Mohon tunggu...
Arif Pangestu
Arif Pangestu Mohon Tunggu... -

Bukanlah sosok setampan Yusuf As, setabah Ayub As, seberani Ibrahim As, dan sekaya Sulaiman As, tetapi senantiasa berusaha menjadikan diri sebagai sosok mulia layaknya Muhammad saw

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat dari Israel

1 Maret 2015   22:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:18 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Biasa, yang namanya laki-laki tampan, siapa yang tak mau...”

Kudengar sekilas perbincangan mereka ketika istirahat tiba. Aku tahu siapa yang mereka maksud. Dialah Ben Arkin, siswa yang baru masuk beberapa bulan lalu. Dia pindahan dari Malaysia. Alamatnya di desa F Trikoyo, tak jauh dari tempatku bersekolah saat ini, SMA Negeri Tugumulyo. Kulit putih, postur tubuh besar dan tinggi, rambut hitam pekat, dan hidung mancung sudah cukup menunjukkan dirinya keturunan Timur Tengah, suku bangsa Arab. Tak heran jika banyak siswa-siswa perempuan yang mengaguminya, yang membicarakannya setiap waktu.

Aku mengenalnya sebagai sosok yang luar biasa. Ramah kepada semua orang, sopan santun, tutur kata yang lembut namun penuh wibawa, dan tak banyak bicara. Selain itu, dia juga termasuk siswa yang rajin, bersemangat mengikuti kegiatan belajar di sekolah.

***

“Win, katanya kelas kau punya tim sepakbola, ya?”

“Iya, Ben. Tapi pemainnya hanya sebatas cukup.”

“Bolehkah aku ikut latihan bersama tim sepakbolamu?”

“Boleh, Ben. Kalau tidak ada sparing, kami latihan setiap Selasa dan Sabtu sore, sekitar pukul empat. Nanti kau ikut saja.”

“Oh, iya, Win. Terima kasih banyak atas kesedaiannya.”

Kami bertukaran nomor HP, supaya tatkala akan berangkat latihan atau info-info yang berkenaan dengan tim sepakbola kami, kami bisa langsung berbagi, baik info yang datang dariku untuknya atau info yang datang darinya untukku, untuk tim sepakbola kelasku.

***

Sabtu ini, seperti biasa, aku ada jadwal latihan sepakbola di lapangan sepakbola di Kelurahan B Srikaton. Selepas Asar aku langsung pergi ke lapangan dengan sepeda motor dan perlengkapan sepakbola, termasuk sebutir bola kaki yang sengaja kubawa ketika pulang latihan Selasa kemarin. Aku yakin, seperti sebelum-sebelumnya, pasti teman-teman satu tim belum ada yang datang, selalu aku yang datang duluan. Namun, aku terkejut tatkala tiba di lapangan, sudah ada seseorang yang berlari-lari kecil mengelilingi lapangan dan melakukan pemanasan.

“Ben!!!” teriakku.

Ia pun berhenti. Sejenak menatap, lalu berlari menghampiriku. Ia tersenyum dan menjabat tanganku.

“Sudah lama?” tanyaku.

“Belum. Beberapa menit sebelum kau, Win,” jawabnya.

Kusodorkan bola di tangan kananku kepadanya, kemudian aku berlari kecil, mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh putaran, sekadar melakukan pemanasan. Sembari berlari, mataku mencuri pandang kepadanya. Ia sedang memainkan bola. Tampaknya ia mahir memainkannya. Semoga ia akan menjadi salah satu tulang punggung kebangkitan tim yang baru beberapa bulan dibentuk ini.

“Ben, posisimu dimana?” tanyaku usai melakukan pemanasan.

Second striker, Win,” jawabnya mantap.

“Bagus, kebetulan kami tidak ada yang berada di posisi itu,” terangku.

Ia mengangguk. Lalu kami melakukan passing bola sembari menunggu teman-teman berdatangan.

“Teman-teman, kita kedatangan pemain baru. Beliau Beni, dari kelas XI IPA 1,” terangku saat akan melakukan latihan.

“Oh, ya. Siswa baru itu, ya?” tanya Rian. “Perkenalkan, aku Rian, ketua kelas XI IPS 1, sekaligus kapten tim Anesone FC ini.”

“Ben Arkin. Panggil saja Beni,” jawabnya.

Mereka pun berkenalan, saling berjabat tangan dengan Beni. Dalam hatiku, terselip kebahagiaan dan keharuan. Mereka menyambutnya dengan baik. Begitupun sebaliknya, ia dengan senang hati bergabung dan cepat berbaur kepada mereka, kepada Anesone FC.

“Ben, besok Senin kita ada sparing. Masalah kostum, nanti kita bergantian saja. Kau bisa ikut, kan?” tanya Rian usai latihan.

“Saya usahakan, Yan,” jawab Beni.

***

Pertandingan Senin ini merupakan pertandingan yang berat, melawan PS Tugumulyo yang notabene berisikan pemain-pemain terseleksi se-kecamatan Tugumulyo dan merupakan salah satu tim unggulan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan, harus kami lalui. Namun, tekad bulat tertanam dalam hati akan menang pasca dua kekalahan beruntun, ditekuk tuan rumah PS Cecar 1-3 dan dihajar tim kakak kelas, Dupesa FC, 0-4.

“Apapun yang terjadi, kita harus bermain total sore ini. Lawan kita memang lebih berat daripada lawan-lawan kita sebelumnya. Tapi, kita yakin bisa menang dan berupaya sekuat tenaga memenangkan pertandingan ini. Hidup Anesone FC!” titah Rian, sang Kapten kesebelasan.

“Yo!!!” jawab kami serentak.

Kami pun masuk ke lapangan, menempati posisi kami masing-masing, membentuk formasi 1-4-4-1-1. Putra sebagai keeper, Frengky dan Novian sebagai tengah, Tara sebagai bek kanan, Wisnu sebagai bek kiri, aku sebagai gelandang bertahan, Zul sebagai gelandang serang, Randa sebagai sayap kanan, Robin sebagai sayap kiri, Beni sebagai second striker, dan Rian sebagai striker utama. Ini formasi baru yang kami terapkan. Sebelumnya kami menerapkan pola 3-4-2-1 dan 3-5-2, dan dengan kedua pola itu kami mengalami dua kekalahan telak beruntun.

Priitttt!!!! Peluit wasit menjerit keras, menandakan dimulainya babak pertama. Sontak Rian dan Ben melakukan kick-of babak pertama. Bola bergulir dari kaki pemain ke pemain yang lain. Teman-teman laki-laki dan perempuan kelasku, XI IPS 1, bersorak-sorak memberikan dukungan, membuat kami bergairah memenangkan pertandingan sulit ini. Apalagi teman-teman perempuan, begitu semangat berteriak memanggil-manggil, “Beni... Beni...!” Tak seperti sebelumnya, tatkala tak ada dukungan dari mereka, semangat kami terkesan hanya untuk bermain, bukan memenangkan pertandingan.

Kudapat bola dari Novian, langsung kuberikan bola ke Robin yang berlari di posisi kiri. Sedikit menunjukkan skill-nya, meliuk memainkan bola, ia berikan bola kepada Beni. Beni langsung memberi umpan terobosan kepada Rian yang sudah berlari ke arah gawang, tepat di kaki kanannya. Rian mengeksekusi bola, dan BAM!!! Bola melambung tinggi di atas mistar gawang PS Tugumulyo yang dijaga oleh Ahmad Sidiq.

Teman-teman yang menonton di pinggir jalan bersorak, sebagai pernyataan dukungan kepada kami. Kami bertambah semangat, ingin menang, ingin mengandaskan tim yang digadang-gadang sebagai tim unggulan di Kabupaten Musi Rawas, yang tak datang seorangpun pendukungnya. Kami lancarkan serangan kedua. Kali ini melalui kaki Frengky yang diumpan panjang ke depan, tepat disambut Zul. Zul memberikan operan pendek ke Beni. Dengan sedikit menari, Beni memberikan umpan ke tengah, tepat digaris kotak pinalti. Bola itu bergulir hanya lima meter di depanku. Sembari berlari kutendang bola dengan kaki kiriku, sekeras-kerasnya tanpa melihat gawang, dan...

GOOOOOL!!! Teman-teman penonton di pinggir lapangan bersorak sorai. Teman-teman pemain Anesone FC mendatangiku, memegang-megang kepalaku, terlebih Beni yang datang memelukku. Kulihat Putra yang berdiri di bawah mistar gawang jauh di sana memberi tepuk tangan dan acungan jempol kepadaku. Aku masih terdiam di tempat. Kuperhatikan bola yang baru saja kuhantam dengan kaki kiriku tadi, masih berada di sudut kanan gawang lawan. Tak kusangka, kaki kiriku menaklukkan keeper yang digadang-gadang diincar tim kebanggaan seluruh masyarakat Kabupaten Musi Rawas, Persimura. Kuingat benar dari mana asal gol yang baru saja kuciptakan. Bola itu datang lantaran umpan manis dari kaki kanan pemain baru, Beni. Kuacungkan jempol kepadanya. Ia mengangguk sembari tersenyum lepas, membalas acungan jempolku.

Harus kuakui, ia memang lihai memainkan bola. Tusukan-tusukan dan umpan-umpannya begitu mengancam gawang lawan, membuat pemain lawan melakukan marking ketat kepadanya, bahkan tak jarang lawan menghentikan pergerakannya dengan keras atau pelanggaran. Bola-bola mati juga menjadi ‘makanannya’. Akurasi dan kekuatan tendangannya tak diragukan lagi. Aku melihat sudah lima kali penjaga gawang lawan berjibaku menyelamatkan gawangnya dari tendangan bebas yang diambil Beni. Aku juga menyaksikan sudah tiga kali mistar gawang menyelamatkan gawang lawan, dari tendangan di luar kotak pinalti dan tendangan bebas, sekitar 30 meter dari gawang. Hadirnya Beni memang membawa perubahan drastis permainan kami, jauh berbeda dengan dua pertandingan sebelumnya. Serangan-serangan kami pada pertandingan ini terasa ada ‘greget’-nya.

Priiitttt.... priiitttt... priiitttt!!!! Peluit wasit kembali menjerit pertanda berakhirnya babak pertama, sementara skor masih 1-0 untuk keunggulan kami.

“Terima kasih, teman-teman. Setengah permainan tadi kita sangat hebat. Kita mampu menggempur mereka. Semoga kita semua bisa mempertahankan permainan kita dibabak kedua nanti, kalau bisa lebih hebat lagi,” terang Rian di sela-sela istirahat.

Kami mengangguk serentak. Kami pun sadar, keunggulan 1-0 bukanlah skor yang ‘aman’. Masih teringat jelas dalam benakku tatkala kami takluk dari PS Cecar 1-3. Saat itu kami membuka keunggulan melalui sepakan keras kaki kanan Rian yang menghujam di sudut kiri atas gawang lawan, tetapi keunggulan kami sia-sia tatkala mereka membalas dengan tiga gol, dua gol di babak pertama dan satu gol di babak kedua.

Priiiiitt!!! Peluit wasit kembali menjerit. Sesegera kami masuk ke lapangan, memasuki babak kedua. Ada dua pemain yang diganti, yaitu Robin digantikan oleh Andre dan Zul digantikan oleh Kohar. Semua telah siap, baik tim kami maupun tim lawan.

Priiiiitttt!!!! Peluit wasit kembali menjerit, pertanda babak kedua dimulai. Tim lawan, PS Tugumulyo, yang mengambil kick-off. Mereka langsung melakukan serangan bertubi-tubi, membuat barisan pertahanan kami harus berjibaku menyelamatkan bola, termasuk Putra yang sibuk mengamankan gawangnya agar tak kebobolan. Bola terus bergulir ke sana ke mari dengan cepat di kaki-kaki lawan. Kami pun ‘merapatkan barisan’ menahan gempuran yang kian lama kian hebat menghajar kami. Tuk! Sebuah kesalahan dari pemain lawan. Bola berada di kakiku. Beni yang berdiri di garis tengah berteriak meminta bola. Kutendang bola keras, jauh melambung, persis ke arah depan ia berlari. Ia berlari mengejar bola itu. Sangat cepat ia menyisir sisi kanan pertahanan lawan yang kosong, meninggalkan dua bek tengah yang tertinggal beberapa langkah dan berusaha mengejar di belakangnya, hingga berhadapan satu lawan satu dengan penjaga gawang. Dengan dingin ia menceploskan bola ke gawang melalui sela-sela kaki keeper lawan, diikuti sorakan gegap gempita dari teman-teman yang menonton di pinggir lapangan. GOOOOOLLLLL!!!!!

Kami berlari, berhamburan, mendatanginya, memberikan apresiasi atas golnya. Kujabat tangan kanannya. Ia tersenyum. “Ini hasil kerjasama kita, Win. Terima kasih atas umpannya,” katanya sembari membalas jabatan tangan kananku. Aku takjub. Ia hebat, ia juga rendah hati. Sungguh, keadaan yang luar biasa bagiku.

Keunggulan dua gol, 2-0, tak lantas membuat kami jumawa. Kami tetap berkonsentrasi penuh melihat pertandingan belum berakhir juga melihat lawan kami yang ‘bukan sembarang lawan’. Tim lawan memang tak kenal menyerah. Mereka terus menyerang, berupaya mencetak gol ke gawang kami. Namun, kami tetap siaga. Kami tak ingin kebobolan satu gol-pun. Selagi bertahan, sesekali kami melakukan serangan balik cepat.

Waktu terus berlalu, wasit cadangan memberi isyarat tambahan waktu, 4 menit. Waktu yang panjang bagi kami untuk mempertahankan keunggulan dan waktu yang pendek bagi mereka mengejar dua gol. Kami masih bersemangat bermain, hingga titik waktu penghabisan pertandingan ini.

Priiiitttt.... priiiitttt... priiiitttt!!! Jeritan peluit wasit menandakan usai pertandingan. Alhamdulillah, kami berhasil meraih kemenangan perdana kami. Kemenangan yang tak kusangka-sangka aku terlibat di dalamnya. Aku mencetak satu dari dua gol kemenangan. Kemenangan yang mengawali debut manis Beni dengan sumbangan satu gol dan satu assist.

“Alhamdulillah, teman-teman, akhirnya kita mampu memenangkan pertandingan yang berat hari ini. Saya sangat berterimakasih atas kerja sama kita yang semakin apik, khusus kepada Erwin dan Beni yang sudah menyumbangkan golnya. Semoga kita mampu mempertahankan permainan seperti tadi, atau kalau bisa kita tingkatkan permainan kita pada pertandingan-pertandingan selanjutnya,” ujar Rian senang.

“Ben, besok-besok kamu main lagi, ya. Kami dukung kamu selalu,” beberapa teman perempuan di kelasku merayu Beni.

“Kalau diizinkan main lagi, saya akan main,” kata Beni.

“Kami sangat senang atas keberadaanmu, Ben. Jadi, sebuah kehormatan bagi kami jika kamu hendak bermain lagi bersama kami,” jawab Rian.

Siswi-siswi kelas XI IPS 1 itu bersorak kegirangan. “Ah, dasar perempuan! Melihat yang melek sedikit saja sudah silau matanya!” gerutuku.

***

“Ben, siang ini tidak ada kegiatan, kan?” tanyaku selepas sekolah.

Ia menggeleng. Kujabat tangannya, kuajak ke mushala. Ia pun menuruti langkahku. Sesampai di mushala, tampak siswa dan siswi yang tergabung di Rohis duduk rapi, menunggu dimulainya acara dengan hikmat. Kuperhatikan gerak-gerik mata beberapa siswi tatkala Beni masuk mushala, tanpa berkedip mereka mengikuti ke mana ia melangkah, seakan-akan menghitung langkah demi langkah yang ditapakinya. Walaupun aku juga tahu ada beberapa siswi yang benar-benar menjaga pandangannya, melihat sekali dan sekilas lalu kembali menundukkan kepalanya, menundukkan pandangannya ke lantai keramik putih dalam mushala.

Acara kajian setiap Rabu siang, mulai pukul 14.00 – 16.00 WIB, dimulai. Kuperhatikan seluruh peserta yang seluruhnya siswa/siswi SMA Negeri Tugumulyo mengikuti jalannya acara dengan hikmad, tak terkecuali Beni yang tampak benar-benar serius, seakan-akan terlarut terhadap ucapan-ucapan Ustaz Diansyah.

***

“Win, ini ada sesuatu dari Beni. Katanya untukmu,” kata Rehan. “Kamu tadi kupanggil-panggil malah tidak mendengar.”

“Oh, iya, Han. Maaf, aku benar-benar tidak mendengarmu tadi,” jawabku.

“Iya, tidak apa-apa, Win. Yang penting aku sudah menyerahkan amanah ini kepadamu. Aku pulang dulu, ya. Assalamu’alaykum,” kata Rehan.

“Wa’alaykumussalam warohmatullohi wabarokatuh.”

Rehan berlari ke rumahnya yang hanya berselang dua rumah dari kanan rumahku, sementara aku masih terdiam di kursi santai di beranda depan rumahku. Kuamati sebuah amplop putih yang baru saja diberikan teman sekelasnya Beni tadi. Amplop ini masih bersih, tak ada segores tinta pun yang menghiasi. Aku penasaran, apa isi amplop ini. Kubuka amplop perlahan, ternyata sebuah kertas, sebuah kertas surat. “Beni ada-ada saja. Kan masih bisa SMS,” kataku dalam hati.

Tugumulyo, 24 November 2009

Untuk sahabatku, Erwin Apriansyah,

Mungkin kau bertanya-tanya mengapa kutulis surat ini untukmu, padahal aku bisa mengirimkan melalui SMS, menelepon, atau bertemu langsung. Namun, kupilih jalur tulisan surat ini untuk menyatakan siapa sesungguhnya diriku sebenarnya.

Mungkin kau juga tertawa membaca tulisanku. Ya, kau sudah mengenalku, sudah lama mengenalku. Akan tetapi, kau belum tahu siapa aku sebenarnya. Aku yang kau kenal ini anak pindahan dari Malaysia, bukan?

Aku sangat berterima kasih kepadamu sudah bersedia menjadi sahabatku. Oleh karena itu, aku ingin mengungkapkan sebuah kebenaran kepadamu.

Sebenarnya aku bukan berasal dari Malaysia. Statusku di Malaysia sama dengan saat ini, di Indonesia. Aku dan kedua orangtuaku berasal dari Haifa, Israel. Hanya saja, kami telah lama berdomisili di Negeri Jiran. Dan sebenarnya aku bukan seorang muslim. Aku seorang Yahudi. Kedua orangtuaku juga Yahudi. Tapi, kau jangan takut, aku bukanlah Yahudi yang seperti kalian lihat di tayangan-tayangan televisi. Kami Yahudi tulen, yang berpegang kepada Kitab Taurat yang dibawa oleh junjungan kami, Musa.

Sedikit cerita, munculnya kelompok gerakan Zionis telah mengobrak-abrik Israel, merusak tatanan masyarakat Yahudi yang hidup tenteram di sana. Mereka menerapkan ajaran baru Yahudi, yaitu kaum selain ras dan keturunan mereka adalah “najis”, setara dengan binatang, dan boleh dibunuh, termasuk keluarga kami. Mereka juga yang menerapkan ajaran penyembahan terhadap Mata Satu. Sudah banyak keluarga kami yang meregang nyawa karena kekejaman mereka. Bersyukur kepada-Nya, aku dan kedua orangtuaku selamat. Perjalanan panjang kami lalui dengan “kabur” dari Israel menuju Arab Saudi. Dengan bekal seadanya, kami berangkat ke timur dengan menumpangi kapal yang berlayar mengarungi Samudera Hindia. Sebulan lebih kami mengarungi samudera yang mahaluas itu, hingga sampailah kami di pesisir Selat Malaka. Seharian beristirahat di pesisir Selat Malaka, kami melanjutkan perjalanan ke Kualalumpur. Bersyukur, bermodal bahasa Inggris, kedua orangtuaku diterima sebagai salah satu keluarga di ibukota Malaysia itu. Kata kedua orangtuaku, saat itu aku masih berumur dua tahun.

Karena beberapa hal, kami pun mengurus surat pindah ke negara lain. Setelah didapat surat keterangan itu, kami berangkat ke Jakarta. Hanya beberapa hari di Jakarta, kami meneruskan perjalan ke Kota Palembang. Ada beberapa hal yang menyebabkan kami tak nyaman di sana. Akhirnya, tinggallah kami di Kota Lubuklinggau. Beberapa bulan yang lalu, kami pindah ke daerahmu, Desa F Trikoyo Kecamatan Tugumulyo.

Inilah aku yang sebenarnya. Aku sangat senang atas kesediaanmu menjadi sahabatku, menyertakanku sebagai salah satu pemain sepakbola di tim sepakbola kelas kalian, mengikuti kajian keagamaan rutin di mushala sekolah kita, dan masih banyak lagi.

Jujur saja, Win. Agamaku, Yahudi, juga mengajarkan yang demikian, selalu mengabdi/berserah diri kepada Allah, berbuat baik kepada sesama umat manusia, bersedekah, melakukan kajian-kajian, dan sebagainya. Hanya saja, cara kami berbeda. Tapi, aku sangat berharap kau masih menerimaku sebagai sahabatmu. Aku pun demikian, akan menerimamu sebagai sahabatku.

Dan jikalau boleh kuminta kepadamu, tolong jangan sampaikan hal ini kepada siapapun, biarlah aku, kedua orangtuaku, kamu, dan Allah yang tahu.

Terima kasih atas kesediaanmu membaca suratku ini.

Sahabatmu,

Jacob Benjamin Arkin (Beni)

Kututup surat itu rapat-rapat. Kini aku tahu siapa Beni sebenarnya. Ia seorang Yahudi, tapi Yahudi tulen. Apa itu Yahudi tulen? Apa bedanya dengan Yahudi-yahudi yang saat ini dengan bengis menghabisi nyawa-nyawa orang-orang Palestina? Dan bagaimanakah ajaran Yahudi yang berpegang kepada kitab Taurat itu? Pertanyaan-pertanyaan yang datang begitu saja, membuka memoriku, mengingatkanku pada buku kisah 25 Nabi dan Rasul yang lama terpajang indah di balik kaca lemari kamarku. Aku juga ingat, kitab taurat diturunkan kepada Nabi Musa as.

Aku bangkit, masuk kamar, mengambil buku kisah 25 Nabi dan Rasul itu. Kubuka lembaran-lembaran kertas yang bersatu padu menjadi buku tebal itu, hingga kuhentikan pada kisah Nabi Musa as. Kubaca cermat-cermat kisah itu. Setengah jam berlalu. Usai sudah perjuanganku meniti kehidupan Nabi Musa as. Aku tahu, Nabi Musa as adalah orang Israel. Beliau termasuk ke dalam suku bangsa Yahudi yang diturunkan Nabi Yakub as. Dan kitab Taurat adalah kitab yang diturunkan Allah melaluinya, untuk kaumnya, bangsa Yahudi. Ajaran yang diajarkannya juga sama dengan ajaran Nabi Muhammad saw, sama-sama mengesakan Allah Swt. Mungkin inilah yang dianut oleh Beni. Yahudi yang masih berpegang teguh kepada Kitab Taurat. Tak seperti saat ini, Yahudi yang mengagung-agungkan si Mata Satu dan senantiasa berbuat kerusakan. Nauzubillah.

Malam ini kucoba rebahkan tubuhku di atas ranjang. Aku ingin istirahat, melepas penat enam hari digempur mata pelajaran. Aku tak ingin menyentuh buku malam ini. Aku ingin berlibur, agar otakku kembali fresh tatkala kembali menghadapi gempuran-gempuran mata pelajaran Senin nanti. Namun, pikiranku belum sepenuhnya plong. Masih teringat olehku sepucuk surat dari Beni yang kubaca sore tadi. Ternyata Beni itu orang Yahudi.

Tiba-tiba HP-ku berdering, pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Dengan malas aku bangkit dari ranjang, mengambil HP-ku yang tergeletak di meja di sudut kamarku. Ternyata ada pesan dari Beni. Ia mengajakku bermain ke rumahnya esok hari. Aku berpikir sejenak, kemudian menyanggupi ajakannya, bertandang ke rumahnya. Hitung-hitung sebagai liburan, juga ingin mengenal keluarganya.

***

Aku terbangun dari tidurku tatkala ayam jantan merahku berkokok keras sekali, di kandangnya, di dalam ruang dapur. Dengan malas kubuka mataku. Kulihat jam di HP, pukul 03.01 WIB. Rintik-rintik hujan mulai terdengar. Cuaca menjadi dingin. Aku kembali berbaring. Kutarik selimut hingga menutupi kepalaku. Aku kembali terlelap.

“Win! Bangun!!! Ayam-ayammu sudah main sepakbola!”

Kubuka mataku. Kulihat kembali jam di HP-ku. Pukul 4.41 WIB. Aku segera berlari ke kamar mandi, mencuci muka, menggosok gigi, dan mengambil air wudhu. Sayup-sayup terdengar azan dari masjid. Aku pun berangkat ke masjid, salat Subuh berjamaah di sana.

Siang ini, sesuai perjanjian, aku akan bertandang ke rumah Beni. Selepas Zuhur ini, kukirim SMS kepadanya, aku masih di perjalanan menuju rumahnya. Beberapa saat kemudian, datanglah SMS balasan darinya, ia berada di rumah. Kukendarai sepeda motor Honda Revo hitam pemberian kedua orangtuaku setahun yang lalu dengan kecepatan sedang. Kunikmati perjalanan ini. Kulihat anak-anak seusiaku berlalu lalang bersama ‘pasangannya’ masing-masing. Teringat olehku tatkala tetangga menegurku, “Win, kau ini sebenarnya sudah besar atau belum? Masa sebesar ini tidak pacaran.” Aku paling benci dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tak jarang ejekan-ejekan itu kujawab, “Aku juga berpacaran seperti anak-anak kalian, berpacaran dengan masa depan, dengan si kulit bundar, bola.” Jawaban yang mampu membungkam mulut mereka. Sungguh tidak lucu!

Tak terasa aku telah sampai di lapangan sepakbola desa F Trikoyo, tempat bertanding kami beberapa waktu lalu, saat menghempaskan PS Tugumulyo. Kulihat kedua gawang lapangan itu. Kembali teringat olehku tatkala aku mencetak gol. Gol yang tak kusangka-sangka. Bayang-bayang kami bermain pun masih tergambar jelas di benakku. Namun, semuanya buyar. Aku ingat tujuanku datang ke sini. Aku bukan ingin mengenang kejayaan bermain di lapangan ini, tetapi ingin bertandang ke rumah Beni. Segera kukirim SMS kepadanya, menanyakan di mana posisi rumahnya, juga menyatakan bahwa posisiku sekarang di lapangan sepakbola. Tak lama kemudian datanglah SMS balasan darinya, mengatakan bahwa rumahnya berada persis di belakang gawang. Ada dua gawang. Kuperhatikan gawang pertama, tempatku menyarangkan bola pada pertandingan beberapa hari lalu, ia persis menghadap ke jalan raya. Kualihkan pandanganku ke gawang kedua, tempat Beni mencetak gol kedua, ada rumah. Mungkin itu. Aku pun beranjak ke sana. Ada seorang laki-laki seusiaku berlari mendekati gawang itu, dilambaikan tangannya ke arahku. Ah, itu dia Beni.

“Yah, Bu, ini Erwin, teman baruku, teman bermain sepakbolaku,” ujar Beni mengenalkanku kepada kedua orangtuanya. Mereka menyambutku dengan ramah, mengenalkan nama-namanya. Johans Bill Peterson dan Maria Fernandeva. Nama asing bagiku, bagi orang Indonesia. Di Malaysia pun, menurutku, kedua nama itu masih asing. Namun, keasingan mereka runtuh lantaran kemahiran mereka menggunakan bahasa Melayu, bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia.

“Mau minum apa, Nak Erwin?” tanya Ibu Deva, begitulah sapaan akrab ibu Beni.

“Jangan menolak, Win.” Beni berbisik.

Ibu Deva tertawa kecil. Beliau menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Air putih saja, Bu.” Jawabku.

“Kalian berdua ini memang kompak, ya.” Ibu Deva masih terkekeh sambil masuk ke dalam, mungkin ke dapur.

Tak lama kemudian, beliau kembali dengan tiga gelas air putih dan dua toples keripik pisang dan kurma. Menu yang tepat bagiku. Keripik pisang, kurma, dan segelas air putih. Begitu nikmatnya jika saat ini sedang di bangku kecil di bawah pohon yang rimbun dan ditiup angin sepoi-sepoi. Serasa di surga, walaupun aku belum pernah mencicipinya barang sedikitpun.

“Ayo, Nak Erwin, jangan dilihat saja. Kita makan seadanya,” ajak Pak Piter, begitulah sapaan akrab untuk ayah Beni. Beliau memulai meminum air putih di depannya dan mengambil beberapa keping keripik pisang dan sebutir kurma. Aku dan Beni pun mengikuti.

“Beginilah keadaan rumah Beni, Nak Erwin...” katanya di sela-sela makan, makanan ringan yang terhidang di depan mata. Beliau bercerita panjang lebar bagaimana silsilah kehidupannya. Aku berhati-hati mendengarnya. Kisah-kisahannya searah dengan kisah yang dituliskan Beni dalam suratnya. Aku sedikit terharu. Namun, aku merasa harus tetap berpegang kuat dengan agamaku, agama Islam. Aku tak ingin rasa haruku dan kekagumanku kepada mereka membuatku ‘tergelincir’ dan akhirnya mengikuti ajaran mereka, ajaran Yahudi, walaupun Yahudi mereka berbeda dengan Yahudi di Israel saat ini. Toh, agama Yahudi sudah tak diakui lagi sejak Nabi Muhammad saw diangkat oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul penutup, beliaulah penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya. Begitulah sedikit yang kuingat dari buku Kisah 25 Nabi dan Rasul yang terpajang indah di dalam lemari kamarku.

***

Aku berbaring di atas ranjang kamarku. Jam di HP-ku menunjukkan angka 22.14 WIB. Malam sudah larut, sementara mataku belum bisa kupejamkan, belum ingin berselimut hangatnya kelopak mata. Jiwaku belum ingin menemui mimpi indah yang menanti di alam tidur sana. Ingatanku masih kuat akan kejadian tadi, saat aku bertandang ke rumah Beni dan mendengar kisah-kisah yang diceritakan jujur apa adanya oleh kepala keluarga Yahudi itu. Aku tak ingin memedulikannya. Toh, mereka bukan siapa-siapaku. Namun, Beni sahabatku, bahkan mereka menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka.

Tiba-tiba HP-ku berdering. Ada pesan masuk, dari Beni.

“Win, aku ingin bicara denganmu besok.”

Seketika aku teringat, besok tim sepakbola kelasku, Anesone FC, ada agenda sparing melawan Silampari FC, tim sepakbola dari Kota Lubuklinggau, di Stadion Bumi Silampari, Kota Lubuklinggau. “Pasti dia akan membicarakan pertandingan itu di sekolah.” Sungguh, pertandingan yang tak kalah berat pasca kemenangan kami atas PS Tugumulyo beberapa hari lalu. Aku terus memejamkan mataku supaya aku tertidur. Dan akhirnya aku terlelap juga.

***

“Win, kurasa agamamu tak jauh beda dengan agamaku,” kata Beni sepulang sekolah.

Aku terdiam sejenak. Aku tak menyangka ia akan menanyakan hal itu, menanyakan perihal agama. Padahal sedari malam tadi aku menebak, ia akan menanyakan perihal pertandingan sepakbola sore ini.

“Iya, Ben. Agama kita sama-sama mengajarkan kita untuk mengesakan Allah dan senantiasa berbuat baik kepada sesama manusia, kepada binatang, dan segalanya yang berada di muka bumi. Bukankah seperti itu?” Aku berusaha menutupi kegugupanku.

“Benar sekali, Win. Oh, iya. Di agamamu mengenal Musa, kan?”

“Iya, Nabi Musa adalah salah satu utusan Allah untuk umatnya. Setahuku, ada 25 utusan Allah. Dan Nabi Musa adalah salah satu utusan yang istimewa. Jika kamu bersedia, aku punya buku kisah-kisahnya, termasuk kisah Nabi Musa.”

“Wah, bagus itu, Win. Kapan aku bisa meminjamnya?”

“Sore ini. Ya, sore ini, kita ambil sewaktu berangkat ke Stadion.”

Ia mengangguk. Kami pun beranjak pulang, pulang ke rumah. Istirahat sebentar dan kembali berangkat, berangkat bermain sepakbola.

***

“Win, ini bukumu. Terima kasih, ya. Oh iya, maaf, agak lama memulangkannya,” kata Beni, sepulang sekolah.

“Iya, tidak apa-apa, Ben.” Aku berusaha tak menyalahkan lamanya pemimjaman buku yang sampai sebulan itu. Bahkan, jika buku Kisah 25 Nabi dan Rasul itu tidak dipulangkan, tidak masalah. Bagiku, yang penting aku sudah memberikan pengetahuan Islam kepadanya. “Aku juga sudah membacanya, kok. Malah berkali-kali aku membacanya.”

“Iya, Win. Terima kasih banyak, ya. Ayo, kita pulang. Sepertinya motor kita sudah bisa keluar, tuh.” Ia menunjuk sepeda motorku.

Aku tersenyum. Lalu kuambil langkah menuju sepeda motor yang terparkir di bagian dalam parkiran sepeda motor sekolahku, beriring dengannya, yang memarkirkan sepeda motor tak jauh dari sepeda motorku.

Sampai di rumah, entah mengapa, aku ingin sekali membuka dan membaca kembali Kisah 25 Nabi dan Rasul yang baru saja dikembalikan Beni tadi di sekolah, padahal aku sudah menyelesaikannya berkali-kali. Aku pun mulai membuka buku itu, mulai dari kisah Nabi Adam as, membaca sekilas. Terus kuikuti alur-alur kisah dalam buku itu, hingga sampailah pada kisah Nabi Musa as. Ada yang janggal. Ada sesuatu terselip di antara lembaran-lembaran kertas putih berhiaskan tinta-tinta hitam itu. Segera kuambil benda itu, yang ternyata sepucuk surat, tanpa identitas. Diikuti rasa penasaran, tanpa ba-bi-bu, kubuka surat itu. Ternyata dari Beni.

F Trikoyo, 8 Februari 2010

Untuk sahabatku, Erwin Apriansyah,

Aku sangat berterima kasih kepadamu, yang telah bersedia meminjamkan kepadaku kisah-kisah manusia-manusia hebat, manusia-manusia pilihan Allah yang ditugaskan untuk menyerukan kepada ummatnya, termasuk kita, agar senantiasa menuhankan Allah semata, tak ada yang berhak disembah kecuali Dia. Aku tak tahu harus berkata apa kepadamu. Dan di saat kebingungan itulah, kutuliskan surat ini untukmu.

Sahabatku, aku sangat terenyuh dengan buku Kisah 25 Nabi dan Rasul yang kaupinjamkan kemarin. Aku lebih tersentuh karena kisah junjungan kami, orang Yahudi, juga termasuk di dalamnya. Bahkan, dengan jelas tertulis dalam ayat-ayat kitabmu, yang mengisahkan junjungan kami, Nabi Musa as. Kisahnya lebih terang dibanding dengan yang ada dalam buku-buku Yahudi.

Sahabatku, tanpa sepengetahuanku, ayah dan ibuku ternyata membaca buku itu. Mereka bertanya kepadaku, “Buku siapa ini?” Aku tak berani menjawabnya. Aku yakin, ayah dan ibuku akan memarahiku habis-habisan, karena aku sudah berani membaca buku yang jelas-jelas bukan buku ajaran Yahudi, justru buku ajaran Islam. Namun, kenyataan justru berbalik, sahabatku. “Ini buku yang bagus. Kisah Nabi kita sangat lengkap. Bahkan dalam ayat-ayat kitab sucinya sangat jelas. Jikalau boleh tahu, ini buku siapa, ya?” begitulah mereka bertanya lagi kepadaku. Aku, yang telah belasan tahun hidup bersama mereka, tahu kepribadian mereka. Mereka sangat menghargai buku itu. Bahkan, mereka sangat ingin buku itu jangan dikembalikan dulu. Itulah yang sebenarnya membuat buku itu lama menginap di rumahku. Tapi, kuharap kau tidak menyalahkan mereka.

Sahabatku, jujur, aku tertarik dengan agamamu. Aku ingin mengenal lebih jauh tentang agamamu. Dan kau, tak perlu takut akan hal itu. Aku memang Yahudi. Tapi, aku bukanlah Yahudi seperti yang terpampang, tersiarkan di televisi-televisi atas kekejamannya. Aku Yahudi, dan mereka bukan Yahudi. Mereka itu Zionis yang mengatasnamakan diri mereka Yahudi, yang mencoreng nama Yahudi.

Sahabatku, sekian dulu surat dariku. Semoga pengertianmu senantiasa kauberikan kepadaku, kepada sahabatmu. Dan semoga Allah selalu menyertai persahabatan kita, kemarin, hari ini, esok, lusa, dan selamanya.

Sahabatmu,

Jacob Benjamin Arkin (Beni)

Kututup surat itu. Kuhentikan membaca buku Kisah 25 Nabi dan Rasul. Allah memanggil keluar airmataku, ia mengalir begitu saja. Aku tersentuh. Kutatap langit-langit kamarku. Inikah hidayah-Mu, Ya Allah? Hidayah yang bisa Kau berikan kepada siapapun, kapanpun, dan di manapun. Tak peduli ia kaya, sederhana, atau miskin. Tak peduli laki-laki atau perempuan. Tak peduli tua atau muda. Wallahu a’lam. Kupejamkan mataku seerat-eratnya, hingga aku tertidur.

***

Bel tanda pulang berbunyi keras sekali, pertanda kegiatan belajar di sekolah hari ini telah usai. Para siswa dari setiap kelas berhamburan keluar. Aku pun bangkit, ingin langsung pulang ke rumah. Tampak olehku Beni menunggu di depan pintu kelasku. Siswi-siswi kelasku menggodanya. “Dasar perempuan, melihat barang kinclong sedikit saja, sudah silau mata mereka.” Gerutuku dalam hati.

“Win, pangeranku memanggilmu.” Rika, siswi yang mendapat julukan Bunga Kelas memanggilku.

Aku jijik dengan kata-katanya. Kata-kata yang seakan-akan Beni juga menyukainya. Walaupun begitu, aku tetap mendatanginya.

“Win, ada yang ingin kubicarakan denganmu, tapi tidak di sini.”

Aku mengangguk.

“Kita ke mushala saja, Win.”

Kami berjalan berdua, meninggalkan Rika yang uring-uringan karena kami pergi tanpa pamit. Aku tak peduli. Paling-paling besok ia akan menyemburku habis-habisan.

“Win, bolehkah aku minta tolong?” tanya Beni tatkala telah sampai di dalam mushala.

“Selagi aku bisa, maka akan kutolong,” jawabku mantap.

“Aku ingin mendengar bacaan ayat-ayat suci Alquran. Kau bisa membacakannya untukku?” tanyanya kemudian.

Aku mengangguk. Kuambil Alquran Mushaf Utsmani di dalam tasku. Aku mulai membaca surat al-Fatihah dilanjutkan surat al-Baqarah, meniru lantunan bacaan Syekh Misyari Rasyid al-Fasy, walaupun nada Melayuku tak bisa dihilangkan. Baru sampai ke ayat 7, ia sudah mendekapmu, menangis tersedu. Aku berhenti membaca. Kutatap langit-langit mushala kecil ini. Aku bergumam, “Ya Allah, inikah hidayah-Mu?” tanyaku dalam hati. Tak ada jawaban. Hanya isak tangis Beni yang terdengar.

“Win, Islam itu indah bukan?” tanyanya sembari melepaskan dekapannya, di sela-sela isak tangisnya. “Sebenarnya aku ingin betul masuk Islam. Bukan karena banyak orang Islam di sini. Bukan pula karena tidak ada seorangpun Yahudi di sini, kecuali keluarga kami. Tapi, aku ingin masuk Islam dengan sebenar-benarnya. Aku telah melihat Islam dengan segala keindahannya...”

Ia berhenti, kembali dengan tangisnya. Aku diam. Aku mengerti, ia belum menyelesaikan kalimat-kalimatnya.

“Buku Kisah 25 Nabi dan Rasul itu sangat benar. Bahkan kata-kata Al Masih kepada nenek moyang kami, Bani Israel, tentang datangnya Nabi setelahnya, dan nabi itu membawa risalah ajaran penyempurna agama-agama sebelumnya, seperti yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil ada di situ. Dan dalam buku yang kaupinjamkan kepadaku kemarin, terjawab sudah semuanya. Aku tahu, itu bukan asal jawaban. Jawaban itu ada dalam penggalan-penggalan ayat-ayat Alquran di situ. Bukankah kitab-kitab itu suci dan benar?”

Aku mengangguk.

“Kalau semua itu benar, maka saksikanlah, Erwin, sahabatku. Asyhadu alla ilaaha illalloh, wa asyhadu anna Muhammadar rosululloh...”

Aku tersentak. Benarkah ini? Mimpikah aku? Kutampar pipiku. Sakit.

“Tak perlu menyakiti badanmu, Win. Ini bukan mimpi.” Ia menundukkan kepalanya.

Kutatap ia lekat-lekat. Airmatanya kembali membasahi pipinya. Tak terasa airmataku pun keluar. Aku benar-benar larut dalam haru biru. Sahabatku, sahabat Yahudiku, telah masuk Islam. Ahlan wa syahlan, ya shohibi.

***

Aku terbangun tatkala HP-ku berdering keras sekali, persis di sebelah telinga kananku. Ada panggilan masuk, dari Beni. Dengan sedikit malas kujawab panggilan itu.

“Assalamu’alaykum. Win, jangan lupa salat Tahajjud, ya.”

Aku takjub. Baru dua bulan lalu ia menyatakan diri masuk Islam, baru dua bulan lalu pula keluarganya juga masuk Islam, perubahan drastis sudah melekat di dirinya. Kutahu ia rajin salat lima waktu berjamaah di masjid atau mushala. Dan sekarang, ia mengajakku salat malam, salat Tahajjud. Sungguh, perubahan yang sangat cepat. Semoga ia tetap istiqomah dalam menjalani kehidupan Islam. Semoga saja.

***

Aku tak menyangka, seluruh siswa kelas XII dinyatakan “lulus” Ujian Nasional (UN) dan Ujian Akhir Sekolah (UAS). Perubahan yang drastis. Sangat berbeda dengan tahun lalu yang hanya 87% siswa yang dinyatakan lulus. Saat itu SMA Negeri Tugumulyo mencatatkan rekor SMA dengan kelulusan terendah di wilayah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Kakak tingkat sudah angkat kaki. Maka giliran kami berjuang, menghadapi ujian kenaikan kelas. Dengan segala persiapan, mengulang seluruh materi pelajaran yang telah disajikan guru selama dua semester, aku mantap menghadapi ujian kali ini. Aku bertekad tak akan mengulangi sejarah buruk semester lalu, mendapat peringkat ke-17 dari 37 siswa. Itulah catatan terburuk sementaraku selama menjalani jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga saat ini, SMA. Namun, tak lagi terdengar kabar Beni. Nomor HP-nya pun sudah tidak aktif lagi. Kemana ia?

Senin ini aku datang pagi-pagi. Pukul 6.30 aku sudah berada di sekolah. Hari ini ujian pertamaku, Bahasa Indonesia dan Geografi. Dua mata pelajaran yang sebenarnya tak menjadi beban berarti bagiku. Dua mata pelajaran yang kusukai sejak kelas 1 SMP. Kedatanganku sepagi ini bukan untuk mencari ruang ujian atau belajar SKS (Sistem Kebut Sejam), seperti yang dilakukan teman-teman sekelas. Akan tetapi, aku ingin mencari Beni, mencari di ruang mana ia ujian.

Kucari di ruang mana kelas XI IPA 1 menjalani ujian, mulai dari ruang 1, ruang 2, dan seterusnya. Aku terus mencari hingga sampai di depan ruang 7, tempat kelas XI IPA 1 ujian. Kulihat daftar nama-nama peserta ujian di situ. Tak ada nama Beni. Istiqomah Az-Zahra, nama terakhir di daftar itu. Aku pun beranjak ke ruang selanjutnya, ruang 8. Benar saja, ada nama Jacob Benjamin Arkin, nama lengkap Beni, terpampang paling atas di situ.

“Sudah seminggu yang lalu Beni tak tampak lagi, Win. Aku pun tidak tahu ia pergi ke mana. Kami, teman-teman sekelas tidak ada yang tahu keberadaannya. Kami telah mendatangi rumahnya, tapi sia-sia. Rumah itu kosong. Padahal ujian ini sangat penting. Sangat sayang kalau ia tidak mengikuti ujian.” Terang Rehan. “Oh, iya, Win. Ia menitipkan ini untukmu. Siapa tahu ada kabar darinya lewat sepucuk surat ini. Sebenarnya seminggu yang lalu surat ini sudah berada di tanganku dan selama seminggu itu pula aku ingin membukanya, tapi aku tidak berani, karena itu bukan untukku.”

Kubaringkan badanku di atas kursi di ruang tamu rumahku. Aku ingin istirahat, mengistirahatkan pikiran yang selama empat jam menjawab 80 soal mata pelajaran yang diunjikan tadi, Bahasa Indonesia dan Geografi. Walaupun tak mengalami kesulitan yang berarti, aku harus istirahat, karena esok hari aku akan menghadapi ujian Ekonomi dan Matematika, dua mata pelajaran yang agak lebih berat bagiku, dibandingkan hari ini. Aku bangkit, mengeluarkan isi tas, meruncingi pensil 2B yang sudah terkikis matanya untuk mengisi Lembar Jawaban Komputer (LJK) yang disediakan pada dua mata pelajaran yang diujikan tadi. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Di dalam tasku ada sepucuk surat Beni yang diberikan Rehan tadi. Aku segera mengambil dan membukanya.

Tel Aviv, 31 Mei 2010

Untuk sahabatku, Erwin Apriansyah,

Maaf, aku pergi tanpa memberitahumu lebih dahulu. Kedua orangtuaku mendadak mengajakku angkat kaki dari negaramu.

Sahabatku, aku pergi bukan karena aku membencimu, bukan karena kita lain suku, atau bahkan bukan karena kamu Islam tulen dan aku Mu’alaf. Aku memang harus pergi. Memang atas dasar keinginan orangtuaku, tapi keinginan mereka bukan tanpa alasan.

Sahabatku, kau tentu ingat ceritaku tentang pembersihan (pembantaian) kaum Zionis terhadap orang-orang yang tidak termasuk golongannya, termasuk keluarga kami, keluarga Yahudi, yang berpegang kepada Kitab Taurat.

Memang benar, manusia tak sempurna. Hasil ciptaan atau karya manusia itu tak pernah sempurna, termasuk Aksi Pembersihan itu, yang jelas tak bersih. Alhamdulillah, masih tersisa keluarga ibuku di sana, di Kota Yerussalem, yang sekarang masih diperebutkan Israel dan Palestina. Oleh karena itu, aku, sekaligus mewakili kedua orangtuaku, mohon pamit kembali ke Israel hari ini juga.

Sahabatku, aku juga mohon kemakluman darimu, nomor HP-ku sengaja kunonaktifkan. Tapi, aku masih hafal betul nomormu. Aku juga sudah meminta kepada Rehan alamat lengkap rumahmu. Jadi, aku bisa mengirimkan surat-surat yang berisikan kabar penting untukmu nanti.

Sahabatku, Allah telah mempertemukan kita. Allah telah memasukkanku dan kedua orangtuaku ke dalam Islam, agama yang paling mulia di sisi-Nya, sesuai dengan pernyataan dalam Alquran. Allah juga yang memisahkan kita. Itu semua adalah rencana Allah yang kita tak pernah tahu sebelum terjadi.

Sahabatku, aku sangat ingin kembali ke Indonesia. Belajar di sekolah, bermain sepakbola, berkumpul bersama teman-teman, mendatangi majelis-majelis ilmu keislaman, dan banyak lagi. Aku hanya berharap, semoga kita bisa bertemu lagi nanti. Jikalau tidak, semoga Allah mempertemukan kita di surga-Nya. Aamiiiin.

Sahabatku, sekian dulu surat dariku, ya? InsyaAllah akan datang kabar-kabar selanjutnya. Dan semoga aku bisa kembali ke Indonesia lagi. Nanti, jika aku diberi kesempatan Allah untuk kembali bersua denganmu, akan kubawakan sedikit oleh-oleh, yaitu Kuil Mini Tel Aviv.

Sahabatmu,

Jacob Benjamin Arkin (Beni)

Kuletakkan surat itu di atas meja. Kuambil kembali, kuletakkan di dadaku, sembari aku berbaring. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Tak mungkin aku mengejarnya. Indonesia dan Israel teramat jauhnya. Aku merasakan sebagai sosok kecil yang hidup di tengah dunia yang luas, tak mungkin kurangkul segala yang ada di dunia ini. Kutatap lekat-lekat langit-langit dalam ruang tamu ini. Di sana seolah tergambar wajahnya, tangan yang melambaikan tangan pertanda perpisahan, dan entah kapan ia kembali ke Indonesia.

Aku bangkit, berjalan menuju rak buku yang berdiri ramping persis di samping meja kamarku. Kuambil Atlas Dunia. Kubuka lembar demi lembarnya, hingga sampailah pada Peta Benua Asia. Kuperhatikan saksama gores demi gores halaman itu, halaman yang penuh miniatur wilayah Benua Asia, benua terbesar di dunia. Paling bawah kanan, ada daratan-daratan terpisah. Itu tanah airku, Indonesia. Kutatap setiap detail gambar itu ke arah kiri, hingga sampailah di ujung kiri tengah. Ada tulisan “Israel” di sana. Ternyata di situlah letak negara Israel, tanah airnya. Aku sadar, betapa jauhnya posisiku dengannya saat ini. Beberapa negara besar harus kulalui jika aku ingin benar-benar menemuinya sekarang. Aku kembali berbaring. Kuletakkan buku itu di mukaku, hingga aku terlelap.

***

Tak kusangka statusku sebagai pelajar di sekolah ini berakhir. Aku bukan lagi siswa SMA Negeri Tugumulyo tatkala dinyatakan Lulus usai menghadapi UN dan UAS tiga hari yang lalu. Aku berdiri di bawah tiang bendera, tepat di lapangan upacara bagian depan, menatap seisi sekolah. Semuanya tinggal cerita. Cerita suka, duka, tangis, canda, dan tawa, bersama teman-teman. Tapi, dimanakah mereka?

Aku berjalan santai. Matahari berada di barat sana, hendak bersembunyi di balik barisan perbukitan di wilayah Kota Lubuklinggau, dua ratus meter ke barat dari rumahku. Pandanganku menyapu seluruh area sekolah. Kulihat dua buah gawang futsal masih terpajang indah di sana, mengingatkanku pada jejak-jejak itu, jejak-jejak saat aku dan teman-teman bermain futsal bersama, tak jarang diiringi canda dan tawa. Dan Beni, dimanakah ia sekarang? Sudah satu setengah tahun tak bertemu, bagaimana kabarnya? Adakah ia masih di Israel? Ataukah sudah berpindah ke negara lain? Entah ke mana.

“Erwin, kan?” tiba-tiba telah berdiri seorang laki-laki paruh baya di belakangku. Segera aku berbalik arah, menatapnya. Kujabat tangannya. Ia Pak Amir, guru olahraga SMP-ku.

“Benar, Pak. Saya Erwin. Apa kabar, Pak?”

“Alhamdulillah, kabar baik. Bagaimana kabarmu, Nak Erwin? Sudah lama tak bertemu. Sekarang kau sudah dewasa. Bapak ingat kau dulu sangat nakal, hobi mengganggu teman-teman yang sedang olahraga,” Pak Amir tertawa.

Aku hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum malu kepadanya. “Alhamdulillah, saya baik-baik saja, Pak.”

“Begini, Nak Erwin. Bapak kemarin mendapat titipan dari seseorang, katanya untuk Nak Erwin.” Ia mengambil sesuatu dari dalam mobil Avanza putihnya. “Katanya ini hadiah untuk Nak Erwin.”

Aku menerima bingkisan itu, kado berbentuk kubus sebesar laptop. Ada tulisan di sudut kado itu. Tampaknya itulah identitas pengirimnya, tapi tak kuperhatikan tulisan itu. Aku lebih tertarik pada gambar bendera berbentuk persegi panjang persis di tengah-tengah bungkus kado itu, bendera Israel. “Ini pasti dari Beni,” kataku dalam hati.

Aku penasaran. Kubuka kado itu beberapa saat berada di rumah. Sebuah benda aneh. Apa ini? Sebuah benda berbentuk piramida, tapi bukan piramida. Ini lebih tepat seperti candi, tapi bukan candi. Kuperhatikan benda itu. Ada sepucuk surat di bawahnya. Aku lega. Ia mengirimiku surat, berarti ia tidak pernah melupakan aku, masih menganggapku sebagai sahabatnya. Kuambil dan kubuka sepucuk surat itu.

Tel Aviv, 28 April 2011

Assalamualaikum Wr Wb.

Bagaimana kabarnya, Nak Erwin? Semoga baik-baik saja, ya? Oh, iya, sekarang Nak Erwin melanjutkan sekolah dimana? Di manapun Nak Erwin bersekolah, yang penting Nak Erwin sungguh-sungguh sehingga mampu menggapai apa yang Nak Erwin cita-citakan. Aamiiiin.

Mungkin Nak Erwin terkejut, karena datang surat tiba-tiba beserta bingkisan miniatur Kuil Yahudi Kuno yang saya kirimkan. Itu adalah pesan anak kami, Beni, yang harus diberikan kepada Nak Erwin. Semoga dengan senang hati Nak Erwin menerimanya. Anggap saja itu kenang-kenangan terakhir dari anak kami, Beni. Nak Erwin pasti bertanya-tanya, mengapa kenang-kenangan terakhir?

Nak Erwin, takdir Allah tidak ada yang tahu. Yang jelas Allah tidak akan pernah mengingkari takdir yang telah ditetapkannya. Nak Erwin pasti tahu, Allah adalah Zat Yang Maha Menepati Janji. Dan ketika Allahtelah menepati janji-janji-Nya, tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya atau mengundurkan dan memajukan barang sedetikpun.

Nak Erwin, ternyata Allah telah menepati salah satu janji-Nya, yaitu memanggil anak kami. Ia telah pergi menghadap-Nya. Kami sedih, tapi kami juga bahagia. Kami sedih karena kehilangan anak kami satu-satunya, yang akan meneruskan perjuangan kami nanti. Namun, ada kebahagiaan di hati kami. Menjelang kematiannya, Beni berpesan kepada kami supaya menjalankan agama Islam dengan sebenar-benarnya, menjalankan syariat Islam secara totalitas. Dan yang paling membahagiakan kami, ia mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian menutup mata. Wajahnya tersenyum ikhlas menghadap-Nya walaupun dadanya berdarah lantaran peluru militer Israel yang masih bersemayam. Beni juga menitipkan salam untukmu, supaya Nak Erwin tetap istiqomah menjalani syariat Islam secara total, tidak setengah-setengah.

Nak Erwin, jangan bersedih hati atas kematian anak kami. InsyaAllah anak kami sudah bahagia menghadap-Nya. Kami sangat mengharapkan Nak Erwin tetap menjalin silaturrahim dengan kami, karena kami akan segera pindah ke Indonesia lagi, pindah ke tempat kami semula, insyaAllah tahun depan. Kami sudah menganggap Nak Erwin sebagai saudara sendiri. Dan kami sangat berharap, Nak Erwin selalu mendoakan anak kami, semoga Allah semakin menyayanginya.

Nak Erwin, demikian surat yang bisa kami kirimkan untuk Nak Erwin. Semoga Nak Erwin benar-benar tetap istiqomah seperti yang disampaikan anak kami.

Wassalamu’alaykum Wr Wb.

Orangtua Beni,

Johans Bill Peterson dan Maria Fernandeva

Aku berbaring di lantai, tak beralas. Kuletakkan surat di dada. Kutatap lamat-lamat langit-langit ruang tamu. Tak terasa airmataku mengalir begitu saja, laksana air sungai yang mengalir turun dari sumber mata air di puncak pegunungan, tak berhenti hingga ke bawah, ke hilir. Beni telah pergi, pergi selamanya. Pergi dari dunia yang fana, menuju alam baka. Namun, hatiku protes, mengapa harus melalui peluru yang menembus dadanya? Siapa yang sangat kejam menghabisi nyawanya? Semudah itukah militer Israel menghabisi nyawa manusia? Ah! Semuanya telah terjadi. Allah telah menentukan semuanya. Dan jalan itu, peluru yang menembus dadanya, jalan yang telah Allah tentukan untuknya, untuk memanggilnya. Wallahu a’lam.

***

Tak kusangka, aku diterima sebagai salah seorang tenaga pengajar di sekolahku, sekolah penuh kenangan bagiku, sekolah penuh cerita, sekolah penuh warna dalam hidupku, SMA Negeri Tugumulyo.

Aku duduk di kursi santai di depan Kantor Guru tatkala kegiatan belajar di sekolah hari ini telah usai, semua guru dan siswa sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Kulihat seisi kelas. Teringat kenangan-kenangan masa lalu, tatkala aku menjadi siswa di sekolah ini. Masih terlukis jelas cerita-cerita masa lalu itu. Namun, kemana teman-temanku dulu? Ah, entahlah! Pandanganku menyapu seisi sekolah. Lamat-lamat kulihat sepasang laki-laki dan perempuan dewasa berjalan beriring. Perlahan tapi pasti mereka menuju ke arahku. Laki-laki itu berbaju koko dengan kopiah melekat di kepalanya, sedangkan perempuan mengenakan jilbab lebar. Ia mengingatkanku ketika menjadi aktivis saat mahasiswa S1 dulu. Aku sering menjumpai perempuan-perempuan berjilbab panjang dan lebar seperti itu. Juga pakaiannya yang sangat menutup aurat. Pakaian yang islami.

Semakin dekat semakin jelas. Tahulah aku jika mereka bukan orang Indonesia. Postur tubuh, warna kulit, dan bentuk wajah mereka jelas bukan orang Melayu. Mereka lebih mirip orang-orang Arab. Sesampai di dekatku mereka berhenti, berdiri persis di depanku. Aku tak berani menatap. Kutundukkan kepalaku laksana menghitung kerikil yang berserakan di bawah telapak kakiku.

“Assalamu’alaykum. Nak Erwin, kan?” sapa laki-laki bertubuh tegap itu.

Aku tersentak. Mereka mengenalku. Mereka juga menggunakan bahasa Indonesia.

“Wa’alaykumussalam Warohmatulloh. Iya, saya Erwin.” Aku menatap mereka perlahan, ragu-ragu.

Mereka melayangkan senyum kepadaku. Senyum tulus dari dalam hati, yang menebarkan keteduhan dalam hatiku. Kuperhatikan wajah mereka. Aku seperti pernah mengenal mereka. Tapi siapa, dimana, dan kapan aku mengenalnya?

“Nak Erwin masih mengenal kami, bukan? Kami ayah dan ibunya almarhum Beni, sahabatmu dulu.” Laki-laki itu menjabat tanganku, tersenyum menatapku. “Israel sekarang makin panas. Pasukan militer Zionis itu makin menggila. Oleh karena itu, dengan bekal seadanya, kami putuskan untuk tinggal selamanya di Indonesia. Kami harap Nak Erwin jangan sungkan-sungkan datang ke rumah.” Laki-laki itu memberikan selembar kertas berisikan alamat lengkap rumah mereka sekarang. “Maaf, Nak Erwin, kami baru bisa memberi kabar ini sekarang.”

Mataku mengamati detail alamat rumah itu. Aku tahu alamat yang tak jauh dari SMA ini.

“Oh, iya, Nak Erwin. Kami jalan dulu. Ada sesuatu hal yang perlu diurus. Kalau akan datang ke rumah, hubungi saja dulu nomor HP yang ada di situ. Nanti takutnya, ketika Nak Erwin datang ke rumah, kami sedang tidak ada di rumah.” Dia melanjutkan perkataannya sambil tersenyum kepadaku. “Assalamu’alaykum.”

Mereka berlalu, meninggalkan secarik kertas dan keindahan. Mereka tampak telah benar-benar Islam. Tak seperti orang-orang Islam kebanyakan di Indonesia yang hanya menyandang Islam dalam KTP-nya, sebagai pelengkap biodata diri. Tapi mereka, pakaian mereka, sangat islami. Sangat kental Islam-nya. Subhanalloh, itulah hidayah, yang bisa diberi Allah kepada siapa saja, termasuk kepada sepasang suami istri eks Yahudi itu.

Aku bangkit, berjalan ke luar sekolah ini. Aku pulang ke rumah.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun