Payung Malam; Juza, Ryuzaki dan Cinta
Juza tidak pernah mencintai siapa pun di dunia ini, Ryuzaki. Ia hanya pengembara yang tersesat di jalan yang diciptakannya sendiri dengan keheningan cinta dan kerinduannya pada masa kanaknya. Masa kanak yang tidak ingin hilang begitu saja, sampai pengembaraannya sampai di batas segala rahasia. Masa kanak yang ia yakini sebagai masa depan jiwanya yang terus berlarian mengejar cahaya kesempurnaan.
“O, masa kanak-kanak yang begitu jelita, begitu sempurna bila semuanya hadir dalam setiap lanskap yang mengungkungnya.”
Setidaknya kau mengerti Ryuzaki, akan perasaannya yang selalu tidak menentu, ketika menimbang setiap masalah yang dihadapinya. Perasaan yang selalu berkecamuk, namun tidak “sempit” seperti yang kau katakan itu. Perasaannya yang membentang luas sampai tak ada batas. Ia hanya bisa merasakan segala kecamuk alam dan jeritan dunia yang ada di ruang jiwa masa lalunya. Sebab ia hanyalah lelaki yang tidak punya arah jalan pulang, bagi langkah hatinya sendiri, ketika membaca kitab-kitab peristiwa yang selalu kosong dan basah air mata.
Anggaplah cinta Juza hanyalah kebisuan batu-batu dan pohon-pohon meranggas. Juza tidak bisa mencintai siapa pun, selain dunia yang ia ciptakan sendiri, cinta yang ia tanam sendiri dan rindu yang ia bangun sendiri.
Ryuzaki, jangan kau tunggu mimpinya. Karena ia hanya bisa tidur ketika kesempurnaan dunia yang ia ciptakan hadir dalam kesadaran realitas yang dihadapinya. Ketika ia berusaha memahami setiap gerak-gerik zaman. Walau rasa pahit yang ditelannya telah mengunggkungnya dari setiap sudut dunia. Dunia kedua yang telah ia jalani bersama di sebuah ruang jiwa. Di mana engkau dengannya saling menyatukan keinginan hidup yang tak semestinya. Kegilaan yang diciptakan dari rintik hujan dan jalan-jalan panjang kerinduan.
“O, begitu merdu rintik hujan mengiringi langkahmu bersamanya.”
Pada payung yang kaubawa, telah menyadarkannya tentang kehidupan bersama. Untuk menghilangkan kesunyian masing-masing. Ryuzaki, hanya pada kesetiap hidup, cinta bisa dijalani dengan penuh kekhusyukan. Dalam diri Juza yang masih tidak ditemukan sesuatu yang benar-benar terasa bagi hidupnya. Kehidupan yang terseok-seok oleh kebimbangannya yang masih melekat hangat dalam benaknya.
Malam yang benar-benar dingin mencairkan akan setiap kenangannya. Harapannya seolah menuntut akan setiap tatapan matanya yang kosong. Hanya kepasrahan cinta yang begitu agung, kerinduannya yang mengalun merdu dalam dadanya. Ia merasa dengan kehadiran dirinya ke dunia, hanyalah untuk menciptakan kehancuran atas dunia yang dikenalnya. Dunia impian yang masih ia cari dengan kebeningan yang gagu, dengan gerak semu, dengan tangan-tangan hampa, dan dengan keyinannya yang telah membatu. Karena ia merasa, bila kesedihan hanyalah milik dunia semata.
Ruang Jiwa, 240713.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H