Mohon tunggu...
Arie Yanitra
Arie Yanitra Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia Merupakan Peranan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pandangan Buddhis Tentang Kekristenan

21 Mei 2011   18:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:23 3595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona



I. Sejarah Singkat Perjumpaan Buddhisme dengan Kekristenan

Komunikasi umat Buddhis dengan umat Kristen sudah terjalin sejak lama. Setidaknya informasi tentang Nama Budha disebut oleh Klemens dari Alexandria pada abad kedua, dan –dengan jalur perdagangan yang relatif bebas dan terbuka antara apa yang kini kita sebut dengan timur tengah dan daerah-daerah lainnya jauh di Timur, dimana Buddhisme saat itu cukup berkembang –hubungan antara orang Kristen dan Buddhis tentunya cukup sering terjadi. Namun demikian hubungan ini tidak banyak tersisa jejaknya dalam literatur yang dihasilkan oleh para intelektual dari kedua tradisi. Meskipun pada kenyataannya sejumlah orang kristen di Alexandria cukup mengenal Budhisme, pengetahuan ini tetap bersifat fragmentaris dan tidak akurat selama lima belas abad berikutnya, dan Buddhisme mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap kekristenan sampai permulaan ekspansi kolonial Eropa pada abad ke-16.[2]

II. Dasar Konseptual Pertimbangan Buddhis mengenai KeKristenan

Sejak awal umat Buddhis telah terbiasa berpikir mengenai pluralisme agama. Sang Buddha sendiri aktif di India sekitar lima ratus tahun sebelum permulaan era Kristen. Buddhisme muncul pada suatu periode ketika sejumlah gerakan keagamaan baru didirikan dan ketika Brahmanisme yang ortodoks masa itu mengalami tantangan. Oleh karena itu, umat Buddhis dengan cepat mengembangkan seperangkat alat konseptual untuk menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh keberadaan berbagai klaim dan komunitas keagamaan yang tampaknya tidak sesuai satu sama lain.[3]

Pertama-tama, dan barangkali yang paling penting, ada suatu prinsip metodologis, suatu prinsip yang berkaitan dengan hakikat doktrin-doktrin keagamaan. Secara singkat, menurut Paul J. Griffithsprinsip ini mengatakan bahwa doktrin-doktrin keagamaan memuat manfaat dan bukan kebenaran; bahwa makna pentingnya terkandung di dalam akibat yang ditimbulkan pada diri mereka yang mempercayainya; dan bahwa karena kondisi para pemeluk agama itu sangat berbeda-beda, doktrin-doktrin yang identik tidak akan menghasilkan akibat yang identik terhadap semua orang yang mempercayainya.[4]

Prinsip ini membuka pintu bagi metode yang fleksibel dan menarik dalam menghadapi klaim-klaim keagamaan yang tampaknya tidak sesuai satu sama lain. Karena kondisi pemeluk agama itu berbeda-beda mungkin sangat tepat bagi setiap orang untuk mengakui klaim-klaim yang saling berbeda dan terlibat dalam praktik-praktik yang tidak sesuai satu sama lain, karena suatu keyakinan yang mempunyai akibat-akibat yang cocok bagi sebagian pemeluk, mungkin bertolak belakang akibatnya bagi orang lain.[5] Dari prinsip-prinsip ini diperoleh gagasan bahwa sang Buddha sendiri sering mengajarkan doktrin-doktrin yang berbeda dan tidak sesuai satu sama lain kepada para pendengarnya yang berbeda-beda. Kecakapan kepemimpinan sang Buddha yang sempurna dalam melakukan hal ini, pengetahuannya yang mengajarkan agar mereka dapat melangkah maju menuju Nirwana, ditandai dengan istilah upayakaushalya (kecakapan dalam cara).[6] Pandangan Buddhis tentang doktrin keagamaan sebagai sarana untuk transformasi dan bukan sebagai gambaran realitas.[7] Pembedaan yang paling jelas anatara agama yang “memuaskan” dan tidak “memuaskan” menurut K.N Jayatilleke [Bab 10], dan dalam penekanan pada tujuan bersama dari semua komunitas keagamaan oleh Dalai Lama [Bab 12].[8]

Dalam memandang doktrin-doktrin dan praktik non Buddhis, umat Buddha tidak sekedar memandang manfaatnya belaka namun juga tentang kebenaran. Masalah kebenaran bagi umat Buddhis, mereka menganggap perspektif terhadap klaim kenbenaran dari agama lain bisa ada yang diterima bisa saja harus ada yang dipertimbangkan secara ulang.[9]

III. Pengaruh-Pengaruh Historis terhadap pertimbangan Umat Buddhis atas Kekristenan

Pertimbangan-pertimbangan Budhis terhadap orang Kristen dan kekristenan berkembang hampir semata-mata sebagai tanggapan terhadap tantangan-tantangan yang berkaitan dari kolonialisme dan kegiatan misioner Kristen. Secara sosio-politik kekuasaan eropa yang dianggap representasi kekristenan yang merupakan bagian penting dari budaya yang mendominasi mereka. Sehingga berdampak pada aspek yang kadangkala menjurus kepada kebencian, penolakan, dan diidentifikasi sebagai dominasi politik, militer, dan sosial.[10]

Penolakan ini semakin kuat ketika umat Buddhis menjadi sadar bahwa penemuan dan penegasan kembali identitas Buddhis membutuhkan kritik teerhadap kekristenan. Dalam retorikanya kita menemukan Anagrika Dharmapala [1864-1933], seorang pembaharu Buddhis Sri Lanka, yang menulis:

Agama-agama Semit tidak mempunyai latar belakang psikologi ataupun ilmiah. Yudaisme adalah agama yang ekslusif, dimaksudkan hanya untuk orang-orang Ibrani. Ia adalah monoteisme materialistik dengan Yahweh sebagai sebuah arsitek dunia yang terbatas. Kekristenan adalah kamuflase politik. Tiga aspeknya adalah ekspansi politik, perdagangan, dan imperial. Senjatanya adalah alkitab, tong-tong wiski, dan peluru.[11]

Retorika anti-Kristen ini menjadi umum (misalnya: di Asia Tenggara dan Asia Selatan) ketika para misionaris Kristen menjadi semakin agresif dan terang-terangan dalam upaya mereka melakukan kristenisasi.

IV Sikap-Sikap Buddhis Terhadap Agama Lain

Ajaran Sang Buddha yang sering tepat dan diterjemahkan (walaupun selamanya tidak selalu dapat diterjemahkan dengan tepat), mengandung intisari sikap yang dianjurkan dalam memilih ideologi-ideologi yang bertentangan sebagai dasar kehidupan. Katanya:

Ada sekelompok guru agama tertentu yang datang ke Kesaputta. Mereka memuji-muji teori mereka sendiri, tetapi menentang, mengutuj, dan menjelek-jelekkan teori orang lain. Kini kami menjadi binggung dan ragu, siapa diantara para pertapa yang terhormat ini yang mengucapkan kebenaran dan siapa yang mengajarkan kepalsuan.[12]

Sang Buddha sendiri mengajarkan bahwa jangan pernah menerima apa pun berdasarkan wahyu, tradisi, atau laporan, atau karena hal itu benar dari sudut pandang tertentu atau karena suatu pertimbangan yang dangkal terhadap fakta-faktanya atau karena hal itu sesuai dengan pemahaman-pemahaman seseorang yang telah dipradugakan atau karena hal itu berwibawa atau karena gengsi gurumu.[13]

Sikap kritis terhadap suatu pemahaman harus dipusatkan kepada Budhisme sendiri. Katanya:

Bila ada seseorangh yang berbicara buruk tentang diriku, doktrinku, atau Sanghaku, janganlah membenci dia, kecewa, atau gelisah hatimu; karena bila demikian maka hal itu akan menyakiti dirimu sendiri. Bila sebaliknya, ada seseorang yang memuji-muji aku, doktrinku. atau Sanghak,. Janganlah bergembira, tergetar, atau sukacita hatimu; karena bila demikian maka hal itu akan menghalangimu dalam memberikan penilaian yang realistis tentang sejauh mana kebajikan-kebajikan yang dipuji dalam diri kami itu memang sungguh-sungguh dan sebenarnya dijumpai di dalam diri kami.[14]

Beberapa tradisi serupa juga ditemukan dalam sebuah teks Buddhis dalam bahasa Sansekerta yang disebut Tattvasamgraha dan sebuah tulisan dalam bahasa Tibet yang disebut Jnanasamuccayasara. Tulisan tersebut mengatakan:

Seperti halnya para pakar menguji emas dengan jalan membakarnya, memotongnya, dan menggosokkannya pada batu api, pernyataan-pernyataan saya hanya boleh diterima setelah diuji secara kritis dan bukan karena rasa hormat kepada saya.[15]

Umat Buddhis menerima filsafat “kehidupan yang benar” [samma-ditthi] sebagai dasar kehidupan. Iman yang pada akhirnya berpuncak pada pengetanhuan yang disebut “iman yang rasional” [akaravati saddha] bukannya “iman yang tidak berdasar” [amulaki saddha]. Pandangan-pandangan yang tidak emosional dan tidak memihak tetapi kritis adalah sebuah konsepsi tentang sang Buddha melihat suatu sebab-akibat tentang alam yang bekerja dalam hukum-hukum fisik [utu-niyama], hukum-hukum biologis [bija-niyama], hukum-hukum psikologis [citta niyama], maupun hukum-hukum moral dan rohani [kamma-dhamma-niyama].

Pandangan yang benar tentang kehidupan [samma-dhitti] ini ada dua jenis (a) yang pertama adalah pandangan yang bercampur dengan dorongan-dorongan yang mengalir ke dalam [sasava] dan (b) yang kedua yang tidak begitu tercampur. Dorongan-dorongan ini adalah nafsu untuk pemuasan jasmani [kamasava], nafsu untuk kepentingan diri sendiri [bhavasava] dan ilusi [avijjasava].[16]

Sikap sang Buddha terhadap berbagai jenis agama, adalah Buddhisme menganggap sebagian dari agama-agama pengganti itu berada dalam pijakan yang sama dengan agama-agama praktis [brahmacariyavasa]. Dalam Sandakka Sutta, Ananda melaporkan gagasan-gagasan sang Buddha, mengatakan bahwa di dunia ini ada empat agama palsu [abrahmacariyavasa] atau agama yang salah, dan empat agama yang tidak memuaskan [Baca. anassasikam, tidak menghibur], tetapi tidak dengan sendirinya salah. Agama-agama palsu itu adalah materialisme, yang menerima realitas dunia material namun menyangkal adanya kehidupan yang berikutnya; kedua, filsafat keagamaan yang menganjurkan etika yang tidak bermoral; ketiga, agama yang menyangkal kehendak bebas dan hukum sebab-akibat moral serta menyatakan bahwa segala mahluk secara ajaib diselamatkan atau dikutuk; dan keempat, evolusionisme determenistik, yang mengajarkan bahwa pada akhirnya semuanya otomatis akan diselamatkan.[17]

V. Kritik Buddhis terhadap Konsep Kristen tentang Allah

Gagasan Kristen mendasar tentang pribadi atau realitas jiwa selalu terkait dengan gagasan tentang Allah. Pandangan semacam ini dikembangkan dan diteruskan oleh pandangan beberapa teolog Kristen semisal: Reinhold Niebuhr menekankan pentingnya Imago Dei. James Richmond berbicara tentang kunci untuk memahami Allah bahwa analogi yang dapat dipahami berperan penting, dstnya. Namun Umat Buddha memandangnya secara berbeda.

Pandangan Gunapala Dharmasiri barangkali mewakili sekelompok intelektual Buddhis tentang reaksi filosofis Budhis terhadap teisme Kristen yang menyatakan bahwa Allah yang kekal itu tidak mungkin ada. Umat Buddhis melihat jiwa sebagai prinsip yang kekal adalah sebuah gagasan favorit yang dapat dikenal dari Upanishad, dan karenanya Sang Buddha sangat akrab dengan konsepsi ini. Bagi Buddha untuk meneliti kemungkinan untuk menemukan jiwa yang kekal dalam kepribadian manusia dari unsur-unsur dasar kepribadian manusia, yakni: (a) tubuh (b) rasa (c) sensasi [indra] (d) kecenderungan (e) kesadaran.[18] Sang Buddha menekankan bahwa ketidakberkepribadian tubuh, kesadaran, dan lain sebagainya, dilihat ketika mereka terlihat sebagaimana sesungguhnya mereka ada [yathabutta].

Kadangkala jiwa sukar dibuktikan, bila tidak ada alasan untuk mempercayai teori tentang jiwa, maka pandangan semacam itu bagi Sang Buddha tidak dapat ditemukan pada sebuah penjelasan rasional maka asal-usulnya harus dilacak pada bias emosional.[19] Oleh karena itu gagasan-gagasan tentang “aku” dan “diri pribadi” sebagi “pikiran-pikiran yang dikejar-kejar oleh keinginan yang menyangkut diri batin seseorang”.[20] Misalnya, keinginan akan kehidupan yang kekal [bhavatanha] mungkin meneybabkan seseorang percaya dan menemukan rasa aman dalam gagasan tentang jiwa yang kekal. Sang Budha menjelaskan bahwa itu pun adalah nafsu dan bentuk kemelekatan terhadap kesadaran dan bentuk-bentuknya. Oleh karena itu maka Sang Buddha berpendapat bahwa gagasan tentang jiwa pada dasarnya adalah suatu bias emosional.[21] Walaupun pada kenyataan sang budha menolak gagasan tentang jiwa tidak berarti dia menolak konsep tentang suatu pribadi atau suatu mahluk. Menurut beliau, suatu pribadi, merupakan gabungan antara faktor-faktor psikis dan material.

Penekanan Sang Buddha terhadap tanggung jawab moral merupakan satu paket dalam konteks kelahiran kembali dan bukan mengenai masalah identitas pribadi.[22] Suatu pribadi erat kaitannya dalam rangkaian kontinum sebab-akibat. Menurut sang Buddha, suatu abstraksi sewenang-wenang bila kita berbicara tentang jiwa sebagai pengenal, pemikir, dan sebagainya karena ini melibatkan faktor seperti organ perasa dan tubuh.[23] Oleh karena itu, bagi seorang Buddhis, konsepsi tentang Allah itu baik bersifat analog maupun identik dengan jiwa tidak masuk akal.[24] Bagi Buddhis konsep mengenai jiwa adalah konsep yang secara moral dan rohani membangun tidak bisa menjadi analogi yang baik bagi Allah yang sempurna secara moral dan rohani.[25]

VI Penyadaran Diri dan Iman Zen dan Agama Kristen

Bagi Masao Abe, dia meragukan iman, dalam pengertian Kristen, yang cukup radikal untuk menghasilkan keselamatan.[26] Dialog mengenai Zen yang mencari pengetahuan yang benar dengan cara menekankan gagasan tentang nir-Buddha atau non Buddha. Zen merupakan agama yang ateistik dan bukanlah teistik.

Seorang guru Zen pernah berkata, “Ada sebuah kata yang tidak suka saya dengar, yakni Buddha. Rinzai seorang guru Zen Tiongkok masa dinasti T’ang (618-907) berkata:

Kalau kamu ketemu bertemu Buddha, bunuhlah Buddha. Kalau kamu bertemu leluhur, bunuhlah leluhur ... hanya dengan cara demikianlah orang benar-benar mencapai pembebasan dan ketidakmelekatan terhadap segala sesuatu, dan dengan demikian sama sekali menjadi bebas merdeka”.[27]

Kesadaran tentang Ketiadaan yang mutlak di dalam Zen adalah kesadaran tentang Diri sejati kita. Zen tidak menerima konsep tentang yang mutlak satu-satunya dan menekankan Ketiadaan.[28] Konsep ini menjelaskan pada ajaran Buddha tentang asal usul sama yang saling bergantung [pratiya-samutapada, Jepang. Engi]. Mereka menolak bahwa Allah tidak tergantung manusia, sebaliknya manusia bergantung kepada Allah. Hal itu menolak pembenaran jika Allah ada, maka dunia ada dan sebaliknya.[29] Dasar ontologis ini didapat ketika Sang Buddha menolak pandangan tradisional Upanishad tentang Brahman sebagai kekauatan alam tertinggi dan memberitakan bahwa segala sesuatu tanpa kecuali bersifat semenatara dan dapat musnah, tidak ada suatu pun yang tidak dapat berubah dan kekal.[30] Kesadaran kristen tentang kefanaan manusia dalampengertian keberdosaannya dan gagasan keselamatan melalui Yesus Kristus tampaknyan tidak cukup tuntas mencapai Kenyataan Tertinggi.[31] Bagaimanapun juga menurut Abe, Zen juga memiliki kelemahan yakni bergantung kepada ontologis dibandingkan pemahaman Kristen tentang keberadaan Allah yang berorientasi terhadap tindakan Kekristenan. Hal yang lain adalah dapat dibenarkannya gagasan tentang Allah dalam pengertian bahwa Dia adalah Allah pribadi yang hidup dalam sifat etis yang membenarkan manusia kendati keadaannya yang berdosa melalui kasih yang tak bersyarat.[32]

VI Tanggapan

Sang Buddha mula-mula hanya mengajarkan empat kesunyataan mulia [Cattur Arya Sattyani] dan delapan jalan utama [Hasta Arya Marga]. Empat kesunyataan mulia diungkapkan sebagai berikut: (a) Semua bentuk kehidupan adalah penderitaan [Dukkha], (b) Penderitaan disebabkan oleh nafsu atau keinginan yang rendah [Tanha] (c) Dengan lenyapnya Tanha lenyap pula Dukkha dan itulah Nirwana.Cara atau jalan untuk melenyapkan Dukkha adalah delapan jalan utama: (a) Pengertian yang benar, (b) Pikiran yang benar, (c) Ucapan yang benar, (d) Perbuatan yang benar, (e) Mata pencaharian yang benar, (g) Daya upaya yang benar, (h) Perhatian yang benar, (i) Konsentrasi yang benar.Manfaat jalan tengah tersebut menurut pengikut Buddha: memberikan kedamaian, pengetahuan, penerangan, melenyapkan kebodohan, nafsu jahat dan serakah yang merupakan sumber dari penderitaan. Artinya bermula dari sebuah ajaran yang sederhana pada 2500 tahun yang lalu,ternyata saat ini –bersamaan dengan perkembangan jaman- perjumpaaan umat Buddhis dengan Kekristenan dalam dunia global semakin tidak terbendung.

Konteks Buddhis yang mau tidak mau harus berjumpa dengan wajah Kekristenan dalam segala aspeknya [politik, sosial, ekonomi, budaya, dan teologis] membuat umat Buddha kembali berbenah diri dalam menjalani perjumpaannya bukan hanya dengan agama lokal, Hindu, Islam, dan Konfusianisme di awal perjalanan abad ke 21. Keinginan kembali bersikap kritis dan mempertanyakan hakikat diri sendiri mulai dipelajari secara sepenuhnya oleh intelektual Buddhis dan para pengikutnya. Sikap positivistik umat Buddha ini menjadi pelajaran yang berhikmat dan bijaksana yang dapat diteladani oleh Kekristenan yang dalam berbagai aspek meyakini kesamaan bahwa ‘Kasih’ adalah hal yang mendasar dalam perjumpaan manusia. Seperti yang tertulis dalam ajaran Buddhis bahwa:

Kebenaran adalah ucapan yang kekal

Inilah hukum abadi

Kebencian tidak hilang oleh kebencian

Kebencian hilang oleh karena cinta kasih

Inilah hukum yang abadi.[33]

Dan dalam beberapa hal Kristen dapat bekerja secara bersama-sama membangun peradaban dunia yang lebih humanistik bersama umat Buddhis. Untuk inilah panggilan yang berbudhi dan berbudaya dapat kita dorong bersama-sama melalui tindakan seperti yang Abe katakan mengenai unsur kekristenan yang positif tentang konsep Allah Kristen.

[1]Paper ini dibuat oleh Arie Yanitra.

[2]Paul J. Griffiths. Kekristenan di Mata Orang Bukan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 241.

[3]Ibid., 242-243.

[4]Ibid., 243.

[5]Ibid., 243.

[6]Ibid., 244.

[7]Ibid., 244-245.

[8]Ibid., 246.

[9]Ibid., 246.

[10]Ibid., 248.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun