Satu semester berlalu, kujalani kehidupan dunia baruku, dunia kampus, dunia mahasiswa, dunia yang penuh tantangan demi menggapai masa depanku. Dan aku bangga selama itu setidaknya telah kugapai dua prestasi organisasi, yaitu lulus Latihan Manajemen Dakwah Kampus tingkat 1 (LMDK-1) dan Daurah Marhalah 1 (DM-1). LMDK-1 bisa diartikan sebagai ujian/tes atau pintu gerbang yang harus kulalui untuk masuk secara resmi di Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Studi Islam (UKM Fosi), yaitu organisasi Islam yang mewadahi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu (FKIP Unib). Sedangkan DM-1 bisa diartikan sebagai tes atau pintu gerbang yang harus kulalui untuk masuk di organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Ababil. Ababil adalah nama yang disandang KAMMI khusus untuk mahasiswa se-FKIP dan Pendidikan Dokter Universitas Bengkulu. Beda dari keduanya yaitu, jika UKM Fosi merupakan organisasi Islam di dalam kampus, sedangkan KAMMI merupakan organisasi Islam di luar kampus. Inilah langkah awal bagiku untuk “balas dendam” dengan organisasi, karena ketika SMA tak satupun organisasi kuikuti. Bahkan, saat itu aku membenci Kerohanian Islam (Rohis), organisasi Islam di sekolahku, SMA Negeri Tugumulyo. Aku tak membenci organisasinya, tetapi aku membenci orang-orangnya yang kuanggap “sok suci”.
Masuk ke semester ke-2 ini aku mulai terlibat dalam berbagai kegiatan di kedua organisasi Islam itu. Mulai dari Kajian al-Ma’tsurat setiap dua minggu sekali, hari Kamis, dilanjutkan dengan Ifthor (Buka Bersama) di Masjid Darul Ulum; bermain futsal di Sinar Futsal – salah satu nama tempat bermain futsal – ; mengikuti Tarbiyah; dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang membuatku merasa waktuku tak terbuang begitu saja. Sungguh jauh berbeda ketika aku SMA. Saat SMA aku terlampau sering membuang-buang waktuku dengan kegiatan yang tak bermanfaat, seperti menonton televisi, tidur, bermain Play Station (PS), bermain kartu (Remi), dan kegiatan-kegiatan lain yang tak berguna bagiku, tak membawa perubahan sedikitpun nasib kehidupanku. Sungguh, kehidupan monoton, berlalu begitu saja laksana air yang mengalir sungai.
Waktu pun terus bergulir. Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan, hingga datanglah waktu pergantian pengurus UKM Fosi dan KAMMI Ababil. Di kepengurusan baru 2012/2013 ini aku merangkap jabatan, yaitu sebagai koordinator bidang Divisi Pembinaan Wilayah (DPW) – bidang yang menaungi kegiatan tali persaudaraan antara mahasiswa FKIP di kampus induk Unib dan mahasiswa di FKIP Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), yang keduanya terpisah jauh letaknya – di UKM Fosi dan koordinator bidang Kaderisasi – bidang yang menangani masalah perektrutan, pendidikan, dan penjagaan pengurus – di KAMMI. Sebagai koordinator, aku bersama para anggota bidangku mulai merancang program kerja (Proker) yang akan kami laksanakan dalam satu periode kepengurusan ke depan.
Aku mulai menjalankan proker perdana, yaitu Wood Creation di kampus PGSD di KM 6.5, Kota Bengkulu. Di sinilah aku mulai mengenal anggota-anggota bidangku, DPW, yang seangkatan denganku dan kakak tingkatku, tak terkecuali Zahra, mahasiswa PGSD seangkatanku. Aku juga mulai mengenal Islamic Learning Forum (ILF), sebuah organisasi Islam di kampus PGSD, yang diketuai oleh Edris, mahasiswa PGSD semester 5. Proker perdanaku ini begitu menarik perhatian lantaran cukup menyenangkan, yaitu membuat tulisan-tulisan di sebuah plat kemudian ditempel di pohon-pohon yang ada di sekitar halaman kampus PGSD, yang berisikan kata-kata bijak disertai kata “ILF dan DPW UKM Fosi”.
