Mohon tunggu...
Arif Budiman
Arif Budiman Mohon Tunggu... -

Arif Budiman, adalah mahasiswa jurusan Desain di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Disamping mempelajari keilmuan desain komunikasi visual, ia juga tengah menimba ilmu belajar ilmu jurnalistik, terutama untuk wilayah seni rupa. Ini menarik, 'membaca' karya seni lewat perspektif jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akreditasi Mestinya Kedepankan Peran Civitas di Luar Kampus

24 Oktober 2011   06:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:34 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Akareditasi hanya “cover” dari sebuah wajah jurusan di perguruan tinggi. Mungkin bagi calon mahasiswa yang ingin masuk perguruan tinggi, akreditasi menjadi indikator penilaian yang cukup diperhitungkan. Tapi tidak demikian dengan para mahasiswa yang sudah menduduki bangku perkuliah di jurusan yang tengah diakreditasi. Menilik pada sistem pengajaran akan lebih baik, daripada hanya menilai apakah kampus tersebut berakreditasi A, B atau C dari beberapa pos penilaian. Sistem pengajaran yang dimaksud adalah bagaimana mengamati adanya ketepatan penerapan kurikulum perkuliahan dengan jurusan yang tengah ditekuni, cara dosen mengajar (intelektual/SDM dosen). Contoh; ada mata kuliah yang tak sesuai dengan kapasitas yang ingin ditekuni oleh jurusan tersebut, atau dosen yang tak bisa berkomunikasi dengan baik saat mengajar (public speaking kurang).

Toh jika hanya memperhatikan nilai akreditasi, itu hanya bersifat legalitas semata. Misalkan saja beberapa bulan menjelang dikunjungi tim penilai akreditasi, kampus mulai berbenah-benah melengkapi data, memperbaiki fasilitas yang rusak dan melengkapi yang kurang. Pejabat kampus mulai sibuk, kasak-kusuk melakukan persiapan, bahkan sampai ada yang lembur di kampus. Tetapi sudah akreditasi diselenggarakan, suasana kampus tetap kembali seperti biasa. Tak bisa dielakkan juga, pelayanan yang mulai membaik saat menjelang akreditasi, menurun drastis setelah itu. Makanya, akreditasi hanya cocok sebagai “cover”. Tapi tak banyak yang mengedepankan kejujuran dari konten jurusan yang diakreditasi itu sendiri. Ya semestinya, jika kurang yang bilang kurang, belum lengkap ya sampaikan belum lengkap, termasuk tidak mampu yang bilang tidak mampu. Kadang menjelang akreditasi, kampus memaksa memperbaiki seluruh sistem. Inikan aneh. Semestinya persiapan perbaikan segala hal yang masuk dalam lingkup penilaian akreditasi dilakukan bertahap. Dan sudah ada perencanaan yang matang jauh sebelum dilakukan penilaian. Tidak beberapa bulan sebelum akreditasi.

Latas tolak ukur apa yang dirasa baik?

Cara melihat bagus atau tidaknya kampus itu salah satunya bisa diamati dengan melihat eksitensi dosen dan mahasiswanya berinteraksi diluar panggung perkuliahan. Semisal; mahasiswa dan dosen aktif menulis dikoran, pentas kesenian bersama, dosennya diminta memberi pandangan terhadap suatu kejadian, mahasiswanya diekspos media karena berprestasi dll. Dengan menyandang label kampus mana atau jurusan apa, kita bisa mengamati baik atau tidak kampus tersebut. Intinya sekali lagi lihat peran civitas akademikannya diluar kampus.

Mungkin demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun