Mohon tunggu...
Arif Rohman
Arif Rohman Mohon Tunggu... -

Menekuni masalah-masalah sosial dan isu kesejahteraan sosial. Ingin berbagi dan berkontribusi terhadap peningkatan pelayanan sosial di Indonesia. Email: arohman@csu.edu.au.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Tuhan Bersama Kita - Siapa Lagi yang Mampu Menghalangi Kita? - Sekelumit Kisah di Balik Program Desaku Menanti

3 Desember 2014   17:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:09 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="309" caption="Gang Tongkang Kramat Senen"][/caption] Hari ini saya gembira bukan main. Iseng-iseng buka internet tentang gelandangan di perkotaan, saya menemukan banyak berita dan artikel tentang Program Desaku Menanti. Angan saya langsung terbang ke tahun 2009, ketika Bapak Salim Segaff Al Jufrie dilantik menjadi Menteri Sosial Republik Indonesia oleh Bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang waktu itu menjabat sebagai Presiden RI. Waktu itu memang banyak orang yang terkaget-kaget karena dalam 100 hari pertama kinerjanya Pak Menteri Sosial mentargetkan Indonesia bebas gelandangan, pengemis dan anak jalanan dalam tempo 3 bulan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah masalah sosial yang notabene inti kemiskinan di perkotaan dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika memberdayakan orang miskin aja susahnya setengah mati, lalu bagaimana dengan gelandangan yang disebut kelompok termiskin dari orang miskin yang hidup di kota. Saya mulai menekuni masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan sejak sekolah di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Waktu itu, saya diajak teman saya untuk ikut seleksi jadi relawan di Yayasan Ar Rufi' yang menangani anak jalanan di bandung. Nama teman saya itu kalau gak salah Natsir Sinambela dan Adi Apriyan. Saya waktu itu ogah-ogahan karena sebenarnya gak punya ongkos buat naik angkot ke Riung Bandung yang jaraknya lumayan jauh dari Dago. Tapi karena saya dibayarin, ya akhirnya ikutan. Uniknya, dua teman saya ini justru gak diterima, yang diterima justru saya. Pada waktu itu yang nge-test saya adalah Kang Cahyo. Senior saya ini orangnya keren, tampan dan elegan. Tapi saya gak tahu sekarang orangnya ada dimana. Sudah putus kontak/hubungan sejak saya merantau ke Senen, Jakarta. Pas di-test saya ditanya kalau diterima saya akan melakukan apa untuk Ar Rufi' dan anak jalanan di Bandung? Saya jawab, ya namanya mahasiswa ya belum berpengalaman, tapi secara konseptual masih seger. Jadi ya saya akan coba praktik ilmu pekerjaan sosial dari mulai engagement, intake, contract, needs assesment, intervention dan monitoring and evaluation (sampai apal banget saya waktu itu). Kang Cahyo ini langsung senyum-senyum misterius dan bikin deg-degan. Ehhh tahu-tahu saya diterima. Pas itulah saya kenal dan mulai akrab dengan Teh Herti Fendiana. Teh Herti inilah yang nanti mengajarkan saya bagaimana mengetik pakai komputer. Katanya saya harus bisa ngetik pakai computer karena penting untuk bikin skripsi atau karya ilmiah (padahal waktu itu masih banyak yang pakai mesin ketik). Teh Herti ini orangnya memang luar biasa, karena isi pembicaraannya tak jauh dari Al Qur'an, Hadits, dan bagaimana menjadi muslim yang baik (ilmunya sudah tinggi banget memang), plus bagaimana menjadi wanita yang mandiri. Oh ya, eman saya si Natsir Sinambela itu akhirnya sekarang jadi Boss di DKT dan si Adi Apriyan jadi pegawai di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Balik Papan. Yayasan Ar Rufi' menurut saya organisasi sosial yang keren abis, karena idealismenya yang luar biasa. Hampir semua pengurusnya adalah alumni Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Ihsan STKS Bandung di Dago. Di sanalah saya ketemu sohib alias teman sejati namanya Wiluk. Mbak Wiluk ini asli Malang, penampilannya apa adanya, dan kelebihannya yaitu dia suka main gitar. Petikan gitarnya mendayu-dayu dan bisa bikin perut langsung lapar. Kehebatan yang kedua yaitu dia itu seorang pendengar yang baik. Orangnya sabar banget dan gila banget mau mendengarkan keluh kesah saya yang tidak jauh dari kiriman uang dari kampung yang minim dan itu pun sering telat. Kelebihan Wiluk yang terakhir yaitu suka ngasih saya makan. Ya maklum lah namanya juga membantu sesama mahasiswa. Tapi kalau saya makan di tempat dia memang keseringan sih. Sebenarnya malu juga, tapi bagaimana? Daripada mati kelaparan di dago udah jauh-jauh datang dari demak kan ironis banget. Belum lagi pasti bakalan dimuat harian pikiran rakyat yang legend di bandung itu. Waduhhhh… Amit-amit dehhh… Kerja di Ar Rufi' itu memang total, sering kita lembur karena bantu-bantu bikin laporan dan persiapan kegiatan kalau ada orang-orang atau tamu yang datang meninjau. Belum lagi kalau harus pendampingan di Pasir Kaliki, hujan badai pun dilalui. Masak anak kecil aja pada hujan-hujanan nyari uang buat bantu emaknya, kita asyik berteduh kan gak lucu. Pokoknya sering basah kuyup dan nyampai kost-kostan langsung teler. Istilahnya baju basah kering di jalan (akibatnya ya masuk angin). Lucunya (mungkin ini kritik buat pemerintah waktu itu), pas ada program makanan tambahan, anak-anak yang kita dampingi makannya enak banget seperti ayam, daging, minimal telor, sedangkan relawan pekerja sosial makan sama tempe dan sayur tahu. Ironis memang. Tapi bukankah kerja jadi pekerja sosial/social worker memang utamanya adalah keterpanggilan jiwa? Jadi ya gak masalah. Belum lagi kalau piket malam anak jalanan pada kelahi, bawa pisau, bawa apaan itu garpu yang ditekuk untuk digenggam buat nonjok pas kelahi. Belum lagi yang ngelem pakai aibon. Waduhhh… Pokoknya horror banget lah. Belum lagi mereka yang berusia diatas 21 tahun ngaku anak jalanan dan nantang kelahi karena gak dapat bantuan ini itu. Saya sampai dikerubutin mereka. Tapi akhirnya setelah saya kasih penjelasan, kita semua malah jadi teman akrab dan saya sering diajak main ke rumahnya. Gila, sekampung pada turun ke jalanan saking miskinnya. Oh ya, bantuan untuk anak jalanannya memang keren-keren; seperti kursus nyetir (saya aja gak bisa), kursus bahasa inggris - saya aja sampek ngiler lihatnya - padahal gara-gara pingin bisa bahasa inggris dibela-belain setiap sabtu minggu ke BIP (Bandung Indah Plaza) di Gramedianya buat baca-baca buku bahasa Inggrisnya, dari itu toko buku buka, sampai tutup friend…. Kaki pada pegal-pegal semua (berdiri soalnya). Untung lah kuda-kuda saya lumayan kuat jadi ya dinikmati aja (ya sekali-sekali jongkok sih ngilangin pegel). Itu adalah sedikit cerita kenapa saya mengenal dunia anak jalanan dan gelandangan serta pengemis di Bandung. Yayasan Ar Rufi' sendiri entah kenapa, entah pecah atau bubar saya kurang tahu. Tapi yang pasti, ini lembaga tempat diri saya dibentuk dan ditempa di lapangan. Pas saya sudah lulus kuliah tahun 2000, saya diajak dosen saya Pak Bambang Rustanto dan Ibu Tuti Kartika ke Jakarta untuk ikut Program Ford Foundation dalam penanganan masyarakat miskin di perkotaan di 5 wilayah DKI Jakarta. Saya kebetulan dikenalkan dengan koordinator wilayah Bapak Nurjaman. Pak Nurjaman ini orangnya keren banget. Dia itu masih muda sudah jadi wakil RW di Tongkang - Kembang Sepatu dan sekitarnya. Sejak berkenalan dengan pak Nurjaman ini wawasan saya jadi terbuka. Ilmu yang saya peroleh di STKS - bangku kuliah kayaknya gak ada apa-apanya. Pak Nurjaman ini bisa berhubungan baik – merakyat, dari masyarakat dengan status sosial atas sampai status social paling bawah; dari orang tua sampai anak-anak; dari laki-laki sampai perempuan. Orangnya cool dan luwes. Selama kerja disitu saya tinggal di gudang rumahnya di gang Tongkang. Karena yah memang daerah padat ya lumrah. Gak ada bantal gak ada kasur, prihatin banget tidur pun berbantalkan buku-buku saya. Pintu kamar gak pernah saya kunci biar angin masuk (karena panas banget dan gak punya kipas angin). Di Tongkaang inilah saya sering teriak-teriak baca puisi, cuman ya pernah dimarahin Ibu Mertuanya Pak Nurjaman. Rip, eling… Eling… Nyebut… Istighfar… Waduh, beliau ini gak tahu kalau seniman terkenal jaman sekarang dulu itu lulusan planet Senen yang kleleran dan menggelandang di situ. Contohnya yaitu Oma Irama, sang satria bergitar. Tapi saya baru menyadari ternyata yang ngefans dengan puisi saya lumaayan baanyak. Mereka adalah mbak-mbak yang kost depan rumah yang kerjanya di Ramayana Senen. Mereka pada baik banget suka ngasih makanan gorengan. Puncak prihatinnya tinggal di Tongkang Senen itu pas malam-malam kaki saya digigit tikus sampai berdarah di kamar saya. Tikusnya gedhe banget. Cuman saya gak marah aja, soalnya kehidupan kami gak jauh beda. Tikus-tikus itu teman pelipur lara. Mereka juga harus survive Bukan? Ya saya maafkan aja. Hehehe… Ampun dah, pokoknya jangan pernah ngalamin apa yang saya alamin deh. Semoga keluarga, dan anak keturunan saya dan seluruh rakyat Indonesia jangan sampai mengalami yang kayak saya alamin. Meskipun saya yakin masih banyak banget yang hidupnya sejuta lebih menderita dari saya. Contohnya Pak karim teman saya di Aceh. Demi kuliah di IAIN beliau ini ngajar ngaji. Makan pun setiap hari dengan ikan asin. Ikan asinnya gak dimakan tapi dibaui aja, untuk pelengkap nasi. Ikan asin dicium pakai hidung baru nasi dimakan. Dan ikan asin itu bisa bertahan seminggu. Yang bikin saya ingat sampai sekarang adalah bayar kost Rp 200.000,- kadang saya gak punya uang. Lha waktu itu kalau Ibu Mertua Pak Nurjaman minta uang kost-an, biasanya Pak Nurjaman langsung ke gudang atas dan nanya saya. Udah bayar kost belum Rip? Belum Pak... Gak punya duit. Nah Pak Nurjaman itu langsung ngasih duit Rp 200.000,- dari dompetnya ke saya sambil bilang, Resek lu ahh... Ini bayarin ke emak. Jangan bilang uangnya dari gw'. Ini kejadian berkali-kali. Pak Nurjaman ini lah malaikat penolong saya pas merantau ke Jakarta. Kalau saya seharian gak nongol, biasanya Pak Nurjaman langsung ke atas dan nanya ke saya, 'Udah makan belon lu?' Belom Pak, gak punya duit. Langsung deh Bapak kita satu ini ngasih saya uang Rp 20.000,- buat makan. Tapi kalau Pak Nurjaman juga lagi gak punya uang, biasanya saya disuruh ngutang di warteg deket pos RW dan disuruh bilang, ‘Nanti pak wakil RW yang bayar’. Begitu lah story-nya. Saya merasa Pak Nurjaman itu seperti Bapak saya sendiri. Walaupun Pak Nurjaman santai dan lembut, tapi jangan salah, kalau lagi gak mood terus ada tukang petik/jambret habis ‘operasi’ dari jalan raya stasiun Senen, terus masuk gang tongkang dan biasanya merembes di gang-gang sempit di gubuk-gubuk di rel kereta api, terus biasanya ilang hingga bikin nama gang tongkang jelek, Pak Nurjaman pernah ambil celengkreng /garu/trisula panjang langsung dilempar ke penjambret itu, tembus sampek betis kakinya. Itulah cerita heroik bapak penolong kita satu ini. Tinggal disitu dari tahun 2000 sampai tahun 2004 membuat saya banyak tahu tentang kehidupan gelandangan, apalagi sejak saya kenal sesepuh gelandangan senen Bapak Indardjo. Orang yang tinggal digubuk-gubuk itu terkadang lucu, kalau bertengkar suami isteri; sang isteri kadang ada yang lari sambil bugil dan nyobek-nyobek akte nikah (surat kawin). Dah gitu nyesel, tapi dapet lagi surat kawin dari nikah massal, begitulah seterusnya, kadang program nikah massal bisa jadi orang-orangnya dari tahun ke tahun ya itu itu juga --- orang-orang pemerintah mana tahu detail kayak gini? Hehehe… Sebagai pendamping masyarakat istilah kerennya community worker atau facilitator atau community development worker kita punya relasi yang bagus dengan tokoh masyarakat seperti RW 03 Kramat Senen ada Pak Bambang, Ibu Tanjung dan 1 lagi saya lupa beliau adalah mantan petinju dan keamanan di pasar RW 03. Demikian juga para tokoh masyarakat di RW 08. Selama tinggal disitu, saya juga banyak mendapatkan teman dari Gang 21 seperti Novi Syaidah, Fiqih Ananta Toer Syadat, dan Si Julung serta Neneng dari RW 03. Pokoknya berkesan banget deh punya temen kayak mereka. Mereka ini bener-bener teman sejati banget. Cuma ya sayangnya, aqua gallon di koperasi sering cepet habis karena saya minum soalnya kalau laper cukup minum biasanya lapernya ilang lho. Ini pengalam pribadi. Hehehe… Di Tongkang juga saya ketemu dengan DR Lea Jellinek dari Melbourne dan dia ngajarin saya penelitian kualitatif dengan teknik wawancara air mengalir. Si Julung waktu itu jadi uji cobanya. Gila banget interviewnya. Padahal mulanya cuman iseng. Lea nanya kamu sudah pernah lihat wawancara air mengalir. Belum, kata saya. Pingin lihat? Iya. Terus dipanggil lah si Julung diwawancarai. Si Julung ngaku sebagai musician padahal dia pengangguran. Makanya saya tahu, sehebatnya teknik wawancara kalau kita tidak tahu betul seluk beluk kehidupan mereka sehari-hari aslinya, mungkin kita banyak dikibulin juga gak tahu. Apalagi Lea orang bule. Hahaha.... Saya sih diam aja lihat si julung ngarang-ngarang gak jelas gitu. Suatu ketika, gak ada ujan gak ada angin saya pingin sekolah S2 di Universitas Indonesia (UI) waktu itu Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP) membuka pendaftaran untuk angkatan 3. Waktu itu saya pikir, keren juga kuliah disitu bermanfaat untuk karier ke depan. Alhamdulillah ikut test diterima. Ehhh pusing disuruh bayar uang masuk Rp 7.500.000, - plus uang administrasi jadi totalnya Rp 9.000.000,- uang dari mana coba? Waktu itu jurusan kesejahteraan sosial dan kajian wanita masih 3 jutaan dan kajian amerika kalau gak salah 5 jutaan. Akhirnya pinjem sana pinjem sini. Sedihnya, sampai ada tokoh masyarakat, Ibu-ibu yang memberikan akte tanahnya untuk dipinjamkan ke Bank sambil air matanya menetes karena pingin lihat saya melanjutkan S2 di UI. Tentu saja saya tolak secara halus. Jadi dari sini saya baru tahu, keberhasilan seorang fasilitator atau pendamping masyarakat itu gak harus muluk-muluk. Bisa berhubungan baik dan diterima masyarakat itu saja sudah bagus. Selanjutnya baru mengalir… Lha pas deadline Alhamdulillah Pak Nurjaman bantu pinjam sana-sini dan akhirnya waktu itu hari Jum'at akhir tahun 2002, batas waktu - terakhir pembayaran, akhirnya saya bisa ke gedung pasca sarjana UI Salemba buat nyetor uang di bank BNI, sekaligus daftar ulang. Pas jam 3 sore tepat bank mau tutup saya leganya bukan main. Duduk di bawah pohon beringin saya lemes banget dan sudah gak kuat ngisi form. Soalnya mental saya kena, down saya, nyaris, rasanya seperti antara hidup-mati nyari uang segitu buat sekolah S2. Terus, saya bilang ke Pak Nurjaman, pak tolong diisiin pak, saya gak mampu lagi ngisi, tangan sama badan saya gemetaran semua gak kuat nulis. Dan saya pun menangis. Saya tidak malu, karena kadang seorang super hero pun bisa menangis, dan itu bukanlah sebuah dosa. Pak Nurjaman akhirnya ngisi, padahal beliau hanya tamatan SMA. Jadi form saya kuliah pertama S2 di KPP UI yang ngisi adalah Pak Nurjaman. Pak Nurjaman benar-benar orang yang baik hatinya minta ampun. Kata Pak Nurjaman, hidup di Jakarta itu yang penting nyali. Pak Nurjaman juga selalu mengingatkan kalau besok-besok sudah kerja dan stabil secara ekonomi diusahakan beli baju yang baru. katanya penampilan itu perlu. Masyarakat kita suka melihat dan menghargai seseorang seringkali hanya dari penampilan. Kalau baju kumal ya gak bakalan dihargai orang. Whatzzzz....??? Maksudnya saya kumal begitu? Keterlaluan banget Pak Nurjaman ini. Hya dhezagggggg....!!!! Selama kuliah, saya tinggal di Majelis Taklim di Gang 21 RW 08. Saya boleh tinggal disitu - sambil ngajar bahasa inggris untuk anak-anak SD. Saya digaji semangkok Indomie dan es teh sama Fiqih - itupun kayaknya dia dapat uang dari kakaknya (Ria Kamei). Sekarang Ria menikah dengan orang Jepang dan tinggal di negeri Sakura. Selama kuliah prihatin banget. Pernah tidur di pinggir jalan depan gang Tanah Tinggi depan warung Mas Cirebon seberang stasiun Senen. Pernah makan sama-sama gelandangan walaupun sisa mereka. Gak peduli saya, yang penting saya hidup dan bisa survive. Dan ironisnya orang disana gak ada yang tahu kalau saya kuliah di S2 UI. Mereka tahunya saya kuli konveksi di pasar senen dan luntang lantung cari kerjaan di pasar poncol. Waktu kuliah bersyukur banget ada teman dari Batak, kerja di Dinas Tata Kota DKI namanya Bang Andor Siregar. Bang Andor ini hatinya seputih salju. Kalau iuran foto copy buku pelajaran bisa sampai ratusan ribu semua Bang Andor yang bayarin semuanya buat saya. Pernah hari Minggu, pernah saya gak punya uang, dia bela-belain dari rumahnya Meuruya ke kampus Salemba cuman buat ngasih saya uang buat makan. Gila betul nih hidup. Bener kata orang, Ibu kota lebih kejam daripada Ibu Tiri. Karena hidup sudah terlanjur susah dan sudah kepalang tanggung. makanya untuk thesis saya ngambil penelitian tentang gelandangan di Senen. Gak tanggung-tanggung saya langsung minta pembimbing Professor Parsudi Suparlan, PhD dan Ibu Siti Oemijati Djajanegara, PhD. Komplit sudah pembimbingnya, yang pertama lulusan S2-S3 dari Amerika yang kedua lulusan S2-S3 dari Perancis. Kata orang sih dua-duanya ini manusia-manusia aneh yang susah ngelulusin mahasiswanya - bahkan ada yang gak sampek lulus, tapi saya gak peduli. Tanggung amat nyari dosen pembimbing. Sempat frustasi dibimbing Professor gelandangan ini saya menghadap dan bilang tidak jadi meneliti homeless people soalnya dimarahin mulu sama professornya sampe kenyang banget, di bilang sontoloyo lah, preman demak lah, mahasiswa goblok lah, etc. Tapi Prof Parsudi ini ternyata ada sisi-sisi lembutnya. Beliau bilang, sebagai seorang ilmuwan sosial itu ada dua hal yang harus dipegang. Pertam,a harus jujur. Yang kedua, pantang menyerah. Terus beliau bilang, apakah masih lanjut dengan penelitian gelandangan? Saya bilang, lanjut Prof! Ngomong-ngomong, waktu itu, saya adalah mahasiswa generasi 3 yang meneliti permasalahan orang gelandangan. Yang pertama adalah Prof parsudi Suparlan sendiri pada tahun 1960 an - generasi pertama. Yang kedua adalah Pak Haswinar Arifin, penelitian gelandangan tahun 1980 an - generasi kedua. Dan yang terakhir adalah saya, penelitian gelandangan tahun 2004 - generasi ketiga. Menariknya pas dibimbing Ibu Oemijati, siang saya dikoreksi-bimbingan, malam jam 9 saya sudah menyerahkan revisi saya. Begitu terus sampai pembantunya apal  dan bosen lihat muka saya. Ibu oemi bilang, anda ini lucu, kok begitu bersemangatnya, apakah tidak ada hari esok? Saya hanya diam tersenyum pahit, andaikan beliau tahu kondisi saya yang prihatin banget. Saksinya itu Mbak Rani Toersilaningsih dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI. Itu saksi hidupnya. Hehehe… Kalau yang bimbingan dengan Prof Parsudi justru tidak ada masalah. Beliau selalu bilang ilmu ditemukan nanti di lapangan. Begitulah... Susahnya kuliah di UI. Tapi dikala kita lagi down, Bang Andor selalu bilang dan menyemangati saya, JIKA TUHAN BERSAMA KITA - SIAPA LAGI YANG MAMPU MENGHALANGI KITA? Kata-kata Bang Andor inilah yang bikin saya semangat. Dan akhirnya, story ditutup dengan manis, saya bisa mendapatkan gelar Magister Sains Perkotaan (MSiP) dalam waktu 3 semester. Yang lucunya, pas sudah beberapa tahun, Bang Andor ketemu dan tanya ke saya, Arif kok dulu kau bisa lulus cepat begitu sedangkan Abang susah kali? Terus saya sambil nyengir kuda bilang, lho bukannya Abang yang ngasih mantera ke saya. Mantera apa? Katanya. Itu lho JIKA TUHAN BERSAMA KITA - SIAPA LAGI YANG MAMPU MENGHALANGI KITA? Yah apalagi niat kita juga baik kok, gak neko-neko untuk menuntut ilmu, bukankah Tuhan pasti bakalan kasih jalan? Bang Andor tertawa dan tak lama kemudian dia lulus dari Kajian pengembangan Perkotaan. Selamat dan sukses buat Bang Andor. Semoga Ahok mengangkat dia sebagai Kepala Dinas Sosial di Tata Kota DKI Jakarta. I highly recommend him for sureeeeeee….. Singkat cerita akhirnya saya lulus. Sempet ngajar sebagai dosen tamu di S2 Arsitektur UI, S2 kajian Pengembangan Perkotaan UI, ngajar metode kualitatif di Prodip IV STKS Bandung dan Kemiskinan Perkotaan di program spesialis 1 nya STKS, terus ke Aceh ikut program Unicef dengan Departemen Sosial RI (waktu itu namanya belum Kementerian Sosial). Kaget karena diceritain gajinya sewaktu mendampingi anak korban tsunami gajinya Rp 900.000,- ternyata pas disana gajinya Rp 9.000.000,-. Yah berkah buat ngirim Ibu di Kampung, kakak-kakak dan menikah. Tuhan memang maha besar…. Jadi pingin nangis nih pas ngetik ini. Seperti buku karangan Lea SEPERTI RODA BERPUTAR (the wheel of fortune), saya juga diterima di Departemen Sosial RI. Kemudian karena Tuhan kasihan sama saya dan dan Tuhan sudah bosan melihat kemalangan hidup saya, gak tahu gimana ceritanya tiba-tiba saya saya mendapat beasiswa ADS dan melanjutkan ke University of New England – Armidale – Australia di bidang Women's and Gender Studies. Kemudian melanjutkan lagi ke Charles Sturt University untuk mendalami tentang Social Work. Itulah cerita singkat saya. Lucunya, pas pamitan ke Ibu-Ibu di Kramat Senen - kata-kata dari para Ibu-Ibu selalu tetap sama. Sudah deh jangan sekolah lagi. Nanti ente kelaparan lagi lho, disana jauh, gak ada kita-kita. Nanti kalau kelaparan lagi gimane? Saya hanya senyum-senyum saja pas pamitan. Satu yang saya pelajari di sini adalah  masalah seberat apapun akan terselesaikan kalau kita ngomong. Kedua, kalau niat kita tulus gak macem-macem, pasti Tuhan akan mengabulkan permintaan kita. Ketiga, seperti kata Bang Andor, JIKA TUHAN BERSAMA KITA - SIAPA LAGI YANG MAMPU MENGHALANGI KITA? Pengalam saya ketika tinggal menggelandang di Senen inilah yang menginspirasi saya menulis gagasan tentang Program Desaku Menanti. Awalnya Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Dirjen Pelayanan dan rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, setengah bercanda mendorong saya untuk menulis program untuk Pak Menteri sebagai wujud kontribusi. Bisa gak kamu nulis program buat ngamanin Pak Menteri? OK saya bikin. Tapi program penanganan gelandangan itu gak cukup 3 bulan, bisa bertahun-tahun karena harus komprehensif dan berkelanjutan, kalau tidak mereka bakalan kembali turun ke jalan. Akhirnya saya bikin. Dalam suatu meeting waktu itu saya diketawain orang banyak karena filosofi dan pendekatannya yang agak beda dan waktunya yang relatif panjang. Saya bilang pendekatannya haarus multi years karena menanganai orang gelandangan tidak mudah dan membutuhkan koordinasi dan kerjasama yang luar biasa dari pemerintah pusat dan daerah. Tentu saja hal ini beda dengan program-program sebelumnya yang memaksakan semua tahapan harus selesai dalam setahun – program instan - mana kadang anggaran seringkali telat turunnya dan turun di pertengahan tahun. Walaupun banyak diketawain waktu itu, well actually I don't care….. Program itu saya tulis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya, jadi tentu saja akan beda. Mereka yang mentertawakan itu kan sebenarnya anak-anak orang kaya yang hidupnya tidak pernah menderita. Mana tahu dia kehidupan orang susah. Seperti kata Bapak Makmur Sunusi, PhD salah satu orang terdekat saya dan saya kagumi. Banyak program yang dibuat copy paste dan pakai ilmu kira-kira. Baru bangun tidur langsung dapat ilham.... Hahaha…. +&^$£”£$£$$£_)*saya langsung ngakak pas denger Pak Makmur ngomong seperti itu. Sayang beliau sekarang sudah pensiun dari Kementerian Sosial. Beliau adalah orang hebat di bidang kesejahteraan sosial. Beliau selalu mengatakan program yang baik harus research-based. Dan inilah kelemahan di Kementeriann Sosial selama ini, antara research dan program sering gak nyambung. Itulah sejarah asal usul Program Desaku Menanti. Untuk rinci mengenai Program Desaku Menanti dapat di download di sini..... Download Here Berikut adalah beberapa link berita dari Program Desaku Menanti : Tangani Gepeng, Kemensos Kembangkan "Desaku Menanti" Kemensos Berdayakan Gepeng Lewat Program Desaku Menanti Kemensos Kembangkan Program Desaku Menanti Kurangi Pengemis Program Desaku Menanti Ajak Pengemis Pulang Kampung 2015, Kemensos Luncurkan `Program Desaku Menanti` Public Welfare, Ministry Of Social Affairs Develops Desaku Menanti Program Gubernur DIY Relakan Sultan Ground untuk Gelandangan dan Pengemis Keraton Yogya Sumbang Lahan untuk Gelandangan Kampung "Desaku Menanti" Bikin Desaku Menanti, Pakde Karwo bagikan rumah untuk 135 PMKS Update tentang Pak Nurjaman, sekali waktu beliau ternyata sudah jadi Ketua RW 01 di Kramat Senen selama 2-3 periode. Keren bukan? Pas malam-malam saya datang buat nongkrong di pos RW ternyata lagi rame orang kelahi. Yah masalah muda-mudi. Mereka sama-sama dari Tegal. Di Tegal sana kampung mereka beda dan memang suka berantem. Lha suatu ketika adik ceweknya diajak malam mingguan sampai pulang pagi, kakaknya gak diterima langsung dipukulin tuh cowok, keluarganya gak terima dan ribut – sentimen kampung ikut akhirnya jadi bentrokan antar kampung Tegal di Jakarta. Mumet kan. Terus saya bilang, ada apa pak? Ini, pusing saya. Dari tadi Maghrib gak kelar-kelar urusannya soalnya pada bawa aparat. Terus Pak Nurjaman berdiri dan bilang, Saya kasih waktu ½ jam persoalan harus selesai. saya gak maau tahu. Sudah gitu dia tendang itu meja sampai mumbul – mencelat beberapa tombak. Persis kayak dalam adegan filmnya Tian Long Babu pas Xiao Feng marah dan mengeluarkan ilmu 18 Jurus Penakluk Naga. Semua orang langsung diam dan tidak berapa lama masalah selesai dan mereka berdamai. FYI Pak Nurjaman bahkan sempet kuliah kesejahteraan social di STISIP WIDURI tapi tinggal Skripsi tidak dilanjutin karena anak-anaknya sudah menginjak SMA dan masuk perguruan tinggi juga. Ya Tuhan…. Andai saya punya uang mungkin sudah saya bayari itu SPP Pak Nurjaman di STISIP WIDURI Jakarta. Menariknya hubungan baik kami terus berlanjut bahkan pas saya research di Kampung Kusta Sitanala beliau ini sempet-sempetnya nemanin saya naik busway dari Senen ke Tangerang untuk nyari kost2an buat saya. O, Lord… Lucunya Pak Nurjaman cerita kalau ada orang dari LSM atau proyek P2KP yang datang ke Gang Tongkang atau RW 01 Kramat Senen, Pak Nurjaman selalu bilang, ‘Kenal Arip gak?’ Dia dulu disini lama. Terus saya bilang, ‘Ya gak kenal lah Pak, emangnya saya siapa….’. Sekarang selalu terngiang-ngiang gaya khas omongan Pak Nurjaman. La khau la aja lah Rip… Resek lu Ahhhh…. Tuhan, berikanlah keberkahan bagi Bapak satu ini. Amien……. Profil Pak Nurjaman dapat dilihat di sini. Sedangkan link berita tentang pak Nurjaman dapat dilihat di sini:

Ratusan Bangunan Liar Jalan Thonkang Dibongkar

Warga Jalan Thongkang Senen Sadar Segera Pindah

KEBANGETAN, orang Miskin bukannye dibantu malah dibuat tontonan ... ???

Pagar Pembatas Rel Kereta Yang Jebol Hingga Kini Belum Diperbaiki

Masyarakat Kurang Sadar Pemeriksaan Gratis Virus Aids

Proyek MP3KI Kucurkan Dana 2,3 Milyar Bagi Pemberdayaan Mandiri Perkotaan

Semoga cerita saya ini bermanfaat bagi kita semua. Tulisan ini hanya refleksi iseng jangan diambil serius. Tetapi jujur, sumpah saya seneng banget program ini akhirnya berani dilaunching tanpa malu-malu kucing lagi. Dulu saya masih ingat, katanya dananya gak ada, tapi akhirnya setelah menunggu 4-5 tahun Program Desaku Menanti bisa terlaksana. Yah better late than never lah... Itu kan harusnya untuk tahun 2009, yahh cuman gak laku aja waktu itu. Gak direspon maksudnya. Saya hanya bisa mendoakan semoga program ini berjalan dengan lancar, dan tugas semua masyarakat lah mengawasi pelaksanaan dan keberlanjutannya. Sebagai penutup saya kutip motto kampus saya dulu di armidale. EX SAPIENTA MODUS (OUT OF WISDOM COMES MODERATION). Salam dari mahasiswa gelandangan..... JIKA TUHAN BERSAMA KITA - SIAPA LAGI YANG MAMPU MENGHALANGI KITA? Wagga Wagga, 3 December 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun