Mohon tunggu...
Nabilah Rosyadah
Nabilah Rosyadah Mohon Tunggu... -

If you wanna see me. You can see me on my arts.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FFA] Jika Ibu tidak Ada

18 Oktober 2013   20:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:21 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nabilah Rosyadah No.177

“Arka, ayo makan” Ibu Arka, seorang wanita paruh baya menyodorkan sepiring nasi goreng kepada Arka. Anak laki-laki berusia 12 tahun itu baru saja selesai mandi pagi. Arka menggelengkan kepalanya. “Arka nggak mau makan! Bosan!” tegasnya. Ibu Arka memandang Arka dengan sedih. “Kamu mau sarapan apa nanti ibu buatin?” tanya Ibu Arka. “Arka nggak mau masakan ibu lagi! Nggak enak!”. Arka bergegas masuk ke kamarnya untuk memakai seragam. Begitu selesai merapikan diri, dia berlarian keluar rumah.

“Minum susu dulu Arka!” teriak Ibu Arka.

Arka menghiraukan Ibunya.

Diperjalanan sekolah. Arka bertemu teman-temannya, Zila dan Sena. Mereka melambaikan tangan pada Arka. Ditangan mereka berdua tampak dua plastik yang berisi nasi uduk. Kemungkinan mereka mampir dulu ke warung Bik Minah yang memang berjualan nasi uduk tiap pagi. Arka menelan ludah melihat nasi uduk. Perutnya mulai keroncongan. Kebiasaan sarapan sejak kecil membuatnya tidak tahan jika tidak sarapan, tapi karena ia bosan sarapan nasi goreng buatan ibunya maka ia memilih untuk menahan laparnya pagi ini.

Arka ingat sesuatu. Semalam ia juga tidak makan!. Ibunya memasak sop ayam. Ia tak selera untuk memakannya karena rasa sop yang hambar, tidak enak. Ah, Arka memegang perutnya. Rasa laparnya semakin menjadi.

“Kalian beli nasi uduk di warung bik Minah ya?” tanya Arka. Zila dan Sena manggut-manggut.

“Ibuku tadi memasak bakwan, tapi karena adik-adikku banyak dan bakwannya sedikit. Aku harus memberikan bakwan bagianku untuk mereka” cerita Zila. “Akhirnya ibu menyuruhku mengganti sarapan dengan nasi uduk bik Minah”.

“Arka, kau sarapan apa pagi ini?” tanya Zila. “Ibuku memasak nasi goreng” jawab Arka pelan. “Ibumu sangat suka memasak nasi goreng ya? Hampir setiap hari kau sarapan itu kan?” lanjut Zila. Arka mengangguk. “Iya, sampai aku bo-“ Arka menghentikan kata-katanya.

Arka menoleh pada Sena. Wajah Sena terlihat sendu memandangi nasi uduknya. “Apakah masakan ibu kalian enak?” tanya Sena sedih.

“Ya masakan ibuku enak sekali sampai kami harus berebutan memakannya” jawab Zila.

“Syukurlah kalian masih bisa memakan masakan ibu kalian, syukurlah” Sena tersenyum sedih. “Aku sudah tidak makan masakan ibu sejak bulan lalu”.

Seorang gadis berseragam SMP berlarian memanggil Sena. “Sena! Ayo cepat pulang. Ibu semakin sekarat” kak Ani, kakak Sena menarik tangan Sena dengan erat. Wajahnya terlihat sangat panik. Raut muka Sena semakin kelam. “Zila, Arka. Maaf, aku pergi dulu ya”. Sena dan kakaknya berlarian.

Arka dan Zila memutuskan untuk mengikuti Sena dan kakaknya. Mereka berlarian melewati rumah-rumah kumuh, jalan sempit dan berlobang hingga akhirnya tiba disebuah rumah kayu berukuran kecil. Beberapa orang terlihat menangis.

“Cepat beli kafan! Beli juga harum-haruman” teriak seorang bapak-bapak

“Pasang bendera kuning di depan jalan!”.

“Tolong kabarkan lewat pengumuman mesjid!”.

Sena dan kakaknya memasuki rumah dengan perasaan sangat kacau. Arka dan Zila terdiam didepan pintu masuk, mereka melihat tubuh ibu Sena terbaring dengan tubuh dan wajah tertutup kain putih. Sena dan kakaknya membuka kain yang menutupi wajah ibu mereka.

“Ibu, ini sudah pagi bu. Ayo bangun” bisik Arka sedih. Air matanya kembali terjatuh.

“Ibu!” kakak Sena memanggil ibunya.

Ibunya diam membisu. Tidak bereaksi meski Sena dan kakaknya menguncang tubuh kurusnya. Sena dan kakaknya terus memanggil ibu mereka dengan suara pilu. Beberapa orang dewasa terlihat memeluk mereka dengan hangat. “Ibu kalian akan pergi ke surga”. Mereka berusaha menenangkan Sena dan kakaknya.

“Kasihan sekali mereka berdua. Tidak punya ayah sejak masih sangat kecil, sekarang harus kehilangan ibunya”

“Ibu mereka sakit apa memangnya?”

“Kanker. Karena tidak punya biaya untuk berobat, jadinya seperti ini”

Perbincangan para pelayat terdengar jelas oleh Arka dan Zila. Mereka terus memandang kearah Sena, kakaknya dan jenazah ibu Sena dengan sedih.

Tak lama kemudian rumah kecil itu penuh oleh pelayat yang berdatangan. Pihak sekolah Sena dan kakaknya juga datang. Jenazah kemudian diurus oleh keluarga. Setelah pemandian jenazah selesai, jenazah dikafani, disholatkan dan dimakamkan.

Ketika melihat Sena dan kakaknya menaburkan bunga diatas gundukan tanah makam ibu mereka. Diam-diam Arka berfikir. “Bagaimana jika ibu tiba-tiba meninggal?”. Memikirkan hal itu, Arka mulai menangis. Ia merasakan apa yang dirasakan oleh Sena dan kakaknya.

Jika ibu tidak ada. Aku tidak bisa sarapan setiap hari, siang dan malam hari juga. Meski masakan ibu tidak enak dan membuatku bosan, tapi ibu ada. Ibu memasak untukku.

Jika ibu tidak ada. Tidak ada yang akan mendoakanku. Bukankah pak guru bilang doa orang tua adalah doa yang paling cepat dikabulkan Tuhan?.

Jika ibu tidak ada. Maka aku akan kesepian. Ibu adalah bagian dari diriku.

Jika ibu tidak ada. Aku akan menangis setiap hari.

Jika ibu tidak ada. Aku tidak tahu bagaimana jika aku tidak punya ibu lagi.

Aku tidak mau jika ibu tidak ada!.

Arka terus menangis. Setelah pemakaman ibu Sena selesai. Arka segera pulang dan memanggil ibunya. “Ibu! Ibu!”. Arka mencari ibunya disegala penjuru rumah. Ia sangat ingin bertemu ibunya.

“Ibu! Ibu!”.

Arka sangat takut kehilangan ibu. Sangat takut ibunya menghilang dari dunia ini.

Arka menangis didepan pintu masuk. Ia tak menemukan ibu dirumah. “Ibu! Ibu!” ia terisak.

“Arka? Kamu sudah pulang?” Arka mendengar suara ibunya. Ia segera menghapus air mata dan menoleh, ibunya tengah berdiri sambil tersenyum lembut. “Tadi ibu mampir melayat ke rumah Sena. Ibu baru tahu kalau ibu Sena meninggal”. Arka memeluk ibunya. “Maaf karena Arka pagi tadi mengatakan masakan ibu tidak enak dan membosankan. Maaf”.

Ibu Arka memeluknya erat. “Iya sayang”.

“Arka bahagia Tuhan masih mengijinkan Arka bertemu Ibu”. Arka membenamkan wajahnya pada pelukan ibunya. “Arka benar-benar bersyukur masih bisa memeluk Ibu”.

“Ibu juga bersyukur karena masih bisa bertemu Arka”.

Arka mempelajari satu hal dari peristiwa meninggalnya ibu Sena. Ia belajar bersyukur atas kehadiran ibunya sampai detik ini.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Communitydengan judul: Festival Fiksi Anak Dan, jangan lupa bergabung di group FB Fiksiana Community.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun