copyright : dwi klik santosa [caption id="attachment_118673" align="aligncenter" width="300" caption="Pentas Teater"][/caption] BENARKAH INI BANGSA BESAR Panggilan kerakyatanku mengetuk-ketuk. Mari bertanya apa yang terbaik dan sebaiknya harus kita lakukan. salam budaya, Pondokaren 8 Juli 2011 : 07.3o Ini sebuah pentas yang layak ditonton bukan hanya oleh kalangan seniman belaka, melainkan juga mahasiswa, pekerja, siswa dan rakyat jelata. Bukan lantaran naskahnya garapan WS Rendra (alm) semata. Namun, "Mastodon dan Burung Kondor" ini juga sebagai aktualisasi dari jeritan rakyat atas berjenis-jenis kebobrokan negara. Dalam catatan sejarah teater di Indonesia, juga dalam catatan naskah-naskah Rendra yang lainnya. "Mastodon dan Burung Kondor" ini memiliki nilai (dan semangat perjuangan rakyat) yang lebih heroik. Dibandingkan, misalnya dengan "Panembahan Rekso", "Perjuangan Suku Naga", "Hamlet", dllnya. Yang tiap masing-masingnya, memang mencuatkan ruh keIndonesiaannya secara utuh. Naskah ini pertama kali dipanggungkan Bengkel Teater 24 Nobember 1973 di Stadion Kridosono, Yogya. Penotonnya meluber, pada sisi depan pintu masuk, sudah antre berjejalan para mahasiswa yang telah membeli tiket pementasan jauh hari. Jika tidak, pada malam pagelaran niscaya tiket sudah ditangan para calo. Hebat bukan ? Pada zaman setelah peristiwa 'Malari', ketika moncong bayonet dari bedil tentara masih gampang menyalak. Ternyata ada sebuah tontonan tonil yang tiketnya selalu ludas sebelum acara di mulai. Pesaingnya kala itu (yang dijubeli penonton) hanya ketoprak 'Siswo Budoyo' dari Tulungagung, pimpinan Ki Suwondo HS. Atas desakan dan keinginan masyarakat yang tak sempat menonton pentas di Yogya. Naskah yang digarap Rendra dalam rentang tahun 1971 - 1973 ini, kemudian digelar juga di Gedung Merdeka Bandung, 24 November 1973. Dilanjutkan di Istora Senayan Jakarta pada 15 Desember 1973 pula. Kini, sekian puluh tahun kemudian. Naskah ini kembali akan dimainkan di Grha Bhakti Budaya TIM, 11 - 14 Agustus 2011. Tentu sangat sayang jika Anda melewatkannya bukan ? Sengaja saya tak mengirmasikan sinopsisnya, agar Anda dapat menyimaknya sendiri. Nanti......... (salam sastra etnik - ayk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H