"Gua bingung bagaimana cara mulai puisi... barangkali gua memang bukan penyair"
Hayan mencabut secarik kertas dari mesin ketik, menyobeknya hingga kecil-kecil. Jam sudah menunjukkan pukul 02.30 dini hari, tapi laki-laki itu masih terjaga seraya sibuk menulis kalimat puisi tiada henti. Dia kemudian menghela napas, merebahkan punggungnya ke kursi, dan membiarkan kakinya naik ke atas meja. Hayan menatap langit-langit, imajinasinya bergelora tapi entah rasanya sulit dia tuliskan menjadi kata-kata.Â
Setelah diskors selama seminggu, Hayan berniat mengubah perilakunya serta memulai hobi yang baru. Miranda memberi saran padanya untuk menulis puisi atau menjahit baju dikala senggang. Kegiatan ini juga bagus untuk mengalihkan emosi di hatinya. Namun, pengalaman yang masih sedikit membuat Hayan malah kewalahan mengerjakannya. Dia sibuk memikirkan hal lain.
"Baru inget kemarin novel Andi belum dikembalikan, apa besok saja ya?"Â
Sejenak ponselnya berdering, "Andi? tumben jam segini"
"Yan! besok masuk?"
"Iya, di rumah juga ngapain lagi? Udah lima hari ngurung di kamar kayak 1Hikikomori, gua menolak jadi vampir." Hayan bergurau, terdengar Andi tertawa di ponsel.
"Mending ikut gua, kita keliling lihat bangunan-bangunan tua."
Hayan terdiam sambil memejamkan matanya rapat, hawa kantuk mulai terasa di tubuhnya. Tak sadar, akhirnya dia malah mengiyakan ajakan Andi.
"Oke, tapi jemput di rumah. Motor disita bokap kemarin" Ponsel kembali tergeletak di meja, komunikasinya belum terputus. Hayan akhirnya terlelap tanpa menyadari peringatan Andi besok pagi.
"Gua matiin ya, Yan? jam 7 kalau belum nongol di pager gua tinggal"