. :: Sabtu, 12 Mei 2012 malam :: Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta, sontak menjadi berubah layaknya sebuah rimba. Batang-batang bambu berjajar tak aturan, glondongan kayu tumpang tindih, ikatan kayu bakar berserak, daun jati kering menyebar menjadi serpihan-serpihan. Dan, wayang raksasa perempuan Sarpakenaka serta wayang lelaki muda berwajah buruk Sukrosono menggantung di atas panggung. Ini memang bukan sebuah setting yang lazim untuk sebuah acara sastra. Bahkan di Yogya yang dikenal sebagai wadahnya banyak penyair hebat. "Biasanya, acara-acara sastra di Yogya panggungnya di setting ala kadarnya. Tak pernah semacam ini," ujar seorang penyair tua siang hari ketika menyaksikkan panggung tengah ditata. [caption id="attachment_181639" align="aligncenter" width="640" caption="Panggung Sastra Etnik, ciri khas Komunitas Sastra Etnik (KSE)"][/caption] Ide dan gagasan panggung yang unik, memang merupakan ciri khas dari KSE (Komunitas Sastra Etnik) yang digagas dan dimotori oleh Arieyoko asal Bojonegoro, Jatim. Mantan wartawan Koran Republika Jakarta ini, sejak 2009 terus tak kenal letih, memperjuangkan 'Kebangkitan Sastra Etnik'. "Sastra etnik harus dibangkitkan dan diperjuangkan. Sebab, sastra etnik adalah sastra Ibu, adalah sastra tradisi, adalah sastra asli Nusantara, kekayaan budaya kita yang sebenar-benarnya," tegas Arieyoko yang menolak sebutan dan pengkotak-kotakan sastra daerah (berarti ada sastra pusat) atau sastra lokal (berarti ada sastra non lokal). Pengertian dari sastra etnik, ujarnya, sebenarnya sangat sederhana. Bukan etnisitas, namun etnik yang berarti kebudayaan. Artinya, sastra etnik adalah sastra yang menggunakan bahasa dan idiom-idiom budaya setempat. Yang masing-masing wilayah berbeda. Karena itulah, dalam acara 'Gelar Sastra Etnik' kali ini, pun ditampilkan penyair dari Sukabumi (Anisa Afzal), dari Indramayu (Nurochman Sudibyo) dengan isterinya asli Tegal (Dyah Setyawati). Ada pula asal Semarang (Kiai Budi yang menampilkan tarian etnik Turki dan sajak-sajak Jalaludin Rumi). [caption id="attachment_181640" align="aligncenter" width="583" caption="Penyair Sukabumi : Anisa Afzal"]
[/caption] . [caption id="attachment_181641" align="aligncenter" width="417" caption="Penyair Nurochman (Indramayu) dan istrinya Dyah Setyawati (Tegal)"]
[/caption]
.
[caption id="attachment_181642" align="aligncenter" width="640" caption="Kiai Budi (Semarang) dengan sastra etnik Turki "]
[/caption]
.
Selain itu, tampil juga penyair dari Bali, Dhenok Kristianti serta Putri Suastini. Ada juga penyair asal Kupang yang bermukim di Malang, Ragil Sukriwul. Dari etnik Bugis, hadir penyair Bustan Basir Maras (Mandar). Dari Pekalongan, penyair Slamet Riyadi Sabrawi. Masing-masing membacakan puisinya yang kental dengan dimensi kebudayaan aslinya, dengan mencampurkan penggunaan bahasa tradisinya dengan bahasa Indonesia. [caption id="attachment_181643" align="aligncenter" width="366" caption="Penyair Bali, Dhenok Kristianti"]
[/caption] . [caption id="attachment_181644" align="aligncenter" width="480" caption="Penyair Bali, Putri Suastini"]
[/caption] . [caption id="attachment_181645" align="aligncenter" width="413" caption="Penyair Kupang bermukim di Malang, Ragil Sukriwul"]
[/caption] . [caption id="attachment_181646" align="aligncenter" width="480" caption="Penyair Mandar Bugis, Bustan Basir Maras"]
[/caption] . [caption id="attachment_181647" align="aligncenter" width="480" caption="Penyair Pekalongan, Slamet Riyadi Sabrawi"]
[/caption] . Penggunaan puisi dengan dwi bahasa tersebut, menurut Arieyoko sah adanya dan itulah sastra etnik. Bukankah hal serupa pun pernah digunakan oleh penyair-penyair lain di masa silam. "Saling mempengaruhi dalam sebuah karya kreatif adalah sesuatu yang wajar. Yang membedakan hanya soal penamaan, karena di zaman lalu, sistem kekuasaan Orba dan politik kebudayaannya sangat otoriter sekali. Sekarang reformasi kesusastraan juga harus dilakukan, tak perlu menggunakan dalil-dalil lama," ujar Arieyoko tegas-tegas. Yang pasti, tambahnya, sastra etnik adalah sebuah perjuangan menjaga - membangkitkan - menggelorakan kembali penggunaan-penggunaan bahasa dan sastra tradisi masing-masing. Sebab dalam kenyataannya, bahasa dan sastra tradisi kini kian terancam punah. Arieyoko mengutip pernyataan penyair Slamet Riyadi Sabrawai sebelum membacakan puisinya. Yang menyatakan, ada seorang penyair sastra Indonesia di Jakarta yang kini minta tolong agar puisi-puisi karyanya diterjemahkan pula dalam bahasa Jawa. Hal ini membuktikkan, munculnya kerinduan dan rasa sayang dari penyair nasional tersebut kepada bahasa Ibu tradisinya sendiri. "Hanya dengan sastra etnik kita membendung
gelontoran dan serbuan bahasa dan sastra global yang tak terbendung itu. Jadi, ada persoalan kebangsaan dan
nation building di dalam sastra etnik. Bukan sekadar kesusasteraan semata," papar Arieyoko. Penyair lainnya yang tampil malam itu, adalah Hj Sitoresmi Prabuningrat yang membacakan puisi WS Rendra berjudul 'Khotbah'. Ada pula penyair Pati, Anis Sholeh Ba'asyin tokoh pencetus Sampak Gusuran yang kerap muncul dalam siaran langsung di televisi. [caption id="attachment_181652" align="aligncenter" width="480" caption="Hj Sitoresmi Prabuningrat membacakan puisi WS Rendra "]
[/caption] .
[caption id="attachment_181653" align="aligncenter" width="480" caption="Penyair Anis Sholeh Ba"]
[/caption] Penyair lainnya yang membacakan puisinya dengan mempesona adalah Dedek Witranto dan Wijang Wharek dari Solo. Kemudian ada juga penyair Syam Chandra Mathiek, Hari Leo, Adjie S Mukhsin, Bambang Nur Singgih, Merit Hendra, Fauzi Abzal kesemuanya dari Yogyakarta. Hampir empat jam gelar acara Sastra Etnik yang gratis ini berlangsung. Cukup melelahkan memang. Sekaligus sebagai penanda bahwa sastra etnik selalu memiliki pesona keindahan dan keunikannya sendiri. Apa lagi didukung oleh musik dari Teater KSP dan Komunitas Sastra Sore, Tamansiswa Yogya. Yang menabuh gamelan lengkap dengan sangat rancak dan apik, menjadikan aksentuasi keindahan etniknya malam itu kian kental. "Banyak pujian ditujukan pada pagelaran malam itu. Namun, ada pula cemooh dan tak suka yang dilontarkan. Ah, itu sesuatu yang biasa bukan ? Yang pasti, perjuangan sastra etnik terus menggelora. Bukan untuk Arieyoko atau Anisa Afzal semata, melainkan untuk sejarah Nusantara ini," kata Arieyoko merendah. **** (Yogya, 12 Mei 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya