Mohon tunggu...
AW Kristianto
AW Kristianto Mohon Tunggu... Insinyur - Pemerhati tata air dan lingkungan

Water Resources Engineer

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mungkinkah Air Bersih Akan Terus Tersedia (Part 1)

9 Juli 2021   02:46 Diperbarui: 9 Juli 2021   03:01 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Usai sudah semua berlalu ...biar hujan menghapus jejakmu... 

Sepenggal  bait  tersebut bercerita tentang hujan, suatu  peritiwa turunnya butir-butir air dari langit ke permukaan bumi sebagai akibat  dari terjadinya kondensasi uap air di langit.  Hujan menurunkan material  yang amat sangat kita perlukan dalam kehidupan yaitu air.  Adakah  yang bisa hidup sehari saja  tanpa air? Membayangkan sehari saja tanpa air rasanya pasti akan sangat menyusahkan. Yang mungkin terjadi adalah kita akan kehausan dan bisa dehidrasi. Bagaimana jika terjadi 5 hari tanpa air.  Jika tidak minum sama sekali, manusia normal umumnya hanya dapat bertahan hidup selama 100 jam atau sekitar 3 sampai 4 hari saja.

Mulai  bulan Juni 2021 yang lalu, di beberapa daerah di Indonesia sudah mulai hujan rintik-rintik, hujan dengan intensitas rendah. Biasanya musim hujan berawal di bulan Nopember atau setidaknya tidak jauh dari bulan itu. Sepertinya perubahan iklim atau climate change telah mengubah jadwalnya.  Ketika melihat hujan, kita tentu bersyukur dan akan berpikir bahwa dengan turun hujan maka air bersih di bumi  akan terus melimpah, tidak akan kekurangan selamanya. Tapi betulkah air bersih di dunia akan terus tersedia selamanya?

Mungkin kita merasa tenang dan tidak khawatir  kekurangan air, karena  kita tahu 70% permukaan bumi adalah berupa air dengan volumenya tetap yaitu 1.386.000.000 kilometer kubik. Sebuah jumlah yang sangat besar. Tapi  kita tidak boleh lupa 97,5% dari jumlah air tersebut adalah air laut yang tidak layak untuk dikonsumsi manusia.   Hanya 2,5 % saja dari jumlah tersebut yang bisa kita pergunakan.  Di sisi yang lain, kebutuhan manusia terhadap air bersih terus meningkat dari waktu ke waktu. Menurut sebuah artikel  yang direlease BBC pada April tahun 2017  lalu, kebutuhan  air secara global diproyeksikan akan  meningkat sebesar  55%  antara tahun 2000 dan 2050. Dari peningkatan kebutuhan tersebut, 70%  nya adalah untuk sektor pertanian sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan  pangan yang bertambah sebesar 69% pada tahun 2035 sebagai akibat pertumbuhan populasi penduduk. Pemanfaatan  air untuk energi, yang digunakan untuk pembangkit listrik  juga diperkirakan akan meningkat lebih dari 20%.

Bagaimanakah kondisi sumber air bersih? Menurut sebuah penelitian yang dipimpin NASA, banyak sumber air tawar di dunia kering lebih cepat dibandingkan proses recharge atau proses pengisiannya. Dari  37 akuifer utama dunia, 21 diantaranya  sedang surut, mulai dari India, Cina, Amerika Serikat dan Prancis. Cekungan Gangga di India semakin menipis, karena populasi dan kebutuhan irigasi. Sementara itu, kota Mexico  yang dibangun di atas dasar danau kuno, sekarang mengalami penurunan di beberapa titik dengan kecepatan sembilan inci per tahun sebagai akibat dari eksploitasi air tanah akuifer di bawahnya. Kota ini mengimpor 40% airnya. Salah satu akibatnya, jalanan yang sebelumnya datar sekarang menjadi bergelombang  sangat tajam. Hal yang sama juga terjadi di California Amerika Serikat. Dari tahun 2011 hingga 2016, negara bagian itu mengalami kekeringan terburuk dalam 1.200 tahun terakhir. Sekitar 1.900 sumur mengering. Kemudian dalam tiga bulan pertama tahun 2017, hujan turun 228% lebih banyak dari tingkat normalnya akibat perubahan iklim. Tapi masalahnya, proses recharge atau pengisian air tanah tidak bisa cepat, akuifer di bawah tidak tiba-tiba terisi kembali. Hal tersebut menyebabkan bendungan kewalahan menampung air sehingga 188.000 penduduk setempat harus dievakuasi.

Bagaimanakah cara keluar dari krisis air bersih?  

Permukaaan bumi mempunyai air laut yang melimpah, bisakah teknologi menghilangkan garam pada air laut agar dapat   keluar dari krisis air bersih? Proses menghilangkan garam pada air laut memungkinkan untuk dilakukan. Namun demikian, air bersih yang dihasilkan rata-rata harganya sekitar lima hingga tujuh kali lebih mahal. Selain itu, metode ini juga memberikan dampak negativ terhadap ekosistem laut serta udara akibat limbah dari kegiatan desalinasi tersebut.

Solusi yang lebih sederhana dan murah adalah penangkapan air hujan. Pada periode  Tahun 527 -- 565 Caesar Justinian membangun  Basilica Cistern, sebuah bangunan penampung air hujan  bawah tanah yaitu di bawah kota Istambul Turki dengan  kapasitas tampung  80.000 meter kubik. Kini setelah 1500 tahun berlalu, ide ini dicontoh oleh kota-kota besar dan modern  di dunia. Tangki penampung air hujan terbesar di Melbourne Australia dapat menyimpan hingga empat juta liter atau 4.000 meter kubik air hujan untuk diolah sebagian. Di wilayah Kerala, Bermuda, dan Kepulauan Virgin AS mewajibkan semua bangunan baru untuk memasang instalasi pemanenan air hujan.  Di Kota Manchester  Inggris, Birley Campus Manchester Metropolitan University, yang dibangun pada tahun 2014 menampung sekitar 6.500 mahasiswa dan staf, sepenuhnya mandiri air melalui penangkapan air hujan dan daur ulang air limbah. Air hujan dikumpulkan dalam tangki 20.000 liter di bawah gedung dan digunakan untuk mandi dan menyiram toilet. John Hindley, asisten direktur perkebunan universitas menjelaskan bahwa pada bulan tertentu terjadi badai yang mengakibatkan beberapa gedung di kampusnya terendam banjir.  Lebih lanjut dijelaskan bahwa upaya menangkap hujan  tidak hanya sekedar untuk memenuhi keperluan air,  tetapi lebih dari itu yaitu memperlambat limpasan, menangkap air dan mengurangi resiko banjir. Negara tetangga kita Singapura memenuhi hingga 30% kebutuhan airnya melalui penangkapan air hujan.

Bagaimana dengan kondisi air bersih di Indonesia?

Jika melihat dari kebutuhan, berdasarkan release data BPS tahun 2019 tentang Statistik Air Bersih,  Kapasitas Produksi Potensial Perusahaan Air Bersih Menurut Provinsi 2013-2018  secara umum menunjukkan tren peningkatan. Peningkatan kapasitas produksi merupakan cerminan peningkatan kebutuhan domestik masyarakat dengan jumlah populasi yang terus meningkat maupun peningkatan untuk keperluan industri. Peningkatan kapasitas produksi yang terjadi sangat bervariasi tiap propinsi, mulai dari satu digit persen hingga tertinggi kisaran 250 persen  yaitu di propinsi Sulawesi Tengah. Jika di rata-rata Indonesia mengalami peningkatan sebesar 28 persen dalam kurun waktu 5 tahun tersebut. Namun pada umumnya, peningkatan kapasitas tersebut belum bisa mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat, sehingga  kapasitas produksi masih harus terus ditingkatkan.   - To be continued-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun