Mohon tunggu...
Arie Saptaji
Arie Saptaji Mohon Tunggu... -

Penulis serabutan, peternak teri, dan tukang nonton. Ia juga aktif menerjemahkan, menyunting naskah, mengerjakan ghostwriting, dan mengadakan pelatihan menulis dengan metode ART. Untuk bekerja sama, silakan menghubungi ariesaptaji@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

My Name is Khan, and I am a Naive

9 April 2010   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ada konflik SARA yang kompleks dan pahit. Ada pertikaian kakak-adik yang mengendap diam-diam. Ada kisah cinta dengan jurang perbedaan yang menganga lebar. Ada kepedihan dan pergulatan dalam menghadapi kehilangan orang tercinta. Dan, ada peristiwa 11 September yang mendidihkan konflik-konflik itu ke tataran baru. Soal-soal yang mahaberat, bukan? Hebatnya, Karan Johar menebarkan jawaban yang telalu manis, terlalu gampangan. My Name is Khan (MNIK) bertutur tentang Rizvan Khan, bocah Muslim India yang berbeda dari anak-anak lainnya. Ia sulit bergaul, namun punya keahlian mereparasi berbagai barang. Ibunya yang prihatin menariknya dari sekolah umum, dan menyerahkan pendidikannya pada seorang sarjana yang menutup diri. Perhatian berlebih dari sang ibu ini menjadikan adik Khan terabaikan dan memendam kecemburuan. Setelah ibunya meninggal, Khan pindah ke San Fransisco mengikuti adiknya yang berkeluarga dan berkarir di sana. Iparnyalah yang kemudian mengetahui bahwa Khan menderita sindroma Asperger, salah satu gejala autisme. Khan lalu jatuh cinta pada perempuan Hindu bernama Mandira, penata rambut beranak satu. Meskipun adiknya menentang, Khan menikahi Mandira, dan keduanya memulai bisnis salon kecil-kecilan. Mereka bahagia—hampir selama-lamanya. Peristiwa 11 September mengguncangkan AS, mengubah secara drastis pandangan warga setempat terhadap kaum Muslim, dan keluarga Khan termasuk yang mesti menanggung akibat pahit. Sebuah tragedi meluluhlantakkan Mandiri, mendorongnya mengusir Khan. Mulailah Khan menempuh perjalanan tak terduga menjelajahi AS, untuk menyampaikan pesan: “Nama saya Khan, dan saya bukan teroris.” Film ini benar-benar dikuasai oleh Shahrukh Khan (sebagai Rizvan Khan dewasa) dan Kajol (Mandira); pemeran lainnya hanya berseliweran lewat. Khan sukses menampilkan sorot mata yang datar, dan sesekali perasaannya tersembul melalui gerak-gerik mulutnya. Sebaliknya, mata Kajol kerap berbinar penuh cinta. Paduan keduanya memancarkan kehangatan yang menggembirakan. Sayang, kerja kamera kadang tidak mendukung perpaduan tersebut. Ketika Khan meluluhkan hati Mandira, misalnya, Kajol menampilkan binar ketakjuban yang menawan. Tetapi, penonton tidak bisa ikut terpesona karena kamera gagal menampilkan keindahan matahari terbit yang meluruhkan halimun di belantara pencakar langit San Fransisco itu. Bila membatasi diri pada kisah cinta yang tidak lazim ini, MNIK mungkin bisa lebih terfokus dan unik. Namun, karena hendak mengusung pesan yang lebih berat, film ini malah jadi terhuyung-huyung, terutama pada paruh kedua. Strukturnya mengikuti Life is Beautiful, yang beralih dari komedi romantis menjadi komedi tragis akibat Perang Dunia II. Dengan menjadikan 11 September sebagai garis demarkasi, MNIK bergeser dari komedi romantis menjadi kisah perjalanan sang protagonis dalam menjawab soal-soal yang bertebaran pada bagian sebelumnya. Ketika Khan kecil menyaksikan konflik Hindu-Islam di kotanya, ibunya bertutur, “Yang ada hanya orang baik dan orang jahat. Tidak ada perbedaan lain.” Diberikan kepada kanak-kanak, barangkali itu masukan yang cerdas dan memadai. Ketika anak itu beranjak dewasa, berangsur ia akan mendapati betapa dunia ini tidak sehitam putih itu. Mungkin ia akan bertemu dengan Alexander Solzhenitsyn yang meluruskan cara pandang ibunya dengan berkata, “Seandainya saja ada orang-orang jahat yang dengan busuk hati melakukan perbuatan jahat di suatu tempat, yang kita perlukan hanyalah memisahkan mereka dari umat manusia lain dan kemudian membinasakan mereka. Namun, garis yang memisahkan antara yang baik dan yang jahat menembus ke dalam hati setiap manusia.” Namun, diberikan kepada seorang anak yang menyandang sindroma Asperger, nasihat itu bukan menjadi titik awal sebuah pencarian, melainkan sebuah kungkungan. Menurut Wikipedia, “Seorang penderita sindrom Asperger memiliki kesulitan untuk memahami bentuk-bentuk komunikasi nonverbal serta kata-kata yang memiliki banyak arti seperti itu, dan mereka hanya memahami apa arti kata tersebut, seperti yang ia pahami di dalam kamus. Para penderita sindrom Asperger tidak mengetahui bagaimana memahami ironi, sarkasme, dan penggunaan bahasa slang, apalagi memahami mimik muka/eskpresi orang lain. Mereka juga tidak tahu bagaimana caranya untuk bersosialisasi dengan orang lain dan cenderung menjadi pemalu.” Khan memegang teguh nasihat ibunya itu seumur hidupnya. Secara hurufiah. Dan, itu menjadi senjatanya dalam mereparasi segala persoalan yang melintas dalam hidupnya---segala persoalan pelik dalam paragraf pertama tadi. Ajaib, bukan? Berniat mengedepankan toleransi dan kesetaraan antarumat manusia, MNIK malah terjatuh dalam penggambaran stereotipe dan hitam putih atas masing-masing kelompok masyarakat. Ada orang Barat yang paranoid, ada pula yang baik. Ada orang Kristen yang penuh prasangka dan kecurigaan, ada yang dengan tangan terbuka menyambut orang asing. Ada orang Muslim yang mengobarkan kebencian, ada yang cinta damai. Masing-masing tampil dengan satu watak belaka, mewakili ujung-ujung ekstrem dari sebuah sprektrum yang kompleks. Yang tampil utuh justru Mandira. Perempuan ini berusaha melupakan trauma masa lalu, memanjakan anaknya, menikmati kariernya, rajin memelihara ritual keagamaan, pergi ke tempat-tempat asyik di kotanya, jatuh cinta, tertawa, dan kemudian menggeram marah ketika sebuah ketidakadilan menghantamnya. Saya percaya bahwa Rizvan Khan bukan teroris. Sosoknya lebih mengingatkan pada Forrest Gump atau Raymond Babbitt (Rain Man). Namun, saya kesulitan untuk menerima bahwa kenaifannya sukses menyelamatkan kemanusiaan. Sosok yang lugu, polos, dan lurus-lurus saja ini akhirnya menjadi terlalu heroik untuk ditabalkan sebagai tumpuan jawaban atas soal-soal pelik tadi. Saya jadi kangen pada film lain yang menggarap secara lebih otentik konflik dan prasangka antarumat manusia: Babel. Alih-alih disergap katarsis dan keharuan, ketika film berakhir dengan penuh kebahagiaan, saya merasa dibodohi. Betapa indahnya kalau dunia senaif itu. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun