Sobat Kompasianer, tanpa terasa kita akan memasuki bulan ketiga penerapan pembatasan sosial berskala besar dalam memerangi Covid-19. Terkadang saya masih bertanya di dalam hati 'Hei Covid....siapakah anda sehingga berani-beraninya mengubah sendi-sendi kehidupan kami?'.
Sejak kehadirannya, Covid-19 telah membuat kita mempunya sebuah pola hidup yang baru: bekerja dan belajar dari rumah, juga beribadah di rumah. Semalam saya berkesempatan memandu pelatihan singkat tentang mekanisme bekerja dari rumah atau WFH. Meski pelatihan itu hanya berdurasi 120 menit, namun saya menangkap sebuah luapan suka cita karena peserta mampu menarik berbagai hikmah dari setiap kejadian ini.
Beberapa peserta bahkan merespon sistim WFH sebagai sebuah peluang bagi mereka untuk membangun keseimbangan dalam hidupnya. Spontanitas opini tersebut bukanlah sebuah common sense. Ada sejumlah teori yang mengarahkan sistim bekerja dari rumah sebagai langkah terobosan dalam menciptakan work life balance.Â
Kompasianer tentunya masih ingat dengan salah satu teori Maslow terkait pemenuhan kebutuhan manusia bukan? Di puncak piramida itu kita akan menemukan elemen yang diberi nama 'aktualisasi diri' sedangkan di tingkat dasar terdapat 'pemenuhan kebutuhan dasar'. Tanpad disadari, ketika kita merasa sudah cukup sejahtera dengan apa yang dimiliki maka anda akan berusaha naik tingkat ke puncak piramida. Di situlah prinsip work life balance menjadi salah satu target capaian dalam hidup. Â Â
Nah tanpa disadari, ketika sistim bekerja dari rumah dijalankan, kita memperoleh kesempatan emas tidak hanya bisa bekerja dengan waktu yang tak terbatas, khususnya saat kita berbicara tentang kreativitas, namun juga pada saat yang sama mampu bercengkerama dengan keluarga.
"Jujur Pak Aries, ini adalah moment yang paling membahagiakan dalam kehidupan saya. Semua kekhawatiran tentang bagaimana kondisi anak di rumah ketika saya tengah bekerja di kantor, seakan sirna". Itulah ungkapan yang saya dengar dari beberapa profesional muda.
Itulah hal positif dari sistim bekerja dari rumah. Ada banyak kalangan yang menilai bahwa sistim ini memberikan ruang yang cukup bagi kita untuk menciptakan kreativitas. Alhasil karya yang dihasilkan lebih baik daripada ketika pekerjaan dilakukan di gedung perkantoran. Situasi inilah yang mendorong lahirnya sebuah profesi masa depan yang disebut sebagai 'business freelancer'.
Dalam penelusuran saya di sejumlah hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal internasional, ternyata profesi sebagai 'business freelancer' ini telah berkembang sejak akhir tahun 90 an, ketika krisis ekonomi melanda Asean dan kemudian berkembang lagi di tahun 2010 pasca dunia dilanda kriris keuangan tahun 2008. Mereka yang tadinya sempat tersisihkan melalui pemutusan hubungan kerja karena perusahaannya tutup atau bangkrut telah berhasil merubah nasibnya dari bekerja 'ikut perusahaan' menjadi tenaga profesional lepas yang direkrut karena kemampuannya.Â
Perkembangan teknologi internet serta budaya kerja yang didukung oleh tersedinya coworking space, ada begitu banyak layanan bisnis yang dapat dikerjakan secara lebih profesional dan lebih efisien. Riset yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa animo profesional muda untuk menjadi seorang business freelancer yang mandiri sangat tinggi.
Hal yang sama terjadi di Singapore, Taiwan dan Amerika Serikat. Dari sisi perusahaan, menyewa jasa dari para business freelancer diyakini mampu menciptakan efisiensi dalam biaya tenaga kerja. Mereka tak perlu menyiapkan gaji bulanan yang dilengkapi dengan pelbagai tunjangan mulai dari asuransi, tunjangan hari tua hingga tunjangan makan dan transport.
Tak hanya itu, perusahaan diyakini tak perlu lagi menyiapkan gedung perkantoran yang mewah hanya untuk memberikan ruang kerja bagi para profesional yang ada di dalamnya. Melalui skema baru ini, para business freelancer memiliki kemerdekaan untuk menyelesaikan target kinerjanya dari manapun.
Dua minggu yang lalu saya berkesempatan untuk mengikuti diskusi dengan komunitas tersebut. Mereka datang dari berbagai profesi dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi. Ada yang bergerak di bidang hukum, bisnis, akuntansi hingga para desainer dan ahli data. Peserta komunitas rata-rata berusia di bawah 45 tahun dengan loyalitas yang tinggi pada kompetensi dan keahlian yang dimiliki.
Memilih menjadi business freelancer ternyata bukanlah tanpa alasan yang kuat. Salah seorang anggota mengungkapkan,
"Sebelum memilih profesi ini saya terkungkung di dalam sebuah perusahaan yang tidak pernah menyediakan kesempatan bagi mereka yang berusia di bawah 40 tahun untuk menduduki jabatan tertinggi, padahal ada tuntutan dari dalam diri saya untuk menunjukkan jiwa kepemimpinan saya. Kini dengan menjadi business freelancer, saya menjadi pemimpin atas tim kecil yang secara konsisten membuahkan maha karya bagi client kami."
Seorang anggota yang lain turut menguatkan pendapat tersebut 'Saya sudah tidak tahan lagi dengan office politics yang terjadi di kantor terdahulu, oleh karenanya menjadi business freelancer malah mampu memberikan kemerdekaan bagi saya untuk berpikir dan menghasilkan karya yang terbaikj. Tak hanya itu, saya malah merasa aman secara finansial dari profesi ini' Spontan pernyataan itu mendapat respon positif dari peserta yang lain.
Itulah fakta yang akan menjadi trend baru pasca pandemi Covid-19 ini. Bagi kalangan yang berhasil mengoptimalkan sistim work from home, mereka akan merasakan bahwa pola kerja ini mampu mendekatkan mereka pada kondisi keseimbangan kehidupan yang sejati. Maka tak ayal pasca pandemi akan terjadi gempuran ombak profesi baru berlabel business freelancer.Â
Pilihan terbaik bagi kaum profesional maupun perusahaan
Gelombang business freelancer ini akan menjadi pilihan terbaik bagi sejumlah perusahaan, khususnya yang berskala menengah ke atas. Betapa tidak, mengingat di satu sisi mereka membutuhkan kompetensi dari para pelaku business freelancer, kemudian di sisi lain mereka harus melakukan pengetatan ikat pinggang.
Beberapa perusahaan saat ini malah sudah berpikir untuk mengurangi kapasitas penyewaan gedung perkantoran dan merubah segala sesuatunya dalam bentuk digital. Â Bisa jadi ini akan menjadi ancaman bagi bisnis property dalam jangka menengah.
Satu hal yang dituntut dari kita untuk dapat menjadi seorang business freelancer adalah meningkatkan kompetensi yang dimiliki dari waktu ke waktu. Satu-satunya hal yang membuat perusahaan menyewa jasa kita adalah karena mereka membutuhkan kemampuan dan pengalaman kita. Oleh karenanya seorang business freelancer perlu melengkapi dirinya dengan portfolio pengalaman yang akan menghantarkannya pada posisi 'ahli'. Semakin ahli kita di suatu bidang maka semakin tinggi potensi nilai keekonomian yang dapat diraih pada profesi baru ini.
Bak dua sisi mata uang, menjadi seorang business freelancer bukannya tanpa risiko. Berbeda dengan kondisi ketika menjadi seorang karyawan tetap di suatu perusahaan yang selalu menerima gaji plus tunjangan rutin setiap bulan (walau mungkin tidak selalu produktif dalam bekerja), seorang business freelancer harus mempunyai daya juang tinggi dalam membangun produktifitas setiap hari. Inilah kekuatan yang perlu dilatih secara konsisten. Â Selain itu, profesi ini juga menuntut kekuatan jejaring bisnis yang kita miliki.
Pastikan layanan yang kita berikan selalu di atas rata-rata, sehingga perusahaan penyewa jasa akan dengan senang hati memviralkan jasa kita kepada para rekanan yang ada. Nah di dalam pusaran itulah seorang business freelancer harus mampu mempertahankan keseimbangan antara bekerja dengan kehidupannya. Sebab bila tak hati-hati maka profesi baru ini hanya akan menciptakan ruang baru bagi anda untuk kembali pada rutinitas monoton di masa lalu.
Jadi......siapkah anda untuk memiliki profesi baru ini?
Selamat pagi Indonesia, doa dan harapan yang terbaik bagi kita semua!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H