Aku melihat Zahra layaknya sosok akhwat (sebutan aktivis perempuan di organisasi Islam) lainnya, berjilbab panjang dan lebar. Hanya saja, tatapan matanya, tajam, menjadi ciri khasnya tersendiri. Tatapan mata khas ujung utara Sumatera, tanah Serambi Makkah. Di KAMMI pun aku memulai proker besarku, Daurah Marhalah 1 (DM-1). Alhamdulillah, di semester 3 ini aku menjadi ketua panitia di acara yang cukup besar itu. Sebuah acara yang tak hanya diikuti peserta dari mahasiswa FKIP saja, melainkan di luar FKIP, seperti Fakultas Pertanian, Teknik, dan sebagainya. Bahkan ada juga peserta dari luar Unib. Di acara sebesar ini, ketika duduk di meja pendaftaran peserta ikhwan (laki-laki), sempat kulihat Zahra sedang berbincang-bincang dengan beberapa panitia akhwat lain di meja pendaftaran peserta akhwat yang kebetulan tak berjauhan letaknya. Mereka tampak akrab. Sesekali dia menatapku dengan tatapan mata tajam, tatapan mata khasnya.
Aku takjub. Aku tak takjub dengan rupanya, tetapi aku takjub dengan semangatnya. Semangat seorang akhwat sepenuh hati menjalani organisasi Islam, tak seperti aku yang baru “belajar menjalankan” roda kehidupan berorganisasi Islam. Ternyata dia sama sepertiku, aktif juga di KAMMI.
***
Waktu terus berjalan. Beberapa bulan berlalu tanpa kabar tentangnya. Di kegiatan-kegiatan UKM Fosi atau KAMMI ia tak nampak lagi. Mungkin dia sibuk dengan kegiatan kuliahnya. Mungkin saja.
Di semester 4 ini aku sendiri merasakan betapa beratnya perjalanan di bangku perkuliahan. Tugas-tugas dosen mulai “aneh-aneh”.
Di organisasi pun demikian. Seabrek acara pun menghampiri tatapan mataku, mulai dari acara kecil, sedang, hingga acara besar. FKIP-Expo adalah acara yang cukup besar di semester genap ini. Acara perlombaan yang melibatkan seluruh organisasi dan program studi di FKIP ini aku diamanahkan sebagai penanggung jawab (PJ) stand UKM Fosi – salah satu mata lomba FKIP-Expo yaitu lomba stand UKM terbaik –. Aku dengan bantuan teman-teman UKM Fosi terus berjuang agar kemenangan lomba ini berada di tangan kami. Mulai tidak tidur semalam demi menjaga stand sampai mengeluarkan dana yang cukup besar demi suksesnya stand kami.
***
Hari kedua FKIP-Expo. Semalam aku sengaja tidur duluan karena harus datang kuliah usai salat Jumat nanti. Pukul 6.00 WIB, aku sudah membersihkan dan merapikan stand yang digunakan tidur semalam. Segera ku-SMS teman-teman agar bisa gantian menjaga stand dengan dalih akan mandi. Beberapa saat kemudian datanglah Jabbar, ketua umum baru UKM Fosi periode 2013/2014.
Kusambut kedatangannya dengan suka cita, penuh “kemerdekaan”. Ia pun tampak datang dengan hati senang. Namun, ia menyuruhku menjadi MC pada lomba Tilawatil Quran. Sebagai salah satu pengurus UKM Fosi, aku pun menuruti titahnya.
Pukul 8.00 WIB, kumulai acara lomba ini. Aku merasakan sebuah “kekuasaan”, semuanya seakan berada di bawah kendaliku. Mulailah kupanggil satu per satu peserta dengan berseling-seling, laki-laki dilanjutkan, laki-laki lagi dilanjutkan perempuan lagi, dan seterusnya.
Aku melihat seisi ruangan. Kupandang wajah semua peserta, wajah-wajah penuh ketegangan. Wajah-wajah penuh harap akan meraih sebuah kemenangan. Dan pandanganku terhenti di bangku sudut kiri belakang ruangan ini. Tatapan mata itu, aku mengenalnya. Tatapan mata tajam itu tatapan mata Zahra, pengurus UKM Fosi yang lama menghilang bak ditelan bumi. Kupandang tegas wajah itu. Senyum ragu mengembang di bibirnya. Aku gugup. Namun, aku tak ingin kehilangan wibawaku sebagai pemandu acara ini.
Kupanggil satu persatu perserta lomba, hingga sampailah ke nama Zahra. Dari catatan kecilku aku tahu dia mewakili UKM Fosi. Aku senang. Ternyata ia masih berada dalam “barisan”. Mungkin aku terlalu berburuk sangka dia telah kabur dari Fosi. Sembari berjalan ke kursi panas pertunjukan Tilawah Alquran, sempat dilayangkannya senyuman kepadaku. Senyum tipis ikhlas. Kubalas dengan sebuah senyum keraguan. Senyum tertahan demi menjaga kewibawaanku sebagai pemandu acara ini. Di atas panggung ia kembali melayangkan senyum ikhlasnya dan lagi-lagi kubalas dengan senyum tertahan. Aku tahu tiga orang juri memperhatikan tingkahku kali ini. Aku pun menunduk.
Ia mulai melantunkan bacaan Alquran. Suara yang indah, sangat merdu, menggema hingga di setiap sudut ruangan ini. Aku terhanyut. Kembali terbayang masa laluku ketika aku kabur dari kegiatan belajar Tilawah Alquran dengan ustaz Yusuf di kampungku. Aku sangat menyesal berhenti belajar di tengah jalan. Waktu itu aku tak tertarik menjadi seorang Qari’.
Mata lomba Tilawah Alquran telah usai. Aku telah mendapatkan nama-nama pemenang dari para juri – tiga orang juri telah memutuskan masing-masing laki-laki dan perempuan masing-masing diambil tiga orang pemenang – lomba ini. Kulihat nama Zahra terpampang di posisi juara 1. Aku maklum. Suara nan indah itu memang pantas menyandang predikat juara. Kutatapi tulisan nama itu sembari duduk di sebuah bangku di depan stand UKM Fosi. Nama yang cukup indah bagiku. Kuperhatikan wajahnya. Lagi-lagi tatapan tajam itu membuatku takjub. Tatapan mata penuh ketegasan. Ketegasan sebagai seorang wanita. Ketegasan di balik keanggunan.
Kuamati keadaan sekitar dalam ruang Gedung Serba Guna (GSG) ini. Ramai. Ramai dengan mahasiswa. Pandanganku menyapu seisi ruangan yang besar ini. Lagi-lagi pandanganku terhenti di stand PGSD. Kutatap sosok Zahra. Ia tampak sibuk mengotak-atik HP-nya. Mungkin SMS-an, buka internet, atau entahlah. Kutatap erat raut wajahnya. Harus kuakui, dia menarik. Tetapi, ada sebuah hal “menakutkan” di wajahnya. Ada cahaya “seram” terpancar di wajahnya. Ada “kegelapan” melekat di balik tatapan tajam matanya. Aku tak begitu peduli. Toh, aku tak berharap ia menjadi pendamping hidupku nanti.
Ia beranjak dari tempat duduknya, sementara pandanganku masih mengikuti langkah demi langkah kakinya. Perlahan tapi pasti, stand UKM Fosi ditujunya. Seketika kualihkan pandanganku. Kuambil sebuah buku tebal di meja. Kubuka lembaran demi lembaran buku itu, sementara mataku masih mengawasi gerak-geriknya. Ia mendekat dan semakin mendekat.
“Assalamu’alaykum,” ucapnya ramah diiringi sebuah senyum tulusnya.
“Wa’alaykumussalam,” jawabku.
Kutatap wajahnya perlahan, penuh keraguan. Lagi-lagi dilayangkan senyum tulusnya. Senyum tipis yang lepas begitu saja, diiringi tatapan mata khas, tatapan tajam matanya.
“Silahkan diisi buku tamunya!” titahku.
Tanpa bertanya, diturutinya perintahku. Dituliskan namanya sembari menunduk, persis di depan mataku. Kutatap gerakan tangannya. Gerakan tangan tulus menuliskan identitasnya di buku tamu stand ini. Nama: ZAHRA AFIQA; Alamat: PGSD UNIB; Nomor HP: 08526692xxxx; dan Tanda Tangan: (......).
“Maaf sebelumnya, kak. Aku boleh nanya nggak?”
Aku terkejut. Bukan terkejut atas pertanyaannya, tetapi gaya bahasa yang diucapkannya. Apakah ia tak tahu kalau aku satu barisan dengannya? Apakah ia tak tahu kalau aku juga pengurus UKM Fosi sepertinya? Apakah ia tak tahu bagaimana kosakata yang harus digunakan tatkala menyapa sesama pengurus UKM Fosi? Entahlah!
“Maaf, kak. Nggak boleh, ya?”
“Ya... ya..., silahkan, ukhti. Tapi, maaf, ana semester 4. Ana satu angkatan sama anti.”
“Anti? Siapa itu? Aku nggak kenal.”
Deg. Aku tak habis pikir seorang akhwat tak mengenal kata anti. Apa yang terjadi dengannya? Atau dia hanya mengetesku?
“Maksudnya kita satu angkatan.”
“Oh, begitu, ya. Aku tadi dapat kabar dari teman, katanya aku dapat juara lomba Tilawah Alquran. Apa itu benar?”
Kuanggukkan kepalaku tanpa sebuah kata.
“Terima kasih, ya. Tapi, aku bukan delegasi Fosi, kan?”
“Lho, kenapa begitu?”
“Nggak apa-apa. Aku kan bukan anak Fosi.”
“Tapi, di daftar tadi namamu itu delegasi Fosi.”
“Bukan! Aku bukan anak Fosi!”
“Terus?”
“Delegasi diriku sendiri.”
Ia pun berlalu tanpa kata sementara aku terdiam di tempat. Ada apa dengannya? Mengapa ia tak begitu menyenangi dirinya sebagai delegasi dari UKM Fosi? Padahal ia salah satu delegasi UKM Fosi pada mata lomba ini. Apa salah UKM Fosi?
***
“Erwin, kamu tahu siapa juara Tilawah Aquran kemarin, bukan?” tanya Jehan.
“Ya, aku tahu. Memangnya ada apa, ya?” tanyaku.
“Suaranya bagus banget, Win,” jawabnya.
“Ya, kalau nggak bagus, mana mungkin jadi juara, Han!” kataku.
Hampir dua tahun aku sekelas dengannya. Aku tahu gelagatnya. Tampaknya ia menyukai Zahra. Jehan memang terkenal tak konsisten. Semester lalu – semester 3 – ia menyukai seorang mahasiswa baru Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Hafizah. Itupun tak bertahan lama. Mungkinkah hal yang sama akan terjadi jika ia mengenal dan menjalin hubungan dengan Zahra?
“Win, siapa namanya?”
“Nama?”
“Iya, nama yang menang lomba Tilawah Alquran kemarin, lah!”
“Yang laki-laki atau yang perempuan?”
“Yang perempuan, lah, Win!”
“Zahra Afiqa.”
“Nama yang bagus, Win.”
“Kalaupun namanya bukan itu, kamu masih suka, kan?”
“Nggak, ah. Aku cuma kagum aja sama suaranya.”
“Baguslah kalau begitu. Berarti aku punya kesempatan menjalin hubungan dengannya. Hehehe.”
“Jangan begitu, Win!”
“Loh, katanya kamu tadi cuma kagum sama suaranya?”
“Bukan, Win. Sepertinya aku menyukainya.”
“Nah, begitu, donk. Jujur.”
“Iya, Win. Eh, aku boleh nanya lagi, nggak?”
“Selagi aku bisa menjawab.”
“Gini, Win. Dia itu orang mana, ya?”
“Banda Aceh.”
“Jauhnya?”
“Sejauh apapun jaraknya, pasti akan ditempuh demi sebuah ‘cinta’.”
“Nggak jauh, kok. Masih di Sumatera, kan?”
“Bukan, Banda Aceh itu di Papua!”
“Memangnya ada?”
“Sudah tahu, masih juga nanya!”
“Santai, Win. Aku tahu kamu cemburu, tapi kamu harus ingat kalau sudah punya Fitri.”
“Hus! Jangan asal ngomong kamu! Gosip itu sama dengan fitnah!”
Jehan diam sejenak.
“Win, aku mau tanya sama kamu, gimana caranya supaya aku bisa mendapatkan Zahra?”
“Wah, ini anak, langsung nyosor aja.”
“Tolonglah, Win!”
“Gampang! Yang penting kamu harus kenal dia dulu, Han.”
“Oke, ada nomornya?”
“Ada. Tapi, dia itu anak Fosi.”
“Iya, Win. Anak Fosi nggak boleh pacaran. Tapi, aku ingin berkenalan dengannya. Aku juga janji, semester depan aku akan masuk Fosi.”
“Bener, nih?”
“Bener, Win. Tekadku sudah bulat.”
“Bulat untuk mendapatkannya?”
“Begini, Win. Wanita itu bisa membawa kita ke jalan yang benar dan bisa juga menyeret kita ke jalan yang salah. Makanya...”
“Cukup! Aku tahu maksud kamu.”
“Nah, begitu, donk.”
“Asalkan kamu benar-benar ingin berubah, aku doakan semoga engkau mendapatkannya. Insyaallah ia solehah.”
“Iya, Win. Terima kasih banyak.”
***
Seminggu berlalu. Dan selama seminggu itu pula Jehan mengirimiku SMS tentang bagaimana perkembangan hubungannya dengan Zahra. Aku pun senang karena tampaknya hubungan mereka menemukan titik terang. Aku juga senang karena sang Mantan Bajingan itu perlahan tapi pasti menuju kembali ke jalan yang baik. Biarlah ia berhubungan dengan Zahra. Toh, lambat laun ia akan sadar dan paham tentang semua itu. Tentang aturan permainan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis.
***
Liburan semester genap sekaligus lebaran berlalu. Tiga bulan telah terlewati. Kini saatnya mulai meneruskan perjuangan, perjuangan di semester baru, semester 5. Aku melihat tak banyak perubahan pada teman-teman sekelasku. Mereka masih seperti yang dulu. Nongkrong, ngobrol, dan jajan di kantin di Gedung Kuliah FKIP paling bawah. Hanya saja, kulihat Jehan cukup berubah. Ia mulai mengenakan celana dasar dan baju batik. Harus kuakui ia sangat pantas berpakaian seperti itu. Ia tampak dewasa dengan penampilan barunya. Ia pun mulai rajin datang ke masjid untuk menjalankan salat 5 waktu atau sekedar membaca Alquran. Aku tak pernah menyangka ia akan berubah sedrastis itu. Bahkan, kini ia mulai mengajakku salat berjamaah tatkala datang waktu salat. Padahal sebelumnya, jangankan mengajak, diajak saja sangat susah. “Kamu duluanlah, Win. Nanti aku nyusul.” Itulah alasan yang tak pernah lepas dari mulutnya tatkala kuajak salat waktu itu.
***
Malam Minggu ini sungguh malam minggu yang kelam, karena dari tadi siang lampu se-Kota Bengkulu padam berkepanjangan. Seperti biasanya, aku salat di Masjid Al-Ikhlas yang letaknya di Gang Tiga, Kelurahan Kandang Limun, Bengkulu. Aku sering salat di masjid itu karena teman-temanku, sesama anak LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) dan KAMMI, Qosam dan Rahmad.
Usai salat Isya’ aku dan Jehan enggan pulan ke rumah lantaran gelap, lampu padam. Seperti biasa, kami – aku, Qosam, Rahmad, dan Jehan – berbicara tak tentu arah. Mulai dari pergerakan (demonstrasi), kuliah, sandal hilang, hingga ke akhwat.
Ketika pembicaraan mengarah ke akhwat, kami berbicara ngalor-ngidul tentang mereka. Mulai dari memuji mereka hingga merendahkan mereka. Pembicaraan kami pun seakan tak berhenti, hingga akhirnya sampai juga ke nama Zahra.
“Aduh, akhi. Zahra itu akhwat yang futur,” kata Rahmad.
“Futur gimana?” tanya Jehan tiba-tiba.
“Wah... wah..., kayaknya ada yang suka, nih,” sela Qosam.
Rahmad pun menceritakan keadaan Zahra saat ini. Ia mengatakan bahwa Zahra benar-benar futur alias turun iman. Dari ceritanya, aku tahu kalau Zahra benar-benar sudah tak berada di barisanku. Terjawab sudah pertanyaan-pertanyaanku tentang sikapnya yang cukup “aneh” bagiku, ia tak mau lagi menyandang nama Fosi. Bahkan, aku tahu kalau ia sekarang menjalani kehidupan layaknya gadis-gadis kebanyakan, yaitu berpacaran. Lebih parah, ia telah melepas jilbabnya. Astaghfirullah!
“Lho, bukannya di PGSD itu ada kader kita seperti Yeni dan Ana?” tanyaku seketika.
“Iya, akhi. Mereka selalu mengingatkan dan mengajaknya untuk kembali ke Fosi, tapi apa mau dikata, ia tetap pada pendiriannya,” jawab Rahmad tegas.
“Coba antum lihat facebook-nya, akhi. Biar antum percaya apa yang terjadi dengannya,” Rahmad menambahkan.
“Nama facebook-nya Zahra Afiqa, bukan?” tanyaku.
“Bukan yang itu. Tapi, ada satu lagi, biar nanti ana SMS ke antum aja namanya,” jawab Rahmad.
Seketika kutatap raut wajah Jehan yang sedari tadi diam mendengarkan cerita Rahmad tentang Zahra, wanita yang dikaguminya. Aku tahu, Jehan pasti sangat kecewa mendengar hal ini. Aku merasa bersalah telah memperkenalkannya dengan Zahra.
***
Aku tak menyangka seorang Zahra, yang dulunya sangat anggun dengan jilbab lebarnya kini telah menanggalkan jilbab lebarnya, bahkan tak jarang melepas jilbabnya. Seorang Zahra yang kukagumi lantaran kinerjanya di UKM Fosi telah berubah menjadi gadis “liar” yang tak sekalipun memberikan sumbangsih untuk UKM yang telah membesarkan namanya. Seorang Zahra yang tampak polos dan bersih telah ternodai syahwat yang melekat erat padanya.
Kebetulan hari ini, Minggu, walaupun libur, aku harus menyelesaikan tugas mata kuliah esok hari. Kubuka internet sebagai salah satu bahan referensi selain buku-buku acuan yang kumiliki. Aku pun cukup penat dengan tugas yang cukup menumpuk ini. Iseng-iseng kubuka facebook. Seketika aku teringat nama facebook Zahra yang dikirim Rahmad via SMS semalam. Ketika kuketik namanya, Astaghfirullah! Memang benar kata Rahmad semalam. Foto-foto narsis terpampang jelas di facebook Zahra. Dan benar, ada beberapa foto Zahra tak mengenakan jilbab.
Aku tak berhenti sampai di situ. Kulihat status di facebook-nya, berpacaran. Aku juga melihat kiriman-kiriman beritanya, “Ah! Sungguh tak pantas sandangan akhwat dilekatkan padanya.” Kiriman-kiriman berita atas dasar nafsu syahwatnya.
Maka, runtuhlah kekagumanku kepadanya. Runtuhlah harapanku untuk menjadikan ia sebagai jalan sahabatku, Jehan, menuju perubahan ke jalan yang lebih baik. Dan yang jelas, tatapan mata itu, tatapan mata tajam itu, tak lagi tajam, tak lagi tegas menyapaku, dan tak lagi memesonaku.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H