Pikun sudah jadi bawaanku, apalagi harus ingat orang. tapi sosok itu susah dilupakan. bukan obrolan di bengkel atau konter, bukan pula di warung kopi. namun pertemuan itu di warung makan saat menjelang imsak. postur tinggi besar plus kekar, seorang kenalannya berpamitan dengan seruan mboru, seorang lagi menyebutnya samsir. langsung otak saya tangkap dianya adalah boru samsir. harusnya batak tapi akalku masih bisa menyangkal karena dia menyahut tiga kenalannya dengan logat sunda, juga samsir yang aroma namanya bukan batak, makan sahur pula.
percikan api dengan tarikan napasnya membuat ujung rokok itu membara, tak ingin buru-buru pergi karena imsak memang belum datang. sementara aku yang masih memutar cangkir kopi karena enggan meniup ampas yang masih mengapung diliriknya lalu dihampiri, tentu memang santai tak ada yang kukejar.
"mas nya dari jauh?" begitulah dia langsung memulai pertanyaan. pasti karena muka ini awam di lingkungan pasar bandarjaya, dan dia hapal betul siapa yang seliweran di lingkungan sini, mata sampai posturku terlihat jawa sehingganya sapaan itu tak meleset. "dari pasar perumnas way halim, tapi ngontrak di karang endah, ada kunjungan setahun" jawaban seadanya agar sempurna basa-basi. namun sebelum kubalas bertanya rumahnya dan namanya dia langsung bercerita.
singkatnya ia datang tiga tahun lalu, mei 2007 di lampung. jauh dari medan, dengan istrinya. namun belum sempat punya anak istrinya meninggal. dan dia sama sekali belum mencari pengganti. pertanyaanku dijelaskan bahwa dia bernama samosir sebelum dia memeluk islam. dan kebanyakan teman banten kemudian diambilnya menjadi saudara.
terlalu pintar dia membaca ekspresiku yang telah lega dan paham atas ganjalan hatiku tidak membuatnya heran mengapa aku teliti dan perhatian. pastinya dia maklum atas waspadaku yang hanya 20% padahal.
aku langsung bingung saat dia tanya pendapatku apakah dia harus setia pada satu toko bangunan ataukah tetap kesanasini bongkar muat truk, pickup dan mengawal ibu bos berbelanja.
kuli angkut memang terlihat sederhana, tapi bahkan aku langsung membungkam mulut saat ingin memberi saran jadilah karyawan kohLiem. sebab pastinya susah berhenti semaunya, bahkan upahpun aku makin bingung membandingkan karena dia menjelaskan berapa bongkar muat dalam sehari, berapa ibu ibu yang butuh tenaganya.
tiba-tiba aku yang disadarkan olehnya, "ah lebih bebas tetap begini saja" begitu putusnya kemudian, ternyata bahkan dipasrahi untuk jadi pengawas pernah ia tolak. nah disinilah aku makin penasaran. namun dia langsung melengkapi ceritanya bahwa sedikit saja tanggung jawab yang diberikan orang akan menuntutnya bersikap adil, sementara adil itu susah sesuai persepsi orang, nah itu persis analogi yang kupahami, keledai kecil+kakek+cucu. pasti akan ada bawahan yang memandang atasannya bodoh atau kejam atau terzolimi.
wejangan bahkan disempurnakannya, menabung untuk hari tua, menabung untuk keluarga barunya kelak, menabung untuk orang tuanya yang jauh. sebab sebenarnya dia sudah terbiasa memasak sendiri.
"asal setiap hari bisa cukup beli beras seliter dan tempe sepapan, selain itu masuk tabungan"
postur besar dan terpaan cuaca memang membuatnya terlihat jauh dewasa, padahal usianya masih muda walaupun menyandang gelar duda.