Mohon tunggu...
Arieyoko KSE
Arieyoko KSE Mohon Tunggu... lainnya -

::\r\nKomunitas Sastra Etnik (KSE) - \r\nAdalah sebuah bangunan rumah tanpa dinding hanya ada atap. Siapapun boleh singgah bercengkerama membagi gundah, bahwa "bahasa dan sastra etnik" kini kian lumat ditabrak bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa global yang terus menderas..... \r\n\r\n::\r\nBahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, yes...! Tapi, bahasa Indonesia bukan bahasa KEBUDAYAAN kita yang terdiri dari 746 ragam bahasa/sastra etnik di seluruh Nusantara....\r\n\r\n::\r\n Itulah sebabnya, sejak 2009 KSE terus berjuang tanpa letih.....\r\n\r\n::\r\nAyo selamatkan bahasa dan sastra etnik Indonesia. Selamatkan tradisi kita. Selamatkan kebudayaan kita.... (ayk)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Arieyoko : "Mastodon dan Burung Kondor" - Rendra

8 Juli 2011   07:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1310106895536780067

copyright : dwi klik santosa [caption id="attachment_118673" align="aligncenter" width="300" caption="Pentas Teater"][/caption] BENARKAH INI BANGSA BESAR Panggilan kerakyatanku mengetuk-ketuk. Mari bertanya apa yang terbaik dan sebaiknya harus kita lakukan. salam budaya, Pondokaren 8 Juli 2011 : 07.3o Ini sebuah pentas yang layak ditonton bukan hanya oleh kalangan seniman belaka, melainkan juga mahasiswa, pekerja, siswa dan rakyat jelata. Bukan lantaran naskahnya garapan WS Rendra (alm) semata. Namun, "Mastodon dan Burung Kondor" ini juga sebagai aktualisasi dari jeritan rakyat atas berjenis-jenis kebobrokan negara. Dalam catatan sejarah teater di Indonesia, juga dalam catatan naskah-naskah Rendra yang lainnya. "Mastodon dan Burung Kondor" ini memiliki nilai (dan semangat perjuangan rakyat) yang lebih heroik. Dibandingkan, misalnya dengan "Panembahan Rekso", "Perjuangan Suku Naga", "Hamlet", dllnya. Yang tiap masing-masingnya, memang mencuatkan ruh keIndonesiaannya secara utuh. Naskah ini pertama kali dipanggungkan Bengkel Teater 24 Nobember 1973 di Stadion Kridosono, Yogya. Penotonnya meluber, pada sisi depan pintu masuk, sudah antre berjejalan para mahasiswa yang telah membeli tiket pementasan jauh hari. Jika tidak, pada malam pagelaran niscaya tiket sudah ditangan para calo. Hebat bukan ? Pada zaman setelah peristiwa 'Malari', ketika moncong bayonet dari bedil tentara masih gampang menyalak. Ternyata  ada sebuah tontonan tonil yang tiketnya selalu ludas sebelum acara di mulai. Pesaingnya kala itu (yang dijubeli penonton) hanya ketoprak 'Siswo Budoyo' dari Tulungagung, pimpinan Ki Suwondo HS. Atas desakan dan keinginan masyarakat yang tak sempat menonton pentas di Yogya. Naskah yang digarap Rendra dalam rentang tahun 1971 - 1973 ini, kemudian digelar juga di Gedung Merdeka Bandung, 24 November 1973. Dilanjutkan di Istora Senayan Jakarta pada 15 Desember 1973 pula. Kini, sekian puluh tahun kemudian. Naskah ini kembali akan dimainkan di Grha Bhakti Budaya TIM, 11 - 14 Agustus 2011. Tentu sangat sayang jika Anda melewatkannya bukan ? Sengaja saya tak mengirmasikan sinopsisnya, agar Anda dapat menyimaknya sendiri. Nanti......... (salam sastra etnik - ayk)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun