Mohon tunggu...
Muhammad Arif Rahman
Muhammad Arif Rahman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@arievrahman - a seasonal traveler, money season for the exact. http://backpackstory.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benthik, Apa Kabarmu Kini?

11 Juli 2013   14:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:42 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13735051991952352737

[caption id="attachment_274145" align="aligncenter" width="285" caption="Benthik"][/caption]

"Ma, ada sapu ijuk yang sudah gak terpakai?" Saya bertanya sepulang dari Sekolah Dasar sore itu.

Mama yang mendengarnya beranjak ke dapur, menuju ke salah satu sudutnya, dan memberikan sapu dengan kondisi yang sangat mengenaskan karena sebagian besar ijuk sudah terlepas dari penyangganya dan hanya menyisakan batang sapu yang masih kokoh. "Memangnya mau buat apa?"

"Mau buat benthik!" Tukas saya dengan riang.

"Hah?"

***

Siang itu, seusai sekolah, saya mendengar sorak-sorai ramai di halaman belakang sekolah. Saya yang penasaran pun mengintip dari jendela kelas yang kebetulan menghadap ke halaman belakang, dan pemandangan yang saya dapatkan sungguh membuat saya bergejolak, penuh semangat.

Sekelompok anak-anak --yang terdiri dari dua kelompok-- sedang asyik bermain dengan menggunakan sepasang stik (satu berukuran kecil, dan satunya lebih panjang), yang saat itu saya tak tahu apa nama permainan itu. Kelompok pertama bertugas sebagai penyerang, sementara kelompok kedua bertugas bertahan. Setelah beberapa saat mengamati, saya menarik kesimpulan bahwa permainan ini terbagi menjadi tiga tahap, yaitu:

  1. Babak pertama, stik pendek diletakkan horizontal di atas lubang tanah sedalam ±15 cm, dengan lebar ±3cm dan panjang ±6cm. Kayu tersebut akan diungkit dan ditolak sejauh mungkin oleh tim penyerang, dan tim yang bertugas bertahan akan berusaha menangkapnya. Jika stik pendek tak berhasil ditangkap, tim bertahan melemparkan stik pendek tersebut ke arah stik panjang yang kali ini diletakkan horizontal di atas lubang. Jika dapat mengenai stik panjang tersebut, maka tim penyerang berganti giliran bertahan, atau diteruskan ke anggota penyerang berikutnya jika masih ada anggota yang belum mendapat giliran. Hal tersebut juga berlaku jika stik pendek tersebut tertangkap, dan tim bertahan yang berhasil menangkap akan mendapat poin 5 jika ditangkap dengan kedua tangan, 10 jika ditangkap dengan tangan kanan, dan 15 jika ditangkap dengan tangan kiri. Tim penyerang berhak melaju ke babak berikutnya jika pemain bertahan gagal menunaikan tugasnya.
  2. Babak kedua, penyerang bermain dengan cara melempar stik pendek untuk dipukul sebanyak-banyaknya dan sejauh mungkin dengan menggunakan stik panjang. Tim bertahan, bertugas menangkap stik pendek itu. Jika tidak tertangkap, maka stik pendek akan dilemparkan kembali ke arah lubang awal. Menariknya, di sini penyerang bisa memblok lemparan dengan stik panjang, dan memukulnya sejauh mungkin layaknya olahraga kasti. Seru bukan? Penghitungan poin diperoleh berdasarkan selisih jarak jatuhnya stik pendek ke lubang awal, yang dihitung berdasarkan ukuran stik panjang. Misal jaraknya sejauh 3x stik panjang, maka tim penyerang akan memperoleh poin 3 x 5 = 15 poin. Yang bikin tambah semangat, poin ini dapat dilipatgandakan sebanyak hasil pukulan stik pendek tadi. Misal tadi stik pendek dipukul 2x, maka poin akan menjadi 15 x 2 = 30 poin.
  3. Babak tiga, yang disebut juga babak patil lele --karena posisi stik pendek yang diletakkan secara vertikal dan miring (separuh bagian di dalam lubang, separuhnya lagi di luar.) di mulut lubang, menyerupai patil/kumis lele-- dilakukan dengan cara memukul stik pendek dengan stik besar sehingga terpelanting ke udara. Poin dihitung setelah memukul stik tersebut sebanyak-banyaknya dan sejauh-jauhnya seperti pada babak dua, namun kali ini bukanlah 5 pengalinya, melainkan 10 poin. Pemain bertahan bertugas sama seperti babak dua, dan permainan berakhir apabila penyerang tidak dapat memelantingkan stik pendeknya. Apabila babak tiga ini berhasil dilalui dengan baik oleh tim penyerang, maka permainan diulang dari babak satu lagi, dan akan berganti tugas (tim penyerang menjadi tim bertahan) apabila penyerang gagal pada babak ini.

“Saya boleh ikut main?”  Ucap saya ke mereka kemudian, berharap diajak ikut bermain.

“Wah, anak kecil gak boleh ikut main. Benthik ini mainannya anak gede.” Ledek mereka setelah melihat ukuran badan saya. Namun ledekan mereka tak membuat saya patah semangat, dan memutuskan untuk membuat sendiri peralatan permainan tersebut di rumah.

“Oh, namanya benthik ya?”

***

Ada yang bilang pohon asem merupakan bahan terbaik untuk membuat stik benthik, dan ada yang mengatakan bahwa pohon jambu bijilah yang paling kuat. Dan sekarang saya menatap gagang sapu pada tangan kiri, dan gergaji yang saya temukan di gudang pada tangan kanan saya. Saya tak peduli, apa nama kayu ini dan sekuat apakah kayu ini nantinya. Yang terlintas dari pikiran saya adalah, saya ingin bermain benthik, segera.

Beberapa saat kemudian, dengan memegang sepasang stik (satu berukuran pendek, dan satunya lebih panjang), saya mendatangi rumah tetangga-tetangga saya yang seusia, mengajaknya berkumpul di lapangan.

“Emang kita mau main apa sekarang, Rif?”

“Benthik!” Jawab saya dengan penuh semangat.

***

Benthik, merupakan permainan tradisional yang telah lahir sebelum tahun 70-an di Jawa Tengah. Selain menyenangkan, benthik juga dapat meningkatkan kerjasama dan kebersamaan antar pemain-pemainnya. Seiring perkembangannya, muncul banyak aturan-aturan tidak baku dari permainan ini yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Permainan ini sempat mencuat lagi pada tahun 90-an, namun menghilang di tahun-tahun berikutnya. Sayang sekali, padahal permainan tradisional khas Indonesia macam inilah yang seharusnya kita lestarikan. Harapan saya, masyarakat juga rekan-rekan Indonesia Travel dapat membantu mengangkat kembali permainan tradisional supaya tidak punah dari Bumi Indonesia ini.

Keterangan: Gambar di atas diambil dari sini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun