Mohon tunggu...
Arif Pangestu
Arif Pangestu Mohon Tunggu... -

Bukanlah sosok setampan Yusuf As, setabah Ayub As, seberani Ibrahim As, dan sekaya Sulaiman As, tetapi senantiasa berusaha menjadikan diri sebagai sosok mulia layaknya Muhammad saw

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengapa Jilbabmu Berubah, Mbak?

2 Maret 2015   21:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:16 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Satu semester berlalu, kujalani kehidupan baruku, kehidupan kampus, kehidupan sebagai seorang mahasiswi. Kehidupan yang jauh berbeda dengan kehidupanku sebelumnya, kehidupan seorang siswi. Dan selama setengah tahun ini, aku cukup termotivasi diri karena aku telah dinyatakan lulus Latihan Manajemen Dakwah Kampus 1 (LMDK-1) sebagai pintu gerbang masuk ke Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Studi Islam (UKM Fosi) dan Daurah Marhalah 1 (DM-1) sebagai pintu gerbang masuk keanggotaan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Ababil, KAMMI yang menaungi mahasiswa-mahasiswi muslim yang berada di lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu. Beda kedua organisasi itu, UKM Fosi adalah organisasi internal (di dalam) kampus, sedangkan KAMMI Komisariat Ababil adalah organisasi eksternal (di luar) kampus.

Kedua “prestasiku” itu merupakan kebanggaan sekaligus motivasi bagi diriku sendiri, karena ketika SMA aku tak begitu menyukai organisasi-organisasi Islam, seperti Kerohanian Islam (Rohis). Bahkan, saat itu aku sangat membencinya. Aku tak membenci organisasinya, tetapi aku membenci orang-orangnya yang kuanggap “sok suci”.

***

Setahun berlalu. Statusku telah berubah menjadi pengurus UKM Fosi dan KAMMI Komisariat Ababil. Aku melihat orang-orang hebat di kedua organisasi itu. Para teman-teman laki-laki yang senantiasa berpakaian rapi dan menjaga pandangan membuatku menaruh kekaguman kepada mereka. Begitu juga dengan para mbak-mbaknya, yang juga tak kalah rapi berpakaian, sopan tutur katanya, senantiasa menjaga pandangan, membawa Alquran di dalam tasnya ke mana-mana, dan jilbab lebarnya, jilbab yang benar-benar jilbab. Jilbab yang benar-benar menutupi, tak terkecuali Mbak Tari.

Mbak Tari adalah sosok luar biasa bagiku. Dialah seorang akhwat yang tak banyak bicara, tetapi banyak bekerja, walaupun terkadang aku melihat dia kelelahan menjalankan roda organisasi. Organisasi Islam di Kampus Biru ini. Dia senantiasa menaruh perhatian kepadaku, kepada teman-temanku. Menasihati kami jika bersalah, memotivasi kami jika kami mengalami kesusahan, dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikannya kepadaku, kepada kami.

Di UKM Fosi, aku dimasukkan ke anggota bidang Keputrian. Aku senang berada di bidang ini karena Mbak Tari koordinator bidangnya. Sedangkan di KAMMI Komisariat Ababil aku dimasukkan ke anggota bidang Kaderisasi. Walaupun bukan dia koordinatornya, tetapi aku cukup senang karena dia sebindang denganku. Ternyata Allah memang menakdirkanku bersamanya.

Di bidang Keputrian UKM Fosi aku mulai belajar menjadi seorang akhwat (sebutan yang akrab disandang para aktivis perempuan di UKM Fosi dan KAMMI). Aku ingin menjadi perempuan yang benar-benar perempuan, yang selalu bersikap sopan santun, tutur kata yang lembut, menjaga pandangan, senantiasa beribadah, dan satu lagi, aku ingin berjilbab lebar. Walaupun dalam hatiku belum terlalu meng-iya-kan berjilbab lebar. Yang jelas, aku tak ingin masa laluku terulang kembali. Telah cukup bagiku menjadi seorang “tomboy”.

***

Hari ini, Senin, aku tak ada jam kuliah. Akan tetapi, aku tetap datang ke kampus. Aku ingin bertemu dengan Mbak Tari seperti yang telah dijanjikan semalam. Aku ingin bertemu di Sekretariat UKM Fosi, di Dekanat FKIP lantai bawah. Aku ingin bertanya-tanya tentang Islam kepadanya, termasuk tentang bagaimana seorang akhwat seharusnya bersikap dalam Islam.

“Mbak, aku ingin bertanya. Bolehkah?” tanyaku ketika berada di dalam ruang Sekretariat UKM Fosi.

“Ya, silahkan, ukhti,” jawabnya.

Aku diam. Dalam hati, aku sedikit ‘geli’ mendengar kata “ukhti” dilayangkan kepadaku. Aku merasa belum pantas menyandangnya. Walaupun aku tahu artinya.

“Maaf, Mbak, kira-kira menurut pendapat Mbak, jilbabku ini gimana?” tanyaku yakin.

“Hmmm..., sudah bagus jika seorang wanita berjilbab, ukhti. Ana sangat mengapresiasi anti. Tapi, lebih bagus lagi kalau jilbabnya lebih dilebarkan lagi,” jawabnya.

“Lho, kenapa begitu, Mbak?” tanyaku kembali.

Dia tersenyum. Senyum penuh keikhlasan. Diberikan sebuah buku kumpulan hadits Nabi kepadaku. Kubuka lembaran-lembaran kumpulan hadits Rasulullah saw itu, hingga sampailah hadits tentang kewajiban menutup aurat. Kulihat pakaianku. Aku sudah menutup aurat. Aku memakai rok, memakai baju yang menutupi tubuhku, dan berjilbab. Dengan sedikit berat hati, ku-iya-kan kata-katanya.

***

Aku belum puas dengan jawabannya. Kubuka internet. Kubuka artikel-artikel tentang jilbab. Aku tertegun. Aku merasakan bahwa aku masih jauh dari jilbab. Aku masih jauh dari Islam. Pakaianku belum sepenuhnya “islami”. Dan jilbabku, belum bisa disebut “jilbab”. Jilbabku lebih pantas menyandang ‘penutup kepala’ saja. Aku benar-benar malu pada diriku sendiri.

***

Sabtu ini tak ada kegiatan dari UKM Fosi dan KAMMI Ababil. Dengan tekad bulat aku ingin kembali menemui Mbak Tari. Kalau bisa, aku ingin menginap di rumahnya malam Minggu ini. Aku ingin sharing dengannya. Aku sadar selama ini aku salah. Pakaianku, terutama jilbabku, sangat jauh dari benar. Sangat jauh dari jilbab yang sesungguhnya.

Kukirim SMS kepadanya. Tampaknya ia bersedia ‘menerimaku’ menginap semalam di rumahnya, di kosannya. Alhamdulillah. Aku juga ingin memberi surprise kepadanya. Aku ingin menunjukkan jilbab lebarku yang baru kubeli siang tadi.

“Assalamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalam. Silahkan masuk, ukhti.”

“Iya, Mbak.”

Sekilas kutatapi isi kosannya. Kosan yang sangat bersih dan rapi. Buku-buku tersusun rapi di sudut kanan kamar, pakaian terlipat dan tersusun rapi sesuai tipenya masing-masing di dalam sebuah lemari sederhana setinggi bahuku di sebelah kirinya. Foto-foto terpajang di dinding dengan rapi, foto-foto Mbak Tari dengan teman-teman akhwat-nya sedang mengikuti agenda-agenda UKM Fosi dan KAMMI. Sungguh, kebahagiaan bagiku jika aku ada di antara salah satu gambar dalam foto itu.

Malam-malam begini Mbak Tari tak pernah melepas jilbabnya. Penampilannya masih seperti ketika di kampus. Dan jilbab lebarnya, masih setia membalut kepalanya. Ternyata ia orang yang konsisten. Konsisten menjalani Islam. Tak hanya di kampus ia mengenakan jilbab lebarnya. Di rumah, saat-saat tak ada orang yang melihatnya pun ia masih setia mengenakan jilbab lebarnya. Bagiku, ia benar-benar muslimah. Aku yakin, ia tahu Allah Mahamelihat. Subhanallah, baru kali ini aku benar-benar menemukan sosok wanita muslimah.

Pukul 22.00 WIB. Aku berbaring di kasur santainya. Sebuah tempat tidur yang sederhana. Ia sedang membaca Alquran. Suaranya yang lembut seakan membelaiku dengan manja menuju alam mimpi. Akhirnya aku pun terlelap juga.

Pukul 2.00 WIB. Aku terbangun. Aku terkejut, karena ternyata aku sendirian di kamar kosan ini. Aku segera pergi ke dapur. Tak ada orang. Aku pun kembali ke kamar. Hatiku bertanya-tanya, “Mbak Tari dimana, ya?”

Tak ada jawaban. Aku kembali bangkit. Kali ini ke ruang tamu. Ruang tamu itu gelap. Astaghfirullah! Sebuah benda putih setinggi badanku berdiri tegap di situ. Aku berlari ke kamar. Keringat dingin keluar membasahi tubuhku. Aku benar-benar takut.

“Mbak?” kataku sekenanya.

Sayup-sayup terdengar bacaan ayat-ayat Alquran dari ruang tamu. Aku lega. Ternyata benda putih yang baru saja kulihat itu Mbak Tari yang sedang salat tahajjud. Aku kembali berbaring. Kucoba memejamkan mataku. Aku ingin kembali tidur. Akhirnya aku kembali terlelap.

“Ukhti, bangun. Ayo, kita salat Subuh.”

“Iya, Mbak.”

Walaupun masih mengantuk, aku tetap bangkit mengikuti ajakannya, menjalankan salat Subuh berjamaah dengannya. Kuperhatikan bacaan Alqurannya. Sungguh, bacaan yang begitu enak didengar. Sepertinya aku harus banyak belajar darinya.

Usai salat Subuh, ia mengajakku membaca al-Ma’tsurat bersama-sama. Aku sedikit menolak dengan dalih tak membawa al-Ma’tsurat. Ia pun memberikan kepadaku al-Ma’tsurat Sughra yang dipegangnya.

“Kalau al-Ma’tsurat-nya kupegang, Mbak makai apa?”

“Mbak sudah sedikit hafal, ukhti. Ayo, kita mulai.”

***

“Subhanallah, anti lebih pantas makai jilbab ini ukhti. Anti tampak lebih cantik.”

“Ah, Mbak. Ini baru coba-coba, kok.”

“Hmmm..., tapi sekali ini coba, semoga anti betah, ya.”

Mbak Tari mengelus pundakku. Ia membenarkan bentuk jilbabku. Ia tersenyum. Lagi-lagi kutatap senyum ikhlas di wajahnya. Senyum ikhlas penuh keteduhan. Ia tampak senang dengan jilbab baruku. Sebuah jilbab lebar seperti yang selalu dikenakannya.

Aku bergegas ke cermin. Bayangan cermin seukuran bingkai foto 3R ini cukup mewakili bentuk wajahku. Aku senang. Aku memang tampak lebih pantas dengan jilbab lebar ini. Aku tampak layak disebut wanita. Aku layak disebut akhwat. Tapi, bukan itu tujuanku mengenakan jilbab lebar ini. Aku ingin mencoba benar-benar menjalankan syariat Islam, menutup aurat. Dan jilbab lebar inilah yang harus kukenakan supaya aku benar-benar menjalankan syariat Islam. Aku pun bertekad, mulai Senin nanti aku akan mengenakan jilbab lebar. Tak hanya lebar, tapi dua lapis, seperti jilbab lebarnya Mbak Tari.

“Selamat tinggal kain penutup kepala, selamat datang jilbabku,” kataku dalam hati.

***

“Mbak, malam ini aku pulang. Terima kasih banyak atas tumpangan nginapnya. Dan terima kasih atas semuanya,” kataku perlahan.

Air mataku keluar begitu saja. Aku masih ingin bermalam dengannya. Aku belum ingin pulang. Namun, dengan lembut ia mengusapkan tisyu ke wajahku. Menghapus air mata yang membasahi kedua belah pipiku.

“Ukhti, anti boleh nginap di sini lagi, kok.”

“Ana janjinya semalam aja, Mbak.”

Mbak Tari mendekap tubuhku. Aku menangis dalam pelukannya. Aku laksana seorang anak yang berada dalam dekapan ibunya. Aku merasakan kehangatan kasih sayangnya.

“Ukhti, jika anti ingin pulang, pulanglah. Tapi kalau anti mau nginap lagi, silahkan. Dengan senang hati ana menyilahkan anti nginap.”

“Nggak, Mbak. Ana harus pulang. Terima kasih banyak sudah mau ngurusi ana.”

“Hmmm..., anti ini lucu juga, ya.”

“Maksudnya apa, Mbak?”

“Anti seperti mau pergi jauh saja.”

“Ana juga nggak tahu, Mbak. Ana bingung kenapa seperti ini.”

Ia tersenyum. Goresan-goresan senyuman itu membuatku nyaman bersamanya. Membuatku betah berlama-lama di sisinya. Inikah keindahan ukhuwah Islam? Namun, aku merasakan sebuah ketidakbaikan. Aku merasakan seolah-olah saat inilah terakhir aku melihatnya. Ya Allah, ada apa ini sebenarnya?

“Oh, ya, ukhti. Ini ana ada oleh-oleh untuk anti bawa pulang nanti.”

“Apa ini, Mbak?”

“Ada deh, pokoknya jangan dibuka sebelum sampai rumah, ya?”

“Aduh, jadi ngerepotin, nih, Mbak.”

“Nggak apa-apa, ukhti. Bawa aja. Nggak bagus lho menolak pemberian orang.”

“Iya, Mbak. Ana pulang dulu. Terima kasih banyak, Mbak.”

“Iya, ukhti. Sama-sama. Hati-hati di jalan.”

“Iya, Mbak. Assalamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalam.”

Hari sudah sore. Langit jingga membentang ke barat sana. Aku bergegas pulang. Kutatap Mbak Tari yang berdiri di depan pintu kosannya. Ia tersenyum. Senyum yang tulus. Kubalas senyumannya dengan lambaian tangan kananku. Ia pun melambaikan tangan kanannya. Kubunyikan klakson motorku. Ia mengangguk pelan dengan senyuman masih melekat di bibirnya. Aku segera menjalankan motor sementara mataku masih melihat kaca spion, melihatnya. Ia masih mengawasiku. Aku terus melaju hingga ia tak terlihat lagi.

Sampai di rumah, langsung kulihat bingkisan dari Mbak Tari yang tadi diberikan padaku. Aku tak sabar ingin tahu apa isinya. Kubuka perlahan bingkisan itu. Kurobek lembaran-lembaran kertas yang membungkusnya hingga terlihat isinya. Subhanallah, ternyata sehelai jilbab lebar berlapis. Aku pun segera menarik sepucuk kertas putih yang tampaknya sengaja diselipkan di antara lipatan kain jilbab itu.

Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Bagaimana keadaanmu hari ini, ukhti? Semoga baik-baik saja, ya.

Oh, ya, ukhti. Langsung saja, ana sengaja kasih ini ke anti lantaran anti, ana anggap sebagai adik ana sendiri. Anti sudah ana anggap bagian dari keluarga ana sendiri.

Anti adalah orang yang luar biasa. Anti mau terus belajar dan belajar. Anti tak pernah bosan. Anti juga senantiasa memperbaiki diri, makin hari makin terus melakukan perbaikan diri anti. Jujur, ana sangat kagum pada anti.

Ukhti, lembaran kain jilbab ini sengaja ana kasih ke anti. Ana barharap anti bersedia memakainya. Maafkan ana kalau mungkin anti tak terlalu suka dengan warnanya. Tapi, ana tulus memberikan ini untuk ana.

Ukhti, takdir Allah kita tak pernah tahu. Apakah Allah masih akan mempertemukan kita esok hari, ana tak bisa menjamin. Jikalaupun ana besok sudah tak bisa bertemu anti lagi, tolong jaga kenang-kenangan dari ana, ya, ukhti al-mahbub.

Sekian dulu, ya, ukhti. Tetap istiqomah dan selalu senyum ya, ukhti. J

Assalamu’alaykum Warohmatullohi Wabarokaatuh

Salam manis

Lestari Putri (Mbak Tari)

Tetes air mata kembali membasahi pipiku. Aku benar-benar terharu, juga pilu. Aku terharu atas kebaikan-kebaikannya. Dan aku pilu jika yang dikatakan itu benar-benar terjadi. Ya Allah, jangan dulu jemput dia.

Kucium lipatan lembaran kain jilbab lebar itu. kupeluk erat-erat hingga pipiku benar-benar basah oleh airmataku. Aku menangis tertahan. Mbak Tari, jangan terlalu cepat tinggalkan aku.

Aku bangkit. Sore ini juga aku pergi ke Toko Buku Gramedia. Aku ingin mencari buku tentang tuntunan dan tata cara salat Tahajjud dan salat Hajat. Setelah berkeliling cukup lama di dalam toko itu, akhirnya kutemukan juga buku incaranku, buku Tata Cara Salat Sunnah Lengkap. Tanpa basa-basi, aku langsung pulang ke rumah. Aku ingin segera membelai buku itu lembar demi lembar.

***

Bismillahirrohmanirrohiim. Bermodalkan buku yang baru kubeli sore kemarin, kujalankan juga salat Tahajjud dan salat Hajat malam Senin ini semampuku. Aku ingin bermunajat kepada Allah. Aku ingin berdoa kepada Allah. Aku ingin merasakan indahnya bercinta dengan Allah. Dan aku ingin agar Allah memanjangkan umurku, umur kedua orangtuaku, umur saudara-saudaraku, dan terkhusus umur Mbak Tari. Aku tak ingin firasatku menjadi doa dan akhirnya kenyataan pahit bagiku.

Ya Allah, telah lama aku hidup di bumi-Mu. Telah banyak jejak-jejak kaki di bumi-Mu. Bertahun-tahun aku di bumi ini. Tapi, kurasakan hanya umurku yang bertambah. Hanya usiaku yang mendekati kematianku.

Ya Allah, hamba-Mu ini penuh dosa. Dosa-dosa yang kurasakan begitu indah tergapai. Dosa-dosa yang tak jarang kubanggakan di depan makhluk-Mu yang lain. Dosa-dosa yang tiada henti mengalir membasuhi jiwa hamba-Mu. Oleh karena itu, Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dosa kedua orangtuaku. Mereka yang telah begitu berat berjuang demi aku, demi kami, anak-anak mereka. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku, sebagaimana mereka menyayangi kami, anak-anaknya. Muliakanlah mereka Ya Allah.

Ya Allah, aku tak tahu sampai kapan hidupku di atas bumi-Mu ini. Ataukah tahun depan, bulan depan, minggu depan, hari esok, hari ini, atau bahkan detik ini, bisa saja Kau jemput aku. Tapi, aku mohon pada-Mu, Ya Rabb. Panjangkanlah usiaku sehingga aku senantiasa bisa menambah amalan-amalanku kepada-Mu. Panjangkanlah usia kedua orangtuaku, saudara-saudaraku. Dan Mbak Tari, Ya Allah, jangan jemput dia sebagaimana kata-kata yang terbaris rapi dalam firasatku. Firasatku itu bohong Ya Allah.

Ya Allah, tiada tempat bagiku memohon, kecuali kepada-Mu. Ya Allah, kabulkanlah doa-doaku ini. Aamiiiin.

Airmataku kembali berlinang. Pipiku benar-benar basah. Basah terlewati air mata yang mengalir begitu saja. Tak kuseka sedikitpun airmataku. Aku benar-benar menikmatinya. Aku merasakan sesuatu yang manis, manisnya bercinta dengan Sang Khaliq. Aku menikmati betapa mesranya bermunajat kepada-Nya. Dalam hatiku membenarkan sikap Mbak Tari yang menjalankan salat Tahajjud ketika aku menginap di kosannya kemarin. Aku yakin, dia juga merasakan apa yang kurasakan saat ini. Bahkan, dia lebih merasakan keindahan ini. Subhanalloh!

***

Tak terasa, liburan panjang semeter 3 kemarin sudah berlalu. Kini aku harus kembali ke kampus menapaki semester baru, semester 4. Aku tak merasa, sekarang aku sudah begitu senior. Sebenarnya, ketika semester 3 kemarin aku sudah dikatakan ‘senior’, tapi aku belum merasakan hal itu. Aku merasa belum dewasa, aku merasa belum siap menjadi senior kala itu. Namun, saat ini aku sudah merasakan sedikit ‘kesenioranku’. Alhamdulillah, aku sudah bisa mulai menjalankan aktivitas sehari-hariku sebagaimana seorang akhwat. Kedua orangtuaku sangat senang dengan perubahan yang ada padaku. Mereka sering membicarakanku. “Tak menyangka, ya, Yah. Novita, anak kita sudah berubah. Dia sudah menemukan jati dirinya.” Itulah kata-kata yang senantiasa kudengar dilontarlan Ibu kepada Ayah.

Menapaki semester 4 ini aku belum sekalipun bertemu Mbak Tari. Dimanakah ia? Mungkin ia sedang sibuk dengan kegiatan akademiknya. Aku pun maklum jika itu sebabnya. Ia yang saat ini semester 6 harus banyak mempersiapkan diri menghadapi Kuliah Kerja Nyata (KKN) di akhir semester 6 nanti.

Waktu pun terus berjalan. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan dua bulan berlalu tanpa kabar darinya. Berkali-kali aku mengirimnya SMS, tapi tak juga dapat balasan. Berkali-kali aku meneleponnya, tapi tak juga diangkat. Ada apa sebenarnya? Adakah kesalahan besarku kepadanya?

Aku berpikir keras. Memikirkan apa kesalahanku yang menyebabkan ia tak mau lagi menghubungiku. Jangankan menghubungiku, kuhubungi saja susah. Dengan memberanikan diri, aku mencoba bertanya-tanya dengan mbak-mbak senior di UKM Fosi dan juga KAMMI Ababil. Namun, tak juga kutemukan di mana ia berada. Aku tak berhenti. Aku kembali mencari kabar tentangnya. Aku pun bertanya kepada salah seorang teman sekelasnya, Mbak Liana.

“Sebenarnya dia masih rajin masuk kelas. Cuman, dia beda sekarang. Dia tak seceria dulu. Dia sering murung. Bahkan, dia suka menyendiri. Dia juga sangat sensitif sekarang. Begitu mudah marah,” terang Mbak Liana.

“Kenapa begitu, Mbak?” tanyaku menyelidik.

“Mbak kurang tahu juga, dik. Mbak nggak berani tanya-tanya dengannya. Kemarin aja, Mbak kena sembur habis-habisan waktu tanya-tanya mengapa dia sangat berubah,” jawab Mbak Liana.

“Ya sudah kalau begitu. Terimakasih, Mbak,” kataku sekenanya.

“Iya, dik. Sama-sama,” jawabnya.

Aku pun pulang, sementara hatiku penuh tanda tanya. Pertanyaan mengapa dan mengapa menghantui pikiranku. Mengapa Mbak Tari berubah seperti itu? Mengapa Mbak Tari yang dulu begitu lembut dan santun tutur katanya kini berubah menjadi seseorang yang menakutkan bagi teman-temannya? Mengapa Mbak Tari yang dulu sangat ramah dan senantiasa menebarkan senyuman tulusnya kepada teman-temannya kini menjadi sering menyendiri, murung, dan tak mau ditemui seorangpun? Mengapa? Mengapa?

Aku tak berhenti sampai di situ. Masih banyak ‘penyedia informasi’. Malam ini, malam Sabtu, karena ingin ‘melepas penat’ selama lima hari dihajar materi-materi perkuliahan, aku membuka internet sebagai hiburan, sekaligus ‘balas dendam’ karena selama itu laptop kecilku rusak.

Sebagai salah seorang dari sekian banyak pemuda yang kenal facebook, aku pun buka facebook. Aku memang hobi membuka Facebook. Jika membuka internet tanpa Facebook, ibarat sayur tanpa garam. Hambar rasanya. Itulah prinsipku. Prinsip yang membuat aku dijuluki Akhwat Facebooker. Biarlah. Toh, aku membuka Facebook bukan untuk hal-hal negatif, melainkan ingin menjalin komunikasi dengan teman-teman yang jauh yang tak sempat menyimpan nomor HP-nya, memberikan informasi-informasi penting kepada orang banyak, atau berbagi ilmu dan kebaikan kepada orang lain. Sebagai Akhwat Facebooker, aku cukup ‘tersiksa’ tanpa Facebook. Tak membuka sehari saja, rasanya begitu hampa.

Aku pun mulai menjelajahi Facebook. Kudapati betapa banyaknya pemberitahuan masuk dinding Facebook-ku. Ada beberapa pesan dan beberapa permintaan pertemanan masuk. Kubuka permintaan pertemanan dan pesan yang masuk, sedangkan pemberitahuan sengaja kuabaikan karena begitu banyaknya.

Kudapati juga status-status teman-teman Facebookku. Status curahan hati, nasihat, semangat, hingga ceramah terpampang jelas di situ. Namun, bukan itu yang kutuju. Aku ingin mencari tahu kabar Mbak Tari. Tanpa basa basi, ku-klik bagian pencarian dan kuketik nama akun Mbak Tari di situ. Ada. Segera kutekan tombol enter.

Terbukalah akun Mbak Tari. Kutatapi setiap detailnya. Tak banyak berubah. Hanya foto profil dan foto sampulnya yang berubah. Foto profil dan sampulnya pun masih seperti dulu, masih kental dengan keislaman. Belum puas, kutelusuri status-statusnya. Betapa terkejutnya aku tatkala membaca komentar-komentar pada status yang ditulis sehari yang lalu. Mbak Tari balas-balasan komentar dengan ikhwan?

Cukup puas facebookan, aku pun keluar dari facebook. Hatiku bertanya-tanya, mengapa seorang akhwat yang pendiam justru berbalasan komentar dengan ikhwan? Namun, dalam hatiku masih membenarkan sikapnya. Mungkin dia punya saudara laki-laki. Mungkin saja.

Ternyata Facebook tak memberi informasi yang memuaskan hatiku. Malah setelah membuka Facebook daftar pertanyaanku semakin banyak. Pertanyaan yang tak berubah. Mengapa dan mengapa. Dengan memberanikan diri, aku pun mencoba bertanya-tanya dengan mbak-mbak akhwat semester 6.

“Afwan, ya, ukhti. Ukh Tari sudah lama nggak pernah nongol. Mbak sebagai teman dekatnya aja nggak tau ke mana beliau sekarang. Mbak udah berusaha mengirim SMS beliau, tapi nggak ada jawaban. Mbak nelepon, nggak diangkat,” terang Mbak Aini ketika kutanyai hal apa yang terjadi dengan Mbak Tari.

“Wah, terus gimana, Mbak? Banyak yang bertanya-tanya kenapa Keputrian UKM Fosi nggak jalan lagi,” balasku.

Mbak Aini mengangguk pelan. Sepertinya ia mengerti keluh kesah yang melanda batinku. Dari raut wajahnya, aku pun menangkap bahwa ia juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan.

“Mbak Tari masih di kosan lamanya, kan?” tanyaku lagi.

Mbak Aini menggeleng. Raut wajahnya menunjukkan ketidaktahuan.

***

Sabtu sore ini, sesuai perjanjian yang telah terjadi Senin kemarin dan berdasarkan jadwal pemutaran film di Bioskop 21, bioskop terbesar di kota Bengkulu, aku dan adik-adik akhwat yang tergabung dalam kepengurusan baru UKM Fosi dan KAMMI Ababil berangkat ke Bioskop 21. Sebagai koordinator bidang Keputrian UKM Fosi dan anggota bidang Kaderisasi KAMMI Ababil yang baru, aku ingin mereka menyerap amanat-amanat dalam film yang digandrungi banyak remaja, Alangkah Lucunya Negeri Ini. Aku ingin berbagi kebaikan dan nasihat kepada mereka di balik sebuah hiburan bagi mereka.

Pukul 16.00, selepas Asar, kami telah nyaman duduk di bangku kami masing-masing dalam bioskop. Kami siap menerima sajian film hari ini, ALNI, begitu kami menyebutnya, film yang sarat dengan sejuta amanat untuk bangsa ini, khususnya umat Islam. Kami menunggu pemutaran film sembari berbincang-bincang. Aku senang, mereka akrab, malah sangat akrab. Semoga saja keakraban dan kebersamaan mereka tetap berlanjut hingga ke surga-Mu Ya Allah.

Kulihat pintu mulai ditutup, tampak seorang laki-laki dan seorang perempuan tergesa-gesa masuk sembari bergandengan tangan. Kuperhatikan sekilas laki-laki itu. Aku tak mengenalnya. Kualihkan pandanganku pada perempuan yang bergandengan tangan dengannya. Kukucek-kucek mataku. Benarkah itu? Mbak Tari?

Aku menonton dengan tak hikmad. Justru dalam benakku tergores nama Mbak Tari. Aku yakin, itu Mbak Tari. Aku kenal betul bentuk muka, warna kulit, dan lengkung wajahnya. Tahi lalat kecil di pipi kirinya dan goresan bekas luka di pelipisnya sudah sangat memberitahuku. Aku ingin menanyakan kabar dengannya. Tapi mengapa ia bersama laki-laki (aku enggan menyebutnya ikhwan)? Mengapa ia bergandengan tangan dengannya? Siapa laki-laki itu?

Begitu film itu usai, aku langsung berlari keluar, tak peduli adik-adik akhwat melongok, heran melihat tingkahku. Aku ingin nyamperin Mbak Tari dan laki-laki yang bersamanya. Aku ingin tahu kabarnya, juga ingin tahu dengan siapa dia.

“Mbak, Mbak Tari, kan?” tanyaku sembari menarik lengan tangan kanannya.

“Iya,” jawabnya melepaskan pegangan tanganku sembari membetulkan jilbabnya. “Ada apa, ya?”

Aku menatapnya lekat-lekat. Aku risih dengan jilbab yang dipakainya saat ini. Modis, kecil, dan terkesan tak menutup aurat, tak pantas disebut jilbab. Ia tampak rikuh kutatapi seperti itu.

“Maaf, Mbak sama siapa?” tanyaku kembali.

“Oh...,” Ia gugup. “Itu urusanku, dik.”

Ia pun berlalu, menggandeng tangan laki-laki itu. Tak sempurna terjawab pertanyaanku, kutarik lengannya, kali ini lengan kiri. Sontak ia menghempaskanku ke lantai.

“Kamu itu apa-apaan, sih!” bentaknya.

“Mbak, tolong jelaskan sama ana, mengapa Mbak seperti ini? Mbak berubah!”

Plak!!! Laki-laki itu menampar keras pipi kiriku. Aku terhuyung dan kembali terhempas ke lantai. Bibirku berdarah.

“Kamu siapa!!! Berani-beraninya mengganggu pacarku!” bentak laki-laki itu kasar. Laki-laki itu hendak menginjak tubuhku yang terbaring di lantai. Namun, adik-adik akhwat berteriak mencegahnya. Laki-laki itu sontak menggandeng tangan Mbak Tari dan cepat-cepat berlalu, meninggalkanku.

Pacar? Jadi, selama ini Mbak Tari menghilang dari Fosi dan KAMMI, gara-gara laki-laki tak jelas itu. Tapi, mengapa ia lakukan itu? Mengapa ia berubah? Jilbabnya. Mengapa jilbabnya berubah? Kemana jilbab lebarnya dulu?

“Astaghfirullah, ini ada apa sebenarnya, Mbak?” tanya Putri, sembari membersihkan luka di bibirku.

Aku diam. Hanya kugelengkan kepalaku.

“Mbak, tolong jelaskan kepada kami, ada apa sebenarnya? Siapa mereka? Mengapa mereka sejahat itu sama Mbak?” lanjut Ani.

Aku diam sejenak. Kuatur napas sebentar.

“Sebenarnya beliau Mbak Tari, senior kita. Beliau semester enam. Tapi, Mbak tidak tahu mengapa beliau berubah seperti itu.”

“Jadi, beliau itu anak Fosi dan KAMMI juga?” tanya Putri.

“Benar, ukhti. Dulu, beliau seperti kita ini. Beliau sangat baik, terutama kepada Mbak. Dan jilbab yang Mbak kenakan saat ini, adalah pemberiannya...”

Tak terasa airmataku meleleh, membasahi pipiku. Ketujuh akhwat yang bersamaku menonton film tadi memelukku erat-erat, terutama Putri yang ikut sesenggukan.

“Mbak harap, kalian tetap istiqomah, ya...” kataku sementara airmataku masih menganak sungai.

Mereka melepaskan pelukan. Mereka mengangguk pelan. Dari raut wajah dan tatapan mata mereka, aku tahu, mereka benar-benar bersedih. Airmata masih membasahi pipi mereka.

“Ayo, kita pulang. Tapi, bersihkan airmata kita dulu,” titahku.

***

Aku terbangun tatkala HP-ku berdering keras sekali, persis di samping telinga kananku. Ada panggilan masuk, dari Ukh Putri. Kujawab panggilan itu.

“Assalamu’alaykum. Mbak, lagi dimana sekarang?”

“Wa’alaykumussalam warohmatullohi wabarokatuh. Lagi di rumah. Ada apa, ukhti?”

“Mbak, tolong ke Unib Belakang sekarang. Penting, Mbak.”

“Iya, tunggu bentar.”

Tuuuutt... Panggilan diakhiri. Sontak kuberlari ke kamar mandi, mencuci tangan, mencuci muka, dan menggosok gigi. Dengan sedikit merapikan jilbabku, kukendarai sepeda motorku. Aku ingin cepat-cepat sampai ke Unib Belakang. Aku ingin segera mendatangi panggilan penting ini.

Persis di depan gerbang Unib Belakang, aku menurunkan kecepatanku. Ada banyak orang mengerubung di jalan. Ada apa ini? Kulihat Putri dan akhwat-akhwat seangkatannya berada di antara kerumunan itu. Ia melambaikan tangan. Aku pun segera memarkirkan sepeda motorku di depan fotokopian Dikma, yang kebetulan milik saudaraku. Aku berlari menyusup ke dalam kerumunan orang itu. Kulihat orang-orang ramai-ramai mengangkat dua orang ke dalam angkot. Kulihat pula dua orang polisi menggandeng seorang laki-laki paruh baya. Aku mengenalnya. Ia sopir truk yang sering mampir ke rumahku. Memori masa kecilku kembali terbuka. Aku ingat betapa seringnya ia memberiku hadiah, jajan, bahkan uang tatkala mampir ke rumah, menemui ayahku. Tapi, mengapa ia ditahan polisi? Apa salahnya?

“Mbak, ayo cepat!” tiba-tiba Putri menarik tangan kananku. “Kita ikuti angkot itu.”

Tanpa bertanya ini itu, kupacu sepeda motorku, berboncengan dengan Putri, mengikuti jalannya angkot yang ditunjuknya tadi. Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya sampailah kami di Rumah Sakit Muhammad Yunus. Para penumpang angkot yang rata-rata mahasiswa Unib itu langung turun dan tergesa-gesa mengangkat dua orang. Otakku berjalan, mereka korban kecelakaan lalu lintas. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Kami berlari mengikuti mereka, menuju Ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Kami pun menunggu di Ruang Tunggu, persis di depan Ruang UGD. Tak lama kemudian, seorang dokter muda keluar.

“Ini teman-temannya, ya?” tanyanya.

“Iya, Pak!” jawab Rendi, ketua umum UKM Fosi yang baru dilantik sebulan lalu.

“Begini, dik. Kami dari pihak Rumah Sakit sudah berupaya menyelamatkan mereka. Tapi, hanya satu yang selamat, yaitu yang laki-laki. Dan yang perempuan, kami mohon maaf, karena pendarahan berat di kepalanya, Allah telah memanggilnya,” jelasnya. “Oh, iya, ini dompet mereka. Mungkin di dalamnya ada kartu identitas mereka.”

Rendi segera mengambil kedua dompet cokelat itu. Tanpa kuduga, ia memberikan salah satu dompetnya kepadaku, dompet milik korban perempuan. Kubuka dompet itu perlahan. Ada sebuah foto laki-laki dan perempuan, sangat mesra. Aku jijik melihat foto itu, terutama foto perempuan yang tak mengenakan jilbab itu. Namun, kuperhatikan terus foto perempuan di situ. Aku kenal wajah itu, astaghfirullah! Mbak Tari?????

Aku menangis sejadi-jadinya. Benarkah ini Ya Allah? Jangan bercanda kepadaku. aku tahu, ini tak lucu!

“Sudahlah, Mbak. Itulah kehendak Allah. Allah yang Maha Menepati Janji telah menjawab janjinya hari ini, memanggilnya,” Putri berusaha menghiburku.

Memang benar, inilah janji Allah. Allah menepati janji-janji-Nya kepada semua hamba-Nya. Dan hari ini, satu janji Allah, memanggil Mbak Tari menghadapnya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

***

Semilir angin sepoi-sepoi menerpaku, mengayunkan jilbab lebarku. Kutatap seisi sekolah ini. Dalam hati, aku penuh syukur diterima sebagai salah satu tenaga pengajar di SMA ini pasca wisuda S1-ku beberapa bulan lalu. Aku tak menyangka kembali ke SMA-ku. Hanya saja, aku sebagai guru, bukan sebagai siswa lagi.

Samar-samar kulihat seorang akhwat bercadar berjalan perlahan. Jilbabnya lebar layaknya jilbab yang kukenakan. Perlahan tapi pasti, ia menuju ke arahku. Kutunggu kedatangannya, hingga sampailah persis di hadapanku.

“Assalamu’alaykum warohmatullohi wabarokatuh.”

“Wa’alaykumussalam warohmatullohi wabarokatuh.”

Segera ia menjabat tanganku dan kusambut jabatan tangannya.

“Ana guru baru di sini.”

“Iya, ana juga. Ana Novita. Rizki Novita. Dan anti?”

Ia diam, kemudian melepas cadarnya.

“Lestari Afridawati.”

Tiba-tiba dunia gelap.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun