Mohon tunggu...
Arif Nurdiansah
Arif Nurdiansah Mohon Tunggu... lainnya -

@arifnurdiansah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu dan Mimpi Kesetaraan Gender

8 April 2014   22:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:54 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perempuan di negeri ini masih sering menjadi korban kekerasan baik secara fisik maupun mental, penyebab utamanya adalah lemahnya pengarusutamaan gender dalam setiap kebijakan pemerintah.



Setidaknya ada 4 diantara banyak contoh akibat buruk dari kebijakan yang tidak sensitif gender. Pertama, lemahnya aturan hukum. Data Komnas perempuan menyebutkan bahwa setiap hari ada 35 kasus pelecehan seksual dialami perempuan, dan tingginya kasus pelecehan karena tidak ada efek jera bagi pelaku. Karena Pasal 281 UU KUHP hanya mengancam hukuman bagi pelaku selama 2 tahun 3 bulan, yang berarti Polisi tidak dapat menahan pelaku pelecehan karena di bawah 5 tahun.

Kedua, Kebijakan yang merugikan perempuan dapat dilihat dalam aturan seputar pajak penghasilan. Bagaimana tidak, seorang perempuan harus membayar lebih banyak dibanding laki-laki yang sama-sama berstatus orang tua tunggal. Perempuan dikenai aturan pajak sebagai seorang yang tidak kawin, sementara laki-laki yang berpredikat sama diberi keringanan dalam membayar pajak.

Ketiga, pembangunan manusia mengesampingkan keberadaan perempuan. Secara sistematis perempuan juga telah dirugikan sejak kecil. Buktinya, hasil penelitian IGI 2012 membuktikan bahwa rata-rata rasio angka lama sekolah anak wajib belajar 9 tahun di 33 provinsi antara laki-laki dan perempuan mengalami kesenjangan selama 1 tahun, yakni laki-laki 8 tahun dan perempuan hanya 7,5 tahun.

Terakhir, selain merugikan perempuan, kebijakan minus pengarusutamaan gender juga merugikan laki-laki. Salah satu contoh yang merugikan adalah kebijakan terkait asuransi yang diterapkan oleh banyak perusahaan, dan bahkan sebagian besar kementerian/lembaga pemerintah di negeri ini.

Asuransi yang diberikan kepada pegawai perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak hanya mampu menanggung biaya kesehatan anak saja, sementara suaminya tidak. Hal ini berlaku sebaliknya, pegawai laki-laki yang memiliki keluarga diberi asuransi oleh perusahaan untuk menanggung biaya kesehatan seluruh anggota keluarga, termasuk anak dan istri. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika suami tidak bekerja karena cacat, atau sudah dalam masa pensiun?

Kurangnya jumlah keterwakilan perempuan di pemerintah yang memiliki fungsi membuat dan menjalankan kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif menjadi faktor utama dibalik masalah tersebut. Hal ini misalnya terbukti dari terbatasnya jumlah keterwakilan perempuan di legislatif, kendati di tiga setiap Pemilu terakhir mengalami peningkatan. Data Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR menyebutkan pada Pemilu 1999, perempuan di DPR hanya 8,8 %, tahun 2004 meningkat menjadi 11 %, dan tahun 2009 menjadi 18 %.

Jika dilihat jumlah tersebut masih jauh dari kuota 30% perempuan di legislatif, seperti diatur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Penyelenggara Pemilu.Kuota merupakan salah satu langkah afirmasi bagi perempuan di legislatif, salah satu tujuannya untuk memperkuat isu-isu gender terutama dalam hal kebijakan yang terkait dengan publik.

Kesempatan untuk menambah jumlah perempuan di legislatif sangat besar di Pemilu kali ini, sebab aturan kuota diperkuat dengan keputusan KPU yang mensyaratkan setiap Partai Politik peserta Pemilu wajib mencantumkan minimal 30% perempuan. Dan aturan ini sudah dipenuhi, terbukti dengan 2.200 lebih perempuan telah terdaftar sebagai Caleg.

Selain berkampanye, Caleg perempuan juga mempersiapkan diri dengan meningkatkan kapasitas di bidang politik. Sebagian dengan mengikuti training yang dilakukan oleh Partnership dan Komnas Perempuan di 9 Provinsi. Selain training, Caleg peserta juga menandatangani kontrak politik yang berisi komitmen untuk memperjuangkan program-program seputar isu gender. Salah satu isi kontrak juga mengatakan bahwa jika terpilih dan poin-poin tersebut dilanggar, mereka bersedia dikenai sanksi seberat-beratnya, termasuk mundur dari anggota legislatif.

Mengingat dampak negatif dari tidak adanya pengarusutamaan gender dalam kebijakan pemerintah, serta besarnya komitmen untuk memperjuangkan isu tersebut oleh sebagian Caleg perempuan, maka sudah saatnya masyarakat Indonesia mempertimbangkan untuk memilih Caleg perempuan dalam Pemilu 9 April mendatang. Karena sejatinya banyak persoalan-persoalan negara ini yang memerlukan keterlibatan perempuan di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun