Sobat Kompasianer, saya ingin mengawali artikel ini dengan bertanya 'Untuk apa dunia memperingati Hari Buruh yang jatuh di tanggal 1 Mei?'. Hampir di semua negara jawabannya adalah agar kita diingatkan signifikansi dari peran buruh dalam struktur perekonomian yang ada.Â
Tanpa kehadiran buruh di sisi operasional manufaktur maka tak kan ada produk yang siap dikonsumsi oleh pasar. Demikian juga halnya di sektor jasa. Mari kita gunakan pembangunan konstruksi sebagai bahan refleksi. Tanpa kehadiran buruh yang menerima upah harian di sisi operasional pembangunan, niscaya proyek infrastruktur yang dibutuhkan oleh semua kalangan masyarakat tak kan pernah terwujud. Namun di saat yang sama, kita patut mempertanyakan sejauh mana kesejahteraan mereka? Apakah keluarga mereka sudah merasakan kesejahteraan itu?Â
Bagi sebagian kalangan, pertanyaan itu sering diidentikkan dengan pekerjaan rumah (PR) klasik yang terjadi di semua negara. Sekarang mari kita gunakan premise tersebut untuk melihat kompleksitas yang tengah terjadi. Jika masalah kesejahteraan buruh tergolong PR klasik maka di tahun ini kita berkesempatan untuk menyelesaikannya.Â
Namun di tengah-tengah upaya tersebut, kehadiran Covid-19 alias Corona diprediksi malah mendatangkan tambahan angka pengangguran antara 3,5 juta hingga 8,5 juta. Alur yang dibangun cukup sederhana: penghentian sementara kegiatan produksi serta daya ketahanan perusahaan dalam menghadapi serangan Covid-19 ini cukup terbatas.
Dalam beberapa survey yang dilakukan, sejumlah perusahaan menyatakan bahwa kemampuannya untuk bertahan pada kondisi penurunan omset penjualan serta tingginya tuntutan beban operasional hanya bisa sampai akhir tahun ini. Selebihnya tak seorangpun yang tahu.Â
Hal itulah yang membuat para pelaku ekonomi berbondong-bondong melakukan efisiensi secara masif. Ketika pilihan penurunan kapasitas produksi dan operasional diambil maka secara otomatis hal itu akan berujung pada pemutusan hubungan kerja, khususnya pada kaum buruh harian. Realitas inilah yang sebenarnya patut menjadi perhatian lebih dari berbagai kalangan.
Sebagian dari kita mungkin beranggapan bahwa kebijakan seperti pengurangan beban ekonomi keluarga melalui kebijakan listrik murah, penurunan harga bahan bakar serta pelbagai bantuan tunai akan membantu menyelesaikan PR tersebut. Namun kenaikan angka pengangguran pada rentang 7,2% pada skenario moderat hingga 10,2% untuk skenario berat patut dikaji lebih dalam khususnya di tahun ini. Alasannya adalah karena daya tahan ekonomi mereka dalam menghadapi gempuran pandemi Covid-19 juga cukup terbatas. Kondisi inilah yang menuntut adanya terobosan inovatif di sisi pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum buruh.
Dalam beberapa penelusuran yang dilakukan melalui riset lapangan tampak bahwa buruh adalah sebuah paradigma. Untuk berbicara tentang kesejahteraan, paradigma itulah yang perlu diubah. Ijinkan saya mengajukan pertanyaan kedua: Apa yang dapat merubah cara pandang tersebut?
Salah seorang pakar sumber daya manusia memandang buruh dalam kapasitas mereka yang kehilangan kebebasannya dalam menyelesaikan suatu tugas. Mereka cenderung terkungkung oleh serangkaian prosedur standard yang dilengkapi dengan mekanisme imbalan dan penalti. Artinya, mereka akan memperoleh imbalan ketika pekerjaan selesai dilakukan, atau beroleh penalty saat tugas tak dapat diselesaikan sesuai target. Percaya atau tidak, di situlah ide perubahan paradigma itu dapat diperoleh.
Kunci menyelesaikan PR klasik tersebut adalah dengan memberikan pemahaman dan ketrampilan dari sisi teknis agar yang bersangkutan dapat bertumbuh secara mandiri khususnya dari sisi ekonomi. Salah satunya dengan menjadikan mereka sebagai salah satu pemasok kegiatan produksi perusahaan. Inilah yang dilakukan oleh banyak industri di Tiongkok. Alih-alih mempekerjakan buruh dalam jumlah yang besar plus risiko kecelakaan kerja yang tinggi, perusahaan memilih untuk melatih kelompok masyarakat tertentu, kemudian menjadikannya sebagai salah satu pemain penting dalam rantai nilai perusahaan.
Beberapa komunitas cukup berhasil melakukannya, sehingga secara otomatis mengalami peningkatan kesejahteraan. Dari kisah tersebut tampak bahwa keberanian kaum buruh untuk keluar dari zona nyamannya selama ini (bekerja untuk memperoleh upah) perlu didukung dengan penyediaan kesempatan untuk turut berpartisipasi sebagai pemasok perusahaan serta daya dukung dari sisi pelatihan dan sumber daya keuangan.Â