Buku Membaca Arsip Membongkar Serpihan Friksi, Ideologi, Kontestasi: Seni Rupa Jogja 1990-2010
Â
Hari ini kita menyaksikan bagaimana kekuatan media sosial dapat menentukan kehidupan seseorang. Malah-malah terkadang media sosial memiliki korelasi positif dengan eksistensi manusia. Orang akan dikatakan ‘masih eksis’ jika masih update status di akun media sosialnya. Walaupun itu hanya persepsi dari sebagian pihak, namun agaknya itu menjadi persoalan ketika melangkah pada pembahasan warisan dan tinggalan. Dalam pameran seni warisan ini salah satu dan yang terpenting adalah katalog.
Artikel ini disusun berdasarkan studi kasus pameran seni tahunan Biennale Jogja. Galatia Puspa Sani menuliskan secara kronologis bagaimana pameran Biennale dirancang, dikonsep, dan diselenggarkan. Di Akhir artikelnya, terdapat dua bagian  abstraksi sebagai simpulan artikel. Dari sub-sub pembahasan, penulis tampaknya mencoba menggambarkan pameran-pameran Biennale Jogja dari tahun  sebelumnya dengan bersumber pada katalog. Oleh sebab itu, artikel tidak akan berfokus hanya pada katalogya namun isi dari setiap katalog yang diterbitkan dala setiap kali pameran.
Secara umum ide dasar pembuatan katalog ada pada persoalan manusia untuk mengingat peristiwa. Keterbatasan tersebut dijawab dengan menggunakan katalog sebagai media penyimpan ingatan. Katalog yang merupakan bagian dari pameran juga memiliki tugas sebagai alat pembentuk wacana. Wacana yang mencoba disampaikan oleh kurator akan lebih mudah terdistribusi ke pengunjung pameran. Oleh karenanya katalog juga dipakai sebagai sumber rujukan pertama dalam perancanagan dari sebuah pameran, karena ideologi kurator yang tertuang dalam sebuah pameran harus saling terkoneksi dengan material artistik pendukung karya.
Pameran-pameran seni yang telah berakhir hanya akan dapat disaksikan melalui ingatan dan katalog, hal itu juga ada pada Biennale Jogja. Biennale Jogja pada periode-periode awalnya mengalami berbagai dinamika perubahan yang agak fundamental dari segi teknis penyelenggaraannya. Perubahan atau pergeseran ini dimulai dari konsep acara seni yang sebelumnya Pameran Seni Lukis Yogyakarta ke Biennale Seni Lukis Yogyakarta.  Konsep baru yang ditawarkan adalah dengan menggunakan sistem kompetisi. Artinya tidak semua pelukis dapat memamerkan hasil karya dalam gelaran acara tersebut oleh karena ada proses kompetisi. Bahkan, terdapat beberapa ketentuan yang terbilang sangat eksklusif yakni adalah syarat umur. Konsep Biennale Seni Lukis 1988 hingga 1992 yang berkonsep sedemikian ini akhirnya mendapat ‘tandingan’. Bernama Binal Experimental 1992 pameran ini mengklaim diri sebagai pameran yang inklusif. Pertama, Binal Experimental ini dari kepesertaanya tidak menggunakan sistem kompetisi, artinya terbuka bagi seluruh pelukis. Kedua, tempat pameran diselenggarakan di berbagai tempat di Yogyakarta seperti Alun-Alun Utara Yogyakarta, Gedung Seni Sono, Stasiun Tugu, dsb.
Pada perkembangnnya terjadi sejumlah perubahan dari Biennale Jogja. Sistem kompetisi tidak lagi digunakan mulai Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa 1994 yang merupakan rangkaian acara dari Pameran Biennale 1994. Namun hal itu tidak menghilangkan sama sekali proses seleksi karya. Proses seleksi karya dilakukan oleh sebuah tim yang bertugas untuk mengkurasi karya-karya apa saja yang sekiranya dapat diikutkan dalam sebuah pameran. Tim tersebut jugalah yang merekomendasikan nama-nama peserta pameran. Kemunculan tim ‘kurator’ ini didasarkan pada kebutuhan pameran yang setiap tahun mengangkat tema-tema besar yang berbeda. Namun  secara struktur hierarkis tim kurasi ini masih di bawah tim narasumber yang seolah-olah memiliki hak dan wewenang untuk merumuskan konsep dan ide pameran. Sedangkan tim kurasi wewenang dan tugasnya ada pada proses teknisnya.
Pameran-pameran Biennale pada periode 2003—2007 memiliki arus yang berbeda dari yang sebelumnya. Pada masa ini pameran Biennale sudah dapat merespons gejala-gejala sosial yang timbul. Biennale tidak lagi hanya berfungsi hanya sebagai hiasan pemuas ‘dahaga seni’ belaka, namun juga sudah pada tahap media penyampai kritik-kritik sosial. Kerja kurator pada praktiknya lebih leluasa dari sebelumnya, namun tetap dibatasi oleh tim seleksi yang bertugas untuk memilah hasil-hasil karya. Jadi sekali lagi, tugas dan fungsi kurator masih normatif.
Diakhir artikelnya Galatia Puspa Sani menerangkan bahwa peran kurator pada perkembangannya memiliki berbagai macam pergesseran fungsi, tugas, bahkan pemaknaannya. Pergeseran dan perubahan itu bertalian dengan perubahan kebutuhan akan peran-peran dalam sebuah pameran. Hal lain yang ditemukan oleh penulis adalah adanya ‘lingkaran’ kurator yang secara identitas dan relasinya tidak berubah dari pameran satu ke pameran yang lain sejak terminologi kurator muncul di Biennale Jogja. Temuan ini yang menurut penulis harus dikritisi bersama apakah ini adalah tentang soal kompetensi atau yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H