para penjual jamu gendong mulai menurun, karena peminat minum jamu gendong mulai berkurang, kekuatiran saya untuk beberapa tahun kedepan, kalau semakin hari peminat jamu terus berkurang , maka bisa jadi tidak adalagi penjual jamu gendong, karena penjual jamu gendong mengambil propesi lain untuk menghidupi keluarganya.
Kalau penjualan jamu sudah tidak ada, mungkin anak cucu kita nanti hanya belajar sejarah tentang jamu gendong adalah obat tradisional yang pernah ada di indonesia. Waaaah jangan sampai lah.
Sangat miris memang, kalau seandainya tidak adalagi penjualan jamu gendong, karena ini merupakan ciri khas dari indonesia terutama penduduk jawa, harusnya obat-obatan jamu gendong harus di kembangkan untuk menjaga budaya indonesia. Budaya yang turun temurun dari nenek moyang kita dahulu.
Sebagai masyarakat yang berbudaya, mencintai budaya, mari saling menjaga budaya kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H