Mohon tunggu...
Arif Nurdiansah
Arif Nurdiansah Mohon Tunggu... lainnya -

@arifnurdiansah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kartini, Jokowi dan Perempuan Indonesia

4 November 2015   09:22 Diperbarui: 4 November 2015   09:22 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu cita-cita besar kartini adalah membuat perempaun indonesia berdaya, bermartabat dan memiliki persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Namun fakta justru menunjukan hal yang sebaliknya, perempuan indonesia kini justru semakin jauh dari harapan Kartini yang disuarakan puluhan tahun lalu.

Dalam hal pendidikan misalnya, yang merupakan modal dasar bagi seseorang (perempuan) untuk dapat berdaya, bersaing dlm hidup pada kenyataannya belum dapat diakses dengan mudah. Bahkan pemerintahan di negeri ini justru memperburuk keadaan. Hasil penelitian Indonesia Governance Index (IGI) 2012 menunjukkan bahwa angka rata-rata rasio lama sekolah anak perempuan wajib belajar 9 tahun di 33 provinsi hanya 7,5 tahun, sementara bagi anak laki-laki selama 8 tahun. Pertanyaannya kemudian, bagaimana perempuan akan mampu bersaing secara setara dengan laki-laki dalam berbagai hal –misalnya pekerjaan– jika dari segi pendidikan saja sudah kalah?

Pun dengan kesehatan, baik ibu maupun perempuan usia produktif di negeri ini cenderung belum terlindungi. Ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya angka kematian ibu melahirkan tiap tahun. Hasil survei demogafi dan kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan ada 228 ibu meninggal per 100 ribu kelahiran, dan jumlah tersebut meningkat menjadi 359 per 100 ribu kelahiran hidup di tahun 2013.

Perempuan Indonesia juga identik sebagai korban, baik kekerasan maupun kebijakan. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir angka kekerasan –terutama seksual– terhadap perempuan meningkat, dari 119.107 kasus di tahun 2011, menjadi dua kali lipat di tahun 2012 yakni 216.156 kasus, dan di tahun 2013 sebanyak 279.760 kasus. Sementara hukuman bagi pelaku pelecehan dianggap tidak menjerakan, misalnya pasal 281 UU KUHP yang hanya mengancam hukuman bagi pelaku berupa penjara selama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Sedangkan dalam hal kebijakan, pemerintah terkesan membiarkan adanya aturan yang merugikan perempuan. Hingga tahun 2014, terdapat 365 kebijakan diskriminatif. Sebanyak 279 dari kebijakan ini secara langsung menyasar pada perempuan, dengan 90 kebijakan yang mewajibkan busana berdasarkan intepretasi tunggal agama tertentu, 124 kebijakan yang mengkriminalkan perempuan atas nama penertiban prostitusi, pornografi dan pornoaksi dan 30 kebijakan yang mengatur pemisahan ruang publik berbasis jenis kelamin (khalwat, dan muhrim) serta 35 kebijakan tentang jam malam bagi perempuan.

Presiden Jokowi harus –bahkan wajib– mengubah kondisi ini menjadi jauh lebih baik, sebab perempuan merupakan tiang negara dan aktor penting dalam revolusi mental yang sedang dijalankan. Bagaimana tidak, perempuan yang berperan menjadi seorang ibu akan menjadi guru pertama sekaligus panutan bagi anak-anaknya. Ajaran seorang ibu menjadi pondasi awal karakter seorang anak hingga dewasa kelak. Demikian juga sebagai seorang istri yang seringkali justru menjadi nahkoda dari bahtera kehidupan rumah tangganya. Perempuan yang mampu mengarahkan suaminya untuk berlaku baik, jujur dan mampu memegang amanah dalam bekerja akan menjadikan aparatur negeri ini jauh dari korupsi.

Masyarakat, terutama perempuan tentu masih mengingat salah satu isi pidato kemenangan Jokowi-JK di kapal Phinisi yang ikonik, dimana beliau mengatakan bahwa politik adalah pembebasan. Sebagai presiden yang terpilih melalui mekanisme politik, maka Jokowi harus mampu membebaskan perempuan dari diskriminasi, pemiskinan, kekerasan, dan peminggiran yang selama ini dirasakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun