Dunia perpolitikan Indonesia saat ini sedang melirik para perempuan untuk dicalonkan menjadi pejabat legislatif maupun eksekutif. Di Jawa Timur, pencalonan Khofifah Indarparawansah pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur putaran pertama yang lalu, membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan ternyata dirindukan oleh masyarakat, hal ini dibuktikan dengan perolehan suara Khofifah yang cukup tinggi dibanding 3 (tiga) calon gubernur yang lain. Pada akhirnya suara-suara untuk Khofifah tersebut membawanya bersaing dengan Karwo pada Pemilihan Gubernur putaran kedua nanti. Fenomena lain di Jawa Timur adalah banyaknya camat dan lurah yang dipilih dari perempuan. Pemenangan Ratu Atut dalam Pemilihan Gubernur Banten dan cara kepemimpinannya selama ini menjadi bukti bahwa perempuan memiliki kapabelitas yang sama dengan laki-laki dalam dunia perpolitikan.
Bukti lain yang akhir-akhir ini ditemukan adalah pemasangan spanduk-spanduk, baleho-baleho dan poster-poster di sudut-sudut jalan raya, menunjukkan bahwa banyak partai mencalonkan kader perempuannya untuk menjadi pejabat legislatif. Isu gender dan kelebihan-kelebihan perempuan yang tidak dimiliki laki-laki dijadikan dasar pemilihan perempuan dalam kancah dunia legislatif maupun eksekutif di Indonesia. Kelebihan-kelebihan perempuan yang tak dimiliki laki-laki tersebut misalnya perempuan dianggap lebih ‘telaten’ dari pada laki-laki, lebih jujur, lebih bertanggug jawab dan lain-lain.
Indonesia, sebagai negara yang mayoritas penduduknya pemeluk agama Muhammad, kepemimpinan perempuan menjadi sebuah permasalahan yang cukup signifikan untuk diperbincangkan, oleh karena dalam Islam, masih ada perdebatan mengenai legalitas perempuan menjadi pemimpin.
Para pemikir Islam tradisional seperti para pengarang kitab-kitab tafsir klasik sekelas Ibnu Katsir, al-Thabari,al-Zamakhsyari, al-Nawawi, masih menganggap bahwa kepemimpinan perempuan tidak dibenarkan dalam Islam. Dasarnya adalah Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34 :
Al-rijalu qawwaamuuna ala al-nisaa’
Artinya : ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”.
Lafadz ’qawwamuun’ diartikan oleh para pemikir Islam tradisional dengan arti pemimpin. Mereka men-genenal-kan ayat ini untuk semua keadaan dan semua tempat.
Dari ayat tersebutlah, asumsi bahwa kepemimpinan perempuan dilarang, oleh karena secara intelektual perempuan lemah, perempuan adalah makhluk domestik, perempuan adalah aurat sehingga tidak boleh keluar rumah, pendapat seperti ini dikemukakan para ahli fiqh klasik semisal al-Syaukani, al-Syafi’i, al-Baghawy dan al-Manawy. Sehingga hanya laki-lakilah yang berhak menjadi pemimpin.
Selain dasar dari Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34 tersebut, para pemikir Islam tradisional juga berpedoman pada Hadist Nabi Riwayat Imam Bukhari dari Abi Bakrah yakni :
”Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan”. (HR. Imam Bukhari).
Hadist tersebut ditelan mentah-mentah begitu saja, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadist tersebut), dengan kata lain, dalam konteks apa hadist tersebut turun. Oleh karena Islam selalu mengajarkan dua hal, yakni teks dan konteks. Kedua hal tersebut harus senantiasa dipertimbangkan dalam menilai sebuah masalah. Mengesampingkan salah satu dari 2 hal tersebut, mengakibatkan pemahaman yang parsial, yang bisa berakibat pada ketidak-optimalan menentukan legalitas suatu masalah.
Islam adalah agama yang memposisikan sama antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13 yakni :
”Hai manusia, kami ciptakan kalian dari laki-laki dna perempuan, dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa adalah agar kalian saling mengenal. Sesuangguhnya yang paling mulya diantara kalian adalah yang paling takwa”.
Atau dalam Qur’an Surat al-Taubah ayat 71 yakni :
”Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, satu dengan yang lain saling menjadi penolong”.
Dan dalam Hadits Nabi Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi menyebutkan :
”Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki”.
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist di atas, jelas, Islam memposisikan sama antara laki-laki dan perempuan. Satu hal yang membuat satu dengan yang lain berbeda adalah tingkat ketaqwaannya.
Secara historis, Islam memiliki perempuan-perempuan tangguh yang berperan dalam kehidupan social maupun politik. Al-Qur’an menyebut nama Ibu Nabi Musa (Umm Musa), Maryam, Bilqis (Ratu Saba’), dan Hajar, Ibu Nabi Ismail.
Nama ibu Nabi Musa disebut dalam Qur’an Surat al-Qashash ayat 7 sebagai berikut :
”Kami wahyukan kepada Ibu Musa : Susuilah dia, dan jika kamu mengkhawatirkannya, maka jatuhkan ia ke sungai dan jangan kamu khawatir maupun sedih. Sungguh! Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya salah seorang rosul kami”.
Islam melalui ayat di atas, menyampaikan hal penting yakni, bahwa tidak hanya laki-laki yang menerima wahyu, namun perempuan juga diberi keistimewaan untuk menerima wahyu.
Perempuan istimewa lain yang disebutkan al-Qur’an adalah Maryam, sebagai penerima amanat Tuhan terbesar untuk melahirkan dan menyelamatkan anak. Sebagaimana dikisahkan ketika utusan Allah datang kepada Maryam membawa pesan bahwa dia akan mengandung seorang anak, Maryam menjawab sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat Maryam ayat 20:
”Bagaimana aku dapat mengandung seorang anak, padahal tak ada seorangpun menyentuhku, dan aku juga bukan seorang pezina?”.
Dan saat melahirkan tiba, Maryam juga merasakan sakit yang luar biasa seperti perempuan lainnya, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat Maryam ayat 23 :
”Alangkah baiknya, andai aku mati saja sebelum ini dan menjaid orang yang dilupakan(dari pada merasakan sakit seperti ini)”. Kemudian al-Qur’an menunjukkan simpatinya, ”Janganlah bersedih” (Q.S Maryam : 24), dna meimntanya makan, minum dna bersenang hati (Q.S Maryam : 26).
Perempuan istimewa lain yang disebutkan al-Qur’an adalah Bilqis, ratu Seba. Seorang perempuan yang memerintah suatu kaum. Saat menceritakan kepemimpinan Bilqis ini, al-Qur’an tidak sedikitpun mencemooh kepemimpinannya, justru sebaliknya, al-Qur’an sangat memuji perilaku politik dan agamanya.
Tidak ada satupun sumber hukum dalam Islam yang saling bertentangan, apabila dipahami secara meyeluruh dan tidak parsial. Misalnya Surat An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi :
”al-rijalu qawwamuna ’ala al-nisa’ bi ma fadldlolallohu ba’dluhum ‘ala ba’dlin wa bima anfaqu min amwalihi “
Menurut para pemikir Islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, Aminah Wadud, Ashgar Ali engineer, Quraish Shihab, Masdar Farid Mas’udi, ayat tersebut adalah dalam konteks ketika al-Qur’an berbicara mengenai kehidupan berumah tangga. Suami (laki-laki) dilebihkan (untuk menjadi pemimpin) dalam rumah tangga, adalah apabila ia mampu melaksanakan kewajibannya menafkahi keluarga dengan baik. Akan menjadi sebaliknya, apabila peran pencari nafkah berada pada perempuan, tentunya perempuanlah yang dilebihkan (sebagai pemimpin) dalam rumah tangga. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hasil penelitian Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa terdapat 60% perempuan Indonesia harus menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya.
Dengan demikian, oleh karena ayat di atas hanyalah berbicara dalam ruang lingkup kehidupan berumah tangga, maka tidak layak, apabila ayat ini dibawa sampai pada kehidupan sosial politik.
Sedangkan Hadist Nabi Riwayat Imam Bukhari dari Abi Bakrah yang menyatakan :”Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan”, adalah hadist ahad (hadist diriwayatkan oleh 1 orang saja) tidak mutawattir (hadist yang diriwayatkan oleh banyak orang yang adil, kuat daya ingatnya dan saling berkesinambungan). Hadits tersebut muncul dalam konteks khusus yakni ketika Nabi berbicara mengenai kisah Raja Kisra yang merobek surat Rasululloh, suatu saat Raja tersebut dibunuh anak laki-lakinya (Syiruyah). Ketika anak laki-laki ini menjadi raja, ia juga membunuh saudara–saudaranya. Namun kemudian ia (syiruyah) mati karena diracun. Pada akhirnya kerajaan tersebut dipimpin oleh anak perempuannya bernama Bauran binti Syiruyah bin Kisra. Tak lama kemudian, kerajaan tersebut hancur karena anak perempuan tersebut tidak memiliki kapabelitas sebagai pemimpin yang baik. Hadist ini tidak termasuk dalam hukum (peraturan perundang-undangan) dalam Islam yang bersifat umum, oleh karena dalam mengucapkan hadist ini, nabi dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara (presiden) bukan sebagai Rosul.
Dalam sejarah kenabian, ditemukan beberapa perempuan yang ikut berperang dan menjadi panglima perang, sebut saja Khadijah, Ummu ’Athiyyah, Rabi’, Ummu Sulaim, Aisyah dan lain-lain.
Pada masa kerajaan Islam, tercatat juga nama-nama ratu Islam yang sukses memimpin negerinya. Ratu yang bergelar Sultanah adalah Sultanah Radhiyah, pemegang kekuasaan di Delhi pada tahun 634/1236 M dan Syajarat al-Durr, penguasa Mesir pada tahun 648/1250 M. Sedangkan ratu islam yang bergelar Malikah adalah Asma’, yang memerintah di San’a pada akhir abad XI, dan Arwah, pemegang kekuasaan di San’a hingga tahun 484/1090 M. Dapun ratu Islam yang bergelar al-hurrah yakni perempuan yang bebas adalah Fathimah al-Hurrah, permaisuri istana al-Hamra, yang berjuang mempertahankan kerajaannya pada kondisi memprihatinkan pasca kematian suaminya.
Sejarah Indonesia, juga mencatat banyak pejuang perempuan dalam merebut kemerdekaan RI, seperti Kartini dengan pikiran progresifnya, Siti Rihanah Kudus di Minangkabau, Dewi Sartika di Bandung, Cut Nyak Dien di Aceh, Sut Meutia, Cut Kamalahayati, Kristina Martha Tya Hahu di Ambon, Nyi Ageng Serang Jawa Barat dan nama-nama perempuan lain yang pernah menjadi pemimpin di Indonesia sebelum masa kemerdekaan. Sedangkan Megawati mencatat sejarah sebagai satu-satnya presiden perempuan di Indonesia pasca terjadinya kemerdekaan RI.
Dalam historisitas kepemimpinan perempuan di dunia, juga ditemukan beberapa nama perempuan yang sukses dalam kepemimpinanya seperti Benazir Butho, seorang perdana menteri Pakistan, Margareth Thatcher, seorang perdana menteri Inggris tahun 1979, Corazon Aquino, seorang presiden Philipina, Carmen Romero, perdana menteri Spanyol, Marry Robinson, presiden Irlandia, Gro Brundtland, perdana menteri Norwegia, Edith Cresson, Perdana Menteri Perancis dan perempuan-perempuan lain yang mampu menguasai dunia. Ternyata dunia pun mengakui mereka sebagai perempuan kuat dan tangguh dalam memimpin negaranya.
Dengan demikian, tidak ada satu-pun dari sumber hukum Islam maupun bukti sejarah, yang menyebutkan mengenai pelarangan Islam terhadap kepemimpinan perempuan. Islam memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin, asalkan ia memiliki kualitas dan kapabelitas untuk menjadi pemimpin yang baik.
Di sisi lain, dalam tinjauan hukum positif (peraturan perundang-undangan yang berlaku), yakni pasal 65 ayat 1, Undang-uNdang No. 12 tahun 2003 tentang PEMILU menyatakan :
”Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR RI, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pmeilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Suatu terobosan hukum yang sangat signifikan, dimana secara legal formal, perempuan diakui eksistensinya dalam dunia perpolitikan Indonesia, oleh karena sebelum adanya Undang-Undang tersebut, tentunya perempuan dipandang sebelah mata oleh para pejabat partai. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah quota 30% tersebut, jangan kemudian menjadi sekedar formalitas untuk mencabut perempuan tak berkualitas menjadi calon legislatif maupun eksekutif. Partai harus jeli dan cermat mengklasifikasikan kader-kader perempuan yang terbaiknya untuk bisa duduk berdampingan dengan kader-kader laki-laki mencalonkan diri menjadi anggota legislatif maupun eksekutif. Sebaliknya, fenomena yang ada, perempuan hanya diambil namanya untuk dimasukkan dalam daftar sebagai prasyarat pemenuhan quota 30%, dan nama-nama itupun dimasukkan dalam no.urut terbawah (belakangan).
Kebijakan tentang keterwakilan perempuan dalam pemilu di Indonesia akan menjadi sangat affair, apabila tidak lagi menggunakan istilah ’quota 30%’, dengan kata lain, undang-undang memberikan ruang sepenuh-penuhnya dan seluas-luasnya bagi perempuan untuk bersaing dengan laki-laki dalam dunia perpolitikan. Tidak lagi mempermasalahkan pemimpin laki-laki atau perempuan, namun lebih mempermasalahkan apakah dia memiliki kualitas dan kapabelitas untuk menjadi pemimpin yang baik.
Islam jelas memposisikan sama laki-laki dan perempuan dalam dunia sosial politik, paradigma masyarakat (khususnya perempuan sendiri) yang masih beranggapan bahwa dunia politik kotor, dekat dengan neraka, sehingga tidak patut untuk dimasuki oleh perempuan, haruslah dirubah. Mungkin dengan masuknya perempuan-perempuan di dunia politik, menjadi pengontrol bagi keseimbangan, kewajaran dan kejujuran perpolitikan Indonesia.
Di sisi lain, yang terpenting adalah keterwakilan perempuan dalam ranah legislatif maupun eksekutif akan mampu menjadi keterwakilan suara-suara perempuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dialami perempuan sendiri, juga masalah-masalah yang terkait dengan anak (sebagai individu yang sangat dekat dengan perempuan), yang mungkin selama ini masalah-masalah tersebut terabaikan dan terlupakan.
Menjadi tanggung jawab perempuan adalah senantiasa berjuang untuk terus menjadi yang terbaik dalam segala hal, sehingga layak dipilih menjadi pemimpin. Mencalonkan diri bukanlah suatu hal yang ’memalukan’, jangan menunggu untuk dicalonkan, tunjukkan kelebihan dan calonkan diri untuk menjadi pemimpin. Karena selama ini, perempuan lebih suka untuk dicalonkan dari pada mencalonkan.
Perempuan seharusnya menjadi pendukung bagi perempuan lain untuk maju, bukan justru iri melihat perempuan lain maju. Percayakan amanah kepemimpinan pada perempuan yang memiliki kapabelitas dan kualitas, karena justru banyak perempuan yang tidak mempercayai kemampuan perempuan lain menjabat sebagai pemimpin.
Menukil sebuah hadist yang menyatakan bahwa :”Perempuan adalah tiang negara”. Maka, tentunya perempuan mempunyai peranan yang sangat penting dan cukup signifikan dalam kehidupan sebuah negara. Maju mundurnya sebuah negara, bangkit dan terpuruknya sebuah negara, perempuan ikut andil menjadi penentunya.
Terakhir, perlu digarisbawahi bahwa kekuatan dan kelebihan manusia, tidak terletak pada jenis kelamin, apakah dia perepuan atau laki-laki, namun terletak pada kualitasnya secara pribadi, apakah secara intelektual maupun spiritual ia berkemampuan dan berkelebihan.
# Penulis saat ini aktif di:
- Pendampingan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, pada LSM Savy Amira Women Crisis Center. Jl. Kendang Sari I/19 Surabaya.
- Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
- sebagai Legal Consultant, di Kantor Hukum “Sidabukke Clan & Associates”. Jl. Raya Darmo No.135-B Surabaya.
- Aktif di DPW. IPPNU (Ikatan Pelajar Puteri Nahdatul Ulama’).
- Aktif di DPW. AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar).
- dan lain sebagainya.
Penulis bisa dihubungi di (031) 77385340 atau di0856-48-72-45-92.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H