Desember ketiga yang kujalani bersama belahan jiwaku. Penuh harap, penuh doa, penuh keinginan yang selalu kupanjatkan ketika mendekati bulan ini. Rasa resah, gelisah, tak menentu yang kurasa saat ini. Dua desember berlalu begitu saja, tak ada harapan yang terkabul saat itu. Entah karena aku tak pandai berharap, atau memang aku yang yang tak berbakat menginginkan sesuatu.
“ Apa keinginan kamu di desember ini?” tanya Risya
“ Aku nggak berani lagi punya harapan itu.” Jawab Deny tak bersemangat
“ Kenapa kamu pesimis seperti itu?”
“ Bukan aku pesimis, tapi memang itu kan kenyataannya.”
“ Bukankah kamu selalu bilang sama aku,kita tak boleh putus harapan?”
“ Tapi tidak dengan aku.”
“ Ayolah Den, jangan seperti itu, apapun yang terjadi, kamu harus optimis menghadapinya.”
“ Kamu tahu kan, apa keinginan aku sejak bulan kemarin. Bulan kemarin itu, seolah semua sudah nampak didepan mata, tapi nyatanya? Diawal bulan ini, semua lenyap tak berbekas, tanpa tanda, tanpa sisa.”
“ Maaf ya aku nggak bisa bantu kamu untuk wujudkan keinginan itu...”
“ Bukan salah kamu ko, tapi dengan kehadiranmu disini, aku juga sudah bersyukur akan hal itu....”
“ Tapi sikap kamu, nggak seperti ucapan kamu...”
“ Sudahlah nggak usah bahas itu lagi ya...”
“ Tapi sikon ini buat aq jadi nggak nyaman.”
“ Aku salah ya?”
“ Engga ko, kamu nggak salah...”
“ Maaf ya aq bikin kamu ikutan nggak nyaman.” Kata Deny yang langsung memeluk Risya.
Seandainya aq bisa mewujudkan salah satu harapan Deny, pasti itu akan sangat membahagiakan sekali. Untuknya, juga untukku. Tapi sayangnya, aku tak bisa membantunya mewujudkan hal itu. Aku hanya bisa memberinya telinga untuk mendengar, menyediakan waktu untuk menampung segala curahan hatinya, maafin aku wahai belahan jiwaku...
“ Sudah minggu kedua dibulan desember...”
“ Iya, nggak terasa ya waktu cepat sekali berlalu.”
“ Tapi tak ada satu waktu pun yang bisa membuat aku bersemangat...”
“ Apakah kebersamaan denganku juga tak mampu buat kamu sedikit tersenyum?”
“ Aku bahagia kok, kamu masih ada bersamaku” kata Deny dengan sedikit senyuman.
“ Senyum kamu palsu, aku seolah ditipu olehmu.”
“ Aku nggak menipu kamu, aku bahagia bersamamu.”
“ Tapi tidak sesuai dengan kenyataan yang ada”
Saling terdiam, entah apa yang ada dalam pikiran mereka masing-masing. Sepertinya mereka juga lelah mendefinisikan arti dari itu semua.
Belahan jiwaku, aku letih dengan sikapmu akhir-akhir ini. Seringkali kamu menasihatiku untuk tetap optimis dalam menghadapi hidup ini. Tapi itu semua tidak sesuai dengan keadaan kamu saat ini. Memang benar kata orang, bahwa lebih mudah menasihati orang lain dibanding menasihati diri sendiri. Bukannya aku tak menerima kamu apa adanya, tapi aku ingin kamu kembali menjadi Deny yang aku kenal dulu. Deny yang selalu optimis menjalani hidup, Deny yang selalu ceria menghadapi apapun yang terjadi, serta Deny yang selalu mau mendengar apa yang aku katakan. Saat ini aku hanya melihat Deny yang lemah, yang tak siap menerjang gelombang kehidupan. Aku juga melihat, kehadiranku sama sekali tak berpengaruh untukmu. Segala ucapanku, segala perbuatanku, tak ada yang bermakna untukmu, itu yang kurasa. Jadi, Aku memutuskan untuk memberikan waktu untukmu, agar bisa berdamai dengan dirimu sendiri dahulu. Agar kamu bisa segera sadar, bahwa apa yang kamu lakukan adalah hal yang sia-sia, sama sekali tak menjawab segala permasalahanmu. Aku tetap akan selalu bersabar menunggu kembalinya Deny ku yang dulu. Aku sayang kamu wahai belahan jiwaku, aku pasti akan merindukanmu, tak terbatas, tak terhingga, entah sampai kapan. Sekali lagi, maafkan aku, aku tak bisa menjadi seperti yang harapkan...
Hari demi hari telah dilewati Deny dengan hambarnya, semakin tanpa makna. Tak ada lagi telinga yang siap mendengar keluh kesahnya, tak ada lagi bahu untuk bersender tatkala ia terkulai lemah tak berdaya, tak ada lagi cuitan-cuitan renyah yang terlontar dari bibir Risya. Walau terdengar bising, ternyata aku malah meridukan semua itu. Aku kehilangan sesuatu dari jiwa ini. Karena ternyata, kini belahan jiwaku telah pergi meninggalkan diriku sendiri menghadapi semua ini. Sungguh aku tak sunggup.
Ternyata, apa yang aku lakukan, malah membuat belahan jiwaku pergi, aku menyesal. Maafkan aku Risya, Aku sayang kamu, aku nggak rela kalau kamu pergi meninggalkan aku disini sendiri. Keegoisan aku telah menghancurkan segalanya. Bukan hanya karena harapan dan keinginan aku tak tercapai, aku juga malah membuatmu sedih dan meninggalkanku. Biarlah aku tak mendapatkan apa yang aku inginkan selama ini, tapi asal kamu tetap berada disampingku. Aku sadar, aku telah menyisihkanmu dari kehidupanku belakangan ini, tapi tak ada maksud aku melakukan semua itu. Maafkan aku Risya, kembalilah disampingku, aku janji tak akan berbuat seperti anak kecil lagi. Keinginanku bersamamu, jauh melebihi keinginanku memiliki hape dan motor baru, saat moment hari kelahiranku kali ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